Pecinta memilki sakit hati yang tidak bisa disembuhkan dengan obat-obatan, tidur atau permainan, tetapi hanya dengan melihat kekasihnya – Jalaluddin Rumi-
Mubadalah.id – Melihat kekasih laiknya taman surga dan bagi pecinta merupakan kepuasan tersendiri. Segala gundah akan sirna semua lara tiada lagi terdekap di dada. Mendambakan pertemuan adalah sebuah kewajiban bagi orang-orang yang dalam hatinya tumbuh subur rasa cinta. Dan manisnya pertemuan dalam hati mereka telah bertakhta bak raja. Bagi sang pecinta, wajib mengenali hukum kesetiaan, agar hatinya menetap hanya pada satu cinta.
Merealisasikan sebuah pertemuan, tentu tidak semudah yang kita bayangkan. Sekian tragedi telah menjadi hikayat. Betapa pertemuan membutuhkan effort yang sangat harus kita upayakan. Salah satunya dan yang paling menjamin adalah kesetiaan. Setia, yang dalam bahasa arab dikenal dengan wafā’ (وفاء). Secara harfiyah dapat kita artikan dengan setia, konsisten, amanah, loyal atau memenuhi janji. Lebih lanjut, Ibnu Mandzur mengatakan kata wafā’ berkebalikan dengan ghadr yakni khianat.
Mushtofa Ahmad Ali mengatakan,
الوفاء ان يحافظ الانسان على وعده ويؤديه فى وقته
“Setia adalah menjaganya seseorang akan janjinya dan menunaikannya tepat pada waktunya.”
Setia Memegang Teguh Cinta
Sementara itu, Al-Ghazali dalam magnum opusnya, Ihya’ Ulumiddin menyebutkan bahwa wafā’ adalah setia memegang teguh cinta hingga ajal menjemput. Senantiasa menabur cinta kepada anak-anak dan sahabat karibnya setelah yang dicinta mendahuluinya.
Rasa-rasanya definisi ini berkaca pada kisah Nabi Muhammad dan Sayyidah Khadijah. Kesetiaan Nabi begitu dalam pada sang istri di semasa hidupnya. Dan kesetiaan ini terus mengendap hingga pada masa pasca wafat Sayyidah Khadijah, yang tergambar dengan seringnya Nabi mengunjungi seorang perempuan yang diduga kuat adalah sahabat sang istri.
Sepintas kita melihat bahwa setia adalah sebuah kewajiban yang mau tidak mau harus kita kerjakan dalam hal apapun. Tapi nyatanya tidak begitu. Mengingat ada banyak sekali ragam bentuk muamalah antar manusia, maka hukum kesetiaan pun berbeda-beda sesuai bentuk muamalahnya. Hal ini terpaparkan dalam Maushu’ah Fiqhiyah al-Kuwaitiyah.
Hukum Kesetiaan
Hukum kesetiaan itu, Pertama, wajib. Seperti dalam akad jual beli, akad nikah atau akad-akad lainnya yang sifatnya lazim, syarat yang tidak bertentangan dengan hukum syariat, janji yang dilatarbelakangi kebutuhan atau sebab dan nazar. Setiap manusia yang melakukan empat muamalah tersebut memiliki kewajiban untuk setia sampai dinyatakan selesai secara syara’ dan tentunya diharamkan berkhianat.
Kedua, sunnah. Misalnya dalam hal berbuat kebaikan dan janji yang tidak didahului oleh kebutuhan dan sebab. Ketiga, mubah. Contohnya ketika bernadzar untuk melakukan perkara mubah. Keempat, haram. Misalnya bernadzar untuk melakukan kemaksiatan, bersumpah untuk melakukan hal-hal haram atau syarat yang melanggar ketentuan syari’at.
Maka konsekuensinya adalah nadzar tersebut tidak boleh ditunaikan, sumpahnya tidak boleh direalisasikan dan syaratnya tidak boleh dikerjakan. Dalam artian ia wajib berkhianat.
Dari pembagian hukum kesetiaan di atas, maka tidak semua hal yang kita janjikan harus kita tunaikan dan kita kabulkan. Perlu adanya pemilahan, termasuk kategori hukum apa muamalah yang tengah kita kerjakan. Lalu bagaimana hukumnya setia pada calon pasangan? Anda bisa memilihnya sendiri antara sunnah dan wajib, sesuai kebutuhan dan keadaan.
Urgensi hukum kesetiaan telah banyak kita buktikan berhasil dan menjamin akan kesuksesan muamalah. Setia adalah entitas vital dalam sebuah hubungan kemanusian. Begitulah kira-kira. Kita dapat melihatnya dalam beberapa kisah yang sudah masyhur teriwayatkan.
Kisah Putri Nabi yang Setia
Ingatlah akan kisah cinta putri Nabi, Zainab yang menikah dengan seorang laki-laki bernama Abu al-Ash bin Rabi’. Pernikahan yang dilangsungkan sebelum bi’tsah (diutusnya nabi sebagai rasul) menyebabkan keduanya harus berpisah lantaran sang suami enggan memeluk agama Islam sementara Zainab mengikuti agama ayahnya.
Perjalanan cinta mereka kandas namun masih ada pendaman cinta yang besar dalam hati keduanya. Pada saat perang Badar, Abu al-Ash bin Rabi’ menjadi tawanan. Zainab tak tega melihat nasib sang suami. Lalu ia menebus suaminya itu dengan kalung yang telah ibunya berikan, yakni Sayyidah Khadijah.
Ketika Rasulullah melihat hal itu, beliau merasakan betapa setianya Zainab pada suaminya sampai-sampai ia rela menjadikan kalung pemberian ibunya sebagai alat bayar tebusan suaminya. Akhirnya, Rasulullah pun memerintah para sahabat untuk melepaskan Abu al-Ash bin Rabi’ dan membebaskannya. Abu al-Ash kembali ke Makkah dan Zainab ikut dengan Nabi hijrah ke Madinah.
Tak lama berselang, tepatnya pada tahun ke-8 hijriah Abu al-Ash mengikrarkan diri bahwa ia memeluk Islam dan kisah ini berujung pada pernikahan kedua Abu al-Ash dan Zainab dengan akad dan mahar yang baru. Akhir cerita manis tersebut tidak akan ada kecuali sebab kesetiaan keduanya meski harus merasakan pahitnya lika-liku cinta.
Setia pada Janji Allah
Dalam peristiwa lain, dihikayatkan seorang laki-laki bernama Anas bin Nadhir yang tidak ikut serta dalam Perang Badar. Hatinya sedih tak terperi. Lalu Allah menjanjikannya sebuah hadiah besar yakni ia akan terbunuh hebat dalam perang lain bersama Rasulullah.
Ternyata, janji Allah tersebut terjadi ketika Perang Uhud. Anas bin Nadhir terbunuh hebat dengan 80 luka di badan. Ia mati syahid menjemput janji Allah. Nikmatnya syahid tentu tak akan ia dapatkan jika tidak setia pada janji Allah itu. Janji untuk mengikuti perang di lain waktu. Dari kejadian ini Allah pun berfirman:
{مِنَ الْمُؤْمِنِينَ رِجَالٌ صَدَقُوا مَا عَاهَدُوا اللَّهَ عَلَيْهِ فَمِنْهُمْ مَنْ قَضَى نَحْبَهُ وَمِنْهُمْ مَنْ يَنْتَظِرُ وَمَا بَدَّلُوا تَبْدِيلًا} [الأحزاب: 23]
Kesetiaan tentunya tidak berangkat dari sekedar keinginan. Ia hadir melalui kesadaran. Kesetiaan adalah produk olah hati dan akal yang ditengarai sebab adanya cinta. Bahkan disebutkan bahwa kesetiaan digadang-gadang sebagai salah satu tanda sempurnanya iman dan merupakan akhlak mulia yang menjadikan pemiliknya dapat dicintai Allah dan sesama manusia.
Dan setelah menyimak dua kisah di atas, tidak ada hukum kesetiaan yang berujung luka. Buah kesetiaan adalah pertemuan indah nan bahagia. Terlepas dari macam-macam hukum kesetiaan, agaknya setia pada calon pasangan adalah suatu keharusan untuk tidak mengatakan kewajiban. Setia adalah upaya konsolidasi yang harus kita lakukan agar pertemuan dapat terasakan nikmatnya. Maka jadilah pecinta yang totalitas dengan mengupayakan kesetiaan sebagai langkah cerdas. []