Mubadalah.id – Perempuan ulama ini bernama Zainab al-Ghazali. Ia lahir pada 2 Januari 1919 di Desa Mit Ya’isy. Ayahnya adalah seorang ulama Al-Azhar, Kairo.
Saat lahir, sang ayah memberinya nama Nusaibah binti Ka’b, nama seorang perempuan sahabat Nabi yang setia membela Nabi Saw., sampai ikut bertempur melawan musuh beliau dalam Perang Uhud.
Ayah Zainab sangat mengaguminya seraya berharap anaknya menjadi seperti Nusaibah.
Saat Zainab berusia sepuluh tahun, sang ayah wafat. Maka, Zainab akhirnya pindah ke Kairo, bersama ibu dan saudarasaudaranya. Sang ibu berharap Zainab bisa melanjutkan pendidikannya, meski kakak laki-laki Zainab, Muhammad, menentang keras rencana ini.
Kepada ibunya, sang kakak mengatakan, “Zainab telah dididik oleh ayahnya keberanian menyampaikan pendapat dan pikirannya. Ini sudah cukup. Jika ia melanjutkan sekolahnya, Zainab akan semakin berani dan menentang kehendak orang tuanya.”
Ibunya cenderung menyetujui pendapat Muhammad, karena putranya ini sekarang mengurus keluarganya, menggantikan suami atau ayah anak-anaknya.
Namun, kakak Zainab yang lain memiliki pandangan yang berbeda. Ia justru mendukungnya. Sang kakak yang lain ini berkata, “Jika Zainab melanjutkan sekolah, pikirannya akan semakin cerdas dan terbuka, serta memahami kehidupan masyarakat.”
Zainab pribadi sangat kokoh pada pendiriannya. Ia begitu bersemangat untuk terus melanjutkan sekolahnya sampai ke jenjang yang paling tinggi.
Apalagi, saat ayahnya masih hidup, ia dididik secara disiplin dan ketat. Sang ayah mengajarinya membaca dan menghafal al-Qur’an dan ilmu-ilmu keislaman dasar, seperti tauhid, fiqh, dan bahasa.
Selain itu, Zainab juga sangat rajin membaca buku. Dan, buku yang banyak digemarinya, antara lain buku sastra dan puisi. Ia sangat tertarik membaca karya sastra seorang pujangga perempuan terkenal, Aisyah Taimuriyah. Zainab begitu terkesan dengannya. []