Sebelum pertanyaan ini kita jawab, kita ada baiknya menyepakati dulu berapa usia yang kita anggap sebagai menikah dini itu, karena tidak ada definisi secara hukum.
Yang kita maksud menikah dini di sini adalah perkawinan anak, yakni pernikahan antara anak perempuan dan laki-laki di bawah usia 19 tahun. Batasan ini mengacu kepada UU No. 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan. Kita prihatin dengan fakta hari ini bahwa anak-anak semakin permisif melakukan hubungan seksual sebelum saatnya diperbolehkan. Nilai-nilai kehormatan dan kesucian perkawinan memang sudah meluntur.
Permisivitas seks ini harus kita akui menjadi penyebab utama perkawinan anak, terutama jika anak perempuan sudah hamil. Namun, ada alasan lain mengapa menikah dini terjadi. Kemiskinan adalah salah satu sebabnya. Dengan menikahkan anak perempuan secepat mungkin, orang tua merasa satu beban terkurangi. Sebab lain adalah karena anak perempuan sudah tidak bersekolah lagi. Atau karena tradisi.
Mencermati Hadis Rujukan
Rujukan penting pembolehan perkawinan anak adalah usia ummul mukminin. Contohnya adalah Aisyah ra. saat menikah dengan Rasulullah. Dalam hadis diriwayatkan, pernikahan Nabi dengan Aisyah ra. terjadi saat Aisyah berusia6, 7, atau 9 tahun, dan mulai berumah tangga saat berusia sembilan tahun.
Secara sanad (jalur riwayat) hadis ini kuat karena diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, meski ada perselisihan pada Perawi Hisyam bin Urwah yang meriwayatkan dari ayahnya, Urwah bin Zubair dari Aisyah.
Hisyam, dianggap tidak bisa dipercaya karena kurang akurat ingatannya saat sudah berusia di atas 70 tahun dan tinggal di Irak. Padahal, hadis tentang usia pernikahan Aisyah ini disampaikan Hisyam saat sudah tinggal di Irak.
Terlepas dari kritik sanad yang ada, jika dilihat dari kitab-kitab sejarah terkemuka dan terpercaya seperti karya Ibnu Katsir, adz-Dzahabi dan Ibnu Hajar al-Asqallani, usia pernikahan Aisyah ra. disebutkan lebih muda 10 tahun dari kakaknya, Asma’ binti Abu Bakar. Jika Asma’; wafat tahun 73 H di usia 100 tahun sebagaimana disebutkan dalam sumber-sumber tersebut, berarti ketika hijrah berusia 27 tahun.
Itu berarti bahwa Aisyah saat hijrah berusia 17 tahun, yaitu usia ketika Aisyah mulai berrumah tangga dengan Nabi. Argumentasi lain adalah bahwa pernikahan usia dini Aisyah ra. bertentangan dengan konsep kedewasaan yang menjadi syarat utama seseorang menjadi subyek hukum.
Penolakan terhadap perkawinan anak yang disandarkan kepada kesahihan hadis sebagaimana disebutkan di atas antara lain disampaikan oleh TO Shanavas, intelektual muslim India. Syafi’i Antonio juga berpendapat yang kurang lebih sama. Saat ini wacana yang mempertanyakan keabsahan hadis pernikahan dini Aisyah ra. semakin meluas.
Dalam disiplin ilmu hadis hal demikian sah-sah saja, karena hadis ini bukan termasuk kelompok hadis mutawatir (hadis yang diriwayatkan oleh sekelompok besar orang dalam setiap generasi yang mustahil mereka bersepakat dusta).
Dengan posisi yang demikian, tidak mengherankan jika dalam fikih sebagian ulama setuju perkawinan anak dengan syarat-syarat khusus, dan sebagian justru melarangnya. Alasan utama yang dijadikan dasar adalah kemudaratan yang disebabkan oleh perkawinan anak.
Di antara fukaha salaf yang melarangnya adalah Usman al-Batti (w.143 H), Ibn Syubramah (w.144 H), dan Abu Bakar al-Ashamm (w.225 H). Hadis Aisyah dipahami Ibn Syumbramah sebagai kekhususan untuk Nabi, bukan untuk umatnya, sehingga setiap pernikahan mensyaratkan kedewasaan.
Imam Abu Hanifah memberi batasan, usia yang cukup untuk menikah adalah 18 tahun untuk laki-laki dan 17 tahun untuk perempuan. Pandangan para ulama ini kemudian menjadi rujukan para penyusun hukum keluarga di berbagai negara mayoritas muslim.
Perkembangan Modern
Seiring dengan gelombang reformasi hukum keluarga di dunia, di Indonesia diberlakukan batas minimal usia menikah. Untuk anak perempuan dan laki-laki sama 19 tahun. Batasan usia minimal perempuan yang disebutkan dalam UU No. 16 tahun 2019 tentang perkawinan ini sama atau lebih baik jika dibandingkan dengan beberapa negara mayoritas muslim yang lain. Sebagai contoh, Aljazair memberlakukan usia minimum perempuan dan laki-laki 19 tahun. Irak, Somalia, Yordania, dan Maroko memberlakukan usia yang sama untuk laki-laki dan perempuan yakni 18 tahun.
Anak-anak di bawah usia 19 tahun belum cukup mampu menghadapi tantangan kehidupan yang kian kompetitif, yang mengharuskan ilmu, keterampilan, dan pengalaman khusus untuk memenangkannya. Kematangan reproduksinya pun belum maksimal. Apalagi kesiapan emosi dan mentalnya dalam menghadapi berbagai masalah, mulai soal komunikasi suami istri, pengasuhan anak, ekonomi, hingga kehidupan sosial. Banyak pasangan menikah dini perkawinannya seumur jagung.
Ketidaksiapan ekonomi juga menjadikan para ibu atau ayah yang kawin anak bekerja sebagai buruh migran di luar negeri, sementara anaknya ditinggal atau dititip untuk diasuh orang lain. Hak anak untuk diasuh kedua orang tuanya hilang.
Menikah usia dini juga menyebabkan anak putus sekolah. Anak perempuan yang hamil pada usia 10-14 tahun memiliki kemungkinan meninggal lima kali lebih besar dibandingkan dengan perempuan berusia 20-25 tahun selama kehamilan atau melahirkan.
Temuan Plan Indonesia, 44% anak perempuan yang menikah dini menjadi korban KDRT dengan frekuensi tinggi, dan sisanya, 56%, mengalami KDRT dengan frekuensi rendah. Semua fenomena ini semestinya membuat kita tidak menikahkan anak perempuan di bawah 19 tahun dan berusaha terlibat aktif dalam pencegahannya.
Bukan Solusi Terbaik
Kita kini menghadapi tantangan yang tidak ringan untuk tidak menikahkan anak sebelum dewasa dengan tetap menjaganya agar tidak terjerumus dalam pergaulan berresiko, hubungan seks terlarang, apalagi seks bebas. Anak-anak kita saat ini sudah mengonsumsi pornografi sejak usia SD.
Temuan Yayasan Kita dan Buah Hati tahun 2012, 76% anak kelas 4-6 SD di Jabodetabek sudah pernah melihat konten pornografi. Angka ini terus meningkat setiap tahun. Mereka kadang tidak berniat melihatnya, tetapi terpapar begitu saja saat membuka internet, handphone, atau media lainnya. Ini menjadikan mereka lebih dini mengenal hubungan seks.
Dampak globalisasi memang nyata dalam hal permisivitas dan perilaku seks anak-anak. Meski demikian, perkawinan anak bukanlah solusi terbaik. Segepok masalah menunggu anak-anak yang terpaksa atau dipaksa kawin anak.
Jauh lebih baik dan lebih sehat untuk memberikan pendidikan seks dan kesehatan reproduksi sesuai usia dan tingkat perkembangan anak yang ditekankan pada tanggung jawab, hak, dan kewajiban anak terhadap organ-organ seksual dan reproduksinya. Tanggung jawab ini tidak hanya kepada dirinya sendiri, tetapi juga kepada Allah SWT, pada masa depannya, dan pada kehormatan orang tua serta keluarga.
Anak laki-laki dan perempuan perlu diwanti-wanti agar tidak berpacaran. Mungkin terdengar aneh pada zaman sekarang. Namun, terbukti banyak yang bisa melakukan dan happy saja. Cukup berteman dengan sebanyak mungkin kawan yang baik, dan beraktivitas yang membahagiakan dengan mereka secara sehat.
Berteman akan menjadikan anak-anak mengenal temannya apa adanya. Sampai saat usia mereka siap menikah mereka bisa melakukan taaruf dengan salah satu dari teman yang sudah dikenalnya lama dan dikenal secara apa adanya.
Anak-anak juga perlu diberi tahu modus-modus kekerasan seksual terkini, termasuk yang dilakukan melalui dunia maya (cyber crime) dan cara menghindarinya. Seks pra-nikah apalagi seks bebas hanya akan meninggalkan beban dosa dan bisa membuyarkan cita-cita.
Hadirkan Allah
Di atas semuanya, menghadirkan Allah dalam pendidikan seks dan kesehatan reproduksi adalah sebuah keniscayaan saat ini. Di rumah dan di sekolah. Orang tua tidak pernah bisa memantau anaknya 24 jam. Anak-anak juga tahu cara-cara aman berhubungan seks yang tidak berresiko dan tahu bahwa sanksi sosial kini kian melemah.
Sadar bahwa Allah senantiasa melihat dan mengawasi kita kapan pun dan di mana pun yang diikuti dengan kemauan untuk memilih hanya pergaulan yang sehat, adalah benteng paling ampuh bagi anak-anak kita agar terhindar dari menjadi pelaku atau korban kekerasan seksual, seks bebas, atau hubungan seks terlarang.
Orang tua sudah pasti harus menjadi contoh sekaligus teman yang bisa memberi informasi yang benar dan tepat. Lebih dari itu, kita bentengi anak kita dengan doa agar Allah menjaga dan melindungi mereka dan kita, karena Dialah sebaik-baik pelindung pada zaman informasi yang tidak bisa dibendung ini. []
*)Artikel yang sama pernah dimuat di Majalah Noor dengan perubahan seperlunya.