Mubadalah.id – Sejarah ulama perempuan bukan hanya sekadar catatan masa lalu. Ia adalah cermin identitas, penentu arah, dan fondasi kebudayaan suatu banga. Dalam konteks keulamaan di Indonesia, sejarah selama ini lebih banyak merekam kiprah ulama laki-laki, sementara jejak kontribusi ulama perempuan justru tenggelam dalam diam dan kesunyian.
Padahal, dalam lipatan tersembunyi sejarah kolonial, perempuan Indonesia telah memainkan peran signifikan dalam gerakan dakwah, pendidikan, hingga perlawanan terhadap ketidakadilan sosial dan politik. Menulis ulang sejarah ulama perempuan pada masa kolonial bukan hanya soal membongkar masa lalu yang terabaikan, melainkan juga tindakan strategis untuk memperkuat keberadaan ulama perempuan di masa kini.
Ulama perempuan masa kini pun, mulai bermunculan ketika ulama-ulama perempuan pada masa lalu tidak hanya tersimpan di arsip, tapi mulai digaungkan dan dikenalkan sebagai pejuang bangsa.
Ibu Nyai: Meniti Jalan ke Panggung Keulamaan
Dalam hal ini aku menilik Ibu Nyaiku, Ny. Hj. Masriyah Amva. Sebagai salah satu santri beliau, aku tahu bahwa perjalanan dari mulai kematian suaminya, Ibunda menjadi begitu rapuh. Bagiku kisah beliau adalah contoh nyata bagaimana peran perempuan dalam kepemimpinan pesantren sering kali dipandang sebelah mata.
Beliau menghadapi kepercayaan publik yang nyaris runtuh atas pondok pesantren yang dibangun bersama mendiang suaminya, KH. Muhammad—karena posisi kepemimpinan sering kali dianggap hak prerogatif laki-laki.
Namun, alih-alih menyerah, beliau menguatkan tekad, membangun kemandirian ekonomi, dan menyusun ulang strategi kepemimpinan. Bahkan sebelum kepergian suami, beliau sudah menyiapkan mental dan finansialnya.
Di sinilah letak kekuatan beliau, tidak hanya sebagai istri seorang kiai, melainkan juga sebagai pemimpin sejati. Membangun tangga untuk menjejak langkah keulamaan perempuan yang mulia. Menjadi manusia sejati yang turut andil memberi manfaat bagi umat.
Menelusuri Jejak-jejak yang Terhapus
Memang tidak mudah dan jarang sekali seorang perempuan memimpin pesantren. Rekam jejak masa lalu pun mengenalkan Pejuang Muslimah seperti Nyi Ageng Serang, Nyi Ahmad Dahlan, Nyi Siti Walidah, Rahmah El Yunusiyyah, atau Nyai Khairiyah Hasyim yang telah berkontribusi dalam pendidikan, penyebaran Islam, hingga perjuangan kemerdekaan, dalam sejarah sering kali menempatkan mereka dalam posisi marginal, atau sekadar sebagai pendamping tokoh laki-laki.
Penulisan sejarah yang bias gender ini membuat generasi muda—terutama perempuan—kehilangan figur panutan yang mewakili mereka dalam tradisi keulamaan. Karenanya penulisan ulang sejarah ulama perempuan bukan hanya koreksi akademik, tetapi juga satu langkah terdepan menelusuri jejak-jejak yang terhapus.
Mengukuhkan Peran Sebagai Pemimpin Pesantren
Seperti hanya tokoh-tokoh di atas, Ibunda pun bernasib demikian. Beliau ditempatkan sebagai sosok pendamping. Namun nyatanya, beliau sudah membekali diri dengan teori gender yang mungkin tidak pernah beliau dengar dalam jenjang pendidikan.
Bahwa perempuan harus bersiap akan empat hal: pertama, bersiap ketika suatu saat suami meninggal, kedua, suatu saat ketika terjadi perceraian, ketiga, bersiap ketika suami sakit, dan keempat, bersiap jika suatu saat suami tidak mampu memberi nafkah atau tidak bekerja. Karenanya, beliau sudah mempersiapkan diri akan hal itu dengan terus bekerja keras dan menangguhkan diri sebelum suaminya meninggal pada 20 tahun silam.
Dalam bukunya beliau juga bercerita bahwa sudah memulai usaha kecil-kecilan untuk menghidupi anak-anaknya dan biaya berobat sang suami. Terkait hal ini, jelas bahwa beliau sudah mandiri secara ekonomi tanpa bergantung pada Sang Kiai yang tengah sakit.
Hingga kepergiannya, Ibunda semakin menguatkan tekad untuk melanjutkan pesantren yang beliau bangun berdua bersama suaminya. Namun tatkala warga dan wali santri tak lagi mempercayainya, beliau mulai mengadu kepada Yang Kuasa serta lebih gigih membangun kepercayaan dan membuktikan jika beliau bisa.
KUPI Sebagai Fondasi Keulamaan Perempuan
Adanya Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) Tahun 2017 menguatkan kiprah Ibunda sebagai pemimpin hingga menjadi ulama perempuan. Lambat laun, warga mulai melirknya dan mulai mempercayakan anaknya untuk mesantren di pondoknya. Semakin lama, ulama-ulama perempuan bermunculan. Terkhusus perempuan pemimpin pesantren yang menciptakan metode pembelajaran, hingga menjadi tokoh inovatif dan inspiratif.
Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) tahun 2017 menjadi titik balik yang menegaskan peran beliau sebagai ulama perempuan yang diakui secara luas. Lambat laun, masyarakat mulai percaya kembali pada kepemimpinan Ibunda. Santri berdatangan. Pesantren bangkit. Dan Ibu Nyai tak lagi sekadar “istri kiai”, tapi sebagai pemimpin perempuan hingga berhasil menjadi ulama perempuan.
Dampak Historis pada Keulamaan Masa Kini
Pada kenyataannya, dampak dari tersembunyinya kiprah ulama perempuan pada masa lalu berimbas pada Ulama perempuan masa kini. Mereka menghadapi tantangan kompleks: tafsir agama yang bias, politik identitas, hingga resistensi sosial terhadap kepemimpinan perempuan. Tanpa sejarah yang merekam eksistensi ulama perempuan terdahulu, perjuangan mereka seolah tidak memiliki akar.
Dalam situasi seperti ini, sejarah bisa menjadi sumber kekuatan. Ketika perempuan masa kini mengetahui bahwa mereka memiliki warisan intelektual dan spiritual dari para ulama perempuan terdahulu, niscaya rasa percaya diri dan legitimasi sosial mereka menguat. Dengan menyadari bahwa mereka adalah bagian dari mata rantai perjuangan, para Ibu Nyai hari ini pun dapat membangun otoritas moral dan spiritual yang kokoh.
Fondasi untuk Keulamaan Masa Kini
Kehadiran ulama perempuan di masa kolonial juga bukanlah pengecualian, melainkan bagian dari struktur sosial keagamaan yang hidup. Mereka mengajar di pesantren, menjadi pendakwah, bahkan membentuk lembaga pendidikan.
Sayangnya kolonialisme tidak hanya menggerus kedaulatan bangsa, tetapi juga turut menundukkan narasi perempuan. Maka menulis ulang sejarah ulama perempuan adalah upaya membebaskan narasi dari kungkungan nasionalisme maskulin.
Hal ini sebagaimana yang disebutkan Marzuki Wahid dalam seminar Halaqah Nasional Menulis Ulang Sejarah Ulama Perempuan Indonesia pada 6 Juli 2025, bila sejarah masa lalu harus dikembalikan pada mereka yang berhak. Sehingga bisa berlanjut hingga masa kini dan menjadi bidak kesadaran baru untuk memberi panggung bagi perempuan.
Menyingkap Lembar yang Terlupakan
Menulis ulang sejarah ulama perempuan juga memberikan perspektif alternatif dalam memahami Islam yang adil gender. Kita tidak hanya meneladani perjuangan, tetapi juga menghidupkan metodologi dan semangat ijtihad yang dulu dilakukan para perempuan dalam kondisi serba terbatas.
Inilah yang kita butuhkan untuk membentuk ulama perempuan yang tidak hanya paham kitab, tetapi juga mampu berdiri tegas dalam pusaran perubahan zaman. Tentunya hal tersebut juga berdampak pada Ibu Nyai pengasuh pesantren pada masa kini.
Menulis sebagai Tindakan Kritis dan Spiritual
Menulis sejarah ulama perempuan bukan sekadar kerja dokumentatif, melainkan jihad intelektual, ziarah spiritual, dan politis. Ia menjadi bentuk penghormatan terhadap ilmu, perjuangan, dan warisan yang sempat terkubur dalam diam.
Dengan menuliskannya kembali, kita menantang struktur sejarah yang selama ini maskulin dan membuka ruang baru dalam khazanah keislaman Indonesia. Tentunya juga memberikan jalan dan akses bagi ulama perempuan terkhusus Nyai-nyai masa kini serta memperluas cakrawala santri. Memahamkan khalayak umum bahwa menjadi ulama perempuan adalah mungkin, sah, dan perlu dukungan.
Sejarah yang timpang akan menghasilkan bangunan keulamaan yang rapuh. Oleh karena itu, menulis ulang sejarah ulama perempuan menjadi kebutuhan mendesak dan urgensi bagi eksistensi keilmuwan di pesantren.
Bagi santri dan santriwati, juga bagi pengasuh, terlebih Ibu Nyai yang meniti jalan kepemimpinan sendiri secara mandiri. Ini adalah cara kita memastikan bahwa pondasi keulamaan masa depan dibangun secara utuh—dengan kehadiran perempuan sebagai pelaku utama, bukan hanya pendamping.
Menyusun Ulang Fondasi Keulamaan Indonesia
Dengan ini kita harus memahami bahwa sejarah adalah fondasi. Ketika fondasi itu timpang, bangunan keulamaan kita pun mudah goyah.
Potret tersebut menguatkan peran bahwa pemimpin pesantren tidak hanya bagi laki-laki, melainkan perempuan pun bisa dan mampu. Yang mereka mengebutnya, dengan kata “Ibu Nyai.”
Mari kita rawat sejarah ini sebagai bahan bakar keberlanjutan perjuangan. Karena dari pesantren, Ibu Nyai telah membuktikan: perempuan bisa memimpin, mendidik, dan menanamkan nilai-nilai Islam yang rahmatan lil ‘alamin. []