Mubadalah.id – Dua pekan telah berlalu, sejak gelaran deklarasi Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia pada Minggu 18 Mei 2025 silam. Deklarasi tersebut bertempat di Masjid Puser Bumi Desa Astana Gunung Jati Kabupaten Cirebon. Kini, tinggal satu hari lagi Mei akan beranjak pergi, namun semangat Mei sebagai bulan kebangkitan akan terus menginspirasi hingga bertahun-tahun kemudian.
Di balik semarak deklarasi terselip tanya, bagaimana anak-anak muda bisa ikut mengambil peran dalam momentum bersejarah itu? Sementara identitas ulama perempuan, guru perempuan ataupun tokoh perempuan adalah mereka yang sudah matang dan berpengalaman dalam segala aspek kehidupan.
Sedangkan hari ini, anak-anak muda baru memulai menuliskan sejarah mereka sendiri, yang mungkin tidak sama proses dan tantangan yang dihadapi. Pun jika hanya melihat dan memandang potret biografi ulama perempuan yang berderet rapih di dinding kehormatan, apakah selamanya anak muda hanya akan jadi penonton saja?
Menulis Sejarah Perempuan
Pertanyaan yang sama ternyata juga menggelayuti salah satu peserta Deklarasi Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia. Alfina, salah satu kader Kopri PMII Cirebon menyampaikan tanya ini saat konferensi press bersama Divisi Syiar Majelis Musyawarah Kongres Ulama Perempuan Indonesia (MM-KUPI).
Mas Jay Ahmad memandu berlangsungnya agenda konferensi press. Lalu duduk berdampingan bersama Dr Faqihuddin Abdul Kodir dan Dr Iklilah Muzayyanah yang memaparkan agenda deklarasi, mulai dari latar belakang hingga harapan dan tujuan dari penyelenggaraan acara tersebut.
Merespon pertanyaan Alfina, Mbak Iklilah berkali-kali menegaskan tentang pentingnya penulisan sejarah perempuan. Menurutnya dalam kesejarahan di dalam konteks sejarah perjuangan Indonesia, maupun dalam sejarah lain, perempuan seringkali tidak terlihat dalam perjuangannya, sehingga mengapa yang tertulis adalah tokoh laki-laki.
Padahal dari sekian ketokohan laki-laki itu banyak sekali tokoh-tokoh perempuan yang juga berjuang dan memiliki makna yang signifikan. Baik untuk perjuangan kemerdekaan maupun untuk perjuangan-perjuangan lain di segala bidang kehidupan.
“Karena itu momentum Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia hanyalah simbol kita memulai, tetapi di sini kita juga ingin lebih banyak mengkompilasi nama-nama, figur-figur dan arah gerakan. Terutama yang dilakukan oleh tokoh-tokoh perempuan atau tokoh laki-laki yang menggunakan perspektif perempuan atau yang memperjuangkan isu-isu keadilan bagi perempuan dan kelompok rentan.”
Melalui momentum ini, Mbak Iklilah mengajak anak muda untuk lebih banyak menemukan tokoh-tokoh perempuan, para pejuang perempuan di bidang pendidikan, keagamaan, kesehatan dan pembangunan masyarakat. Tujuannya agar narasi tentang kesejarahan itu tidak hanya berwajah laki-laki tetapi juga berimbang dengan sejarah perempuan.
KUPI Muda dan Media Sosial
Selain mengajak anak muda untuk menuliskan kembali sejarah yang meng highligt tokoh perempuan, Mbak Iklilah juga menyampaikan tentang gerakan KUPI Muda. Menurutnya KUPI juga sedang melibatkan kaum mudanya melalui misalnya, bagaimana komunitas KUPI juga memiliki basis komunitas anak-anak muda.
Yakni dengan pendekatan, cara-cara dan kekhasan dari kelompok muda. Sehingga isu besarnya sama, visi misinya sama tapi dengan cara-cara yang berbeda. Tentu saja cara-cara yang terpakai sesuai dengan konteks mereka.
Hal senada juga Mas Jay Ahmad sampaikan. Menurutnya pelibatan dan peran anak muda hari ini sangat penting. Bagaimana agar anak muda tidak hanya menjadi penonton saja dalam momentum Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia ini.
“Saya tambahkan peran anak muda terutama melalui media sosial, bagaimana media sosial menjadi ruang anak-anak muda bisa sangat mengakses. Itu salah satu yang sedang kita dorong juga.” Ungkapnya.
Mei yang tinggal dalam hitungan hari ini, kita masih punya kesempatan untuk terus mengabarkan dan menyebarkan tentang ulama perempuan kita, guru-guru perempuan kita, dan para penggerak kemanusiaan yang ada di sekitar kita. Biar sejarah akan terus mengingat, tanpa mereka, kita bukanlah apa-apa. Tanpa mereka, kita bukanlah siapa-siapa.
Sebagaimana pesan Kiai Faqih dalam konferensi press, bahwa sampai 31 Mei nanti hingga tahun-tahun berikutnya, KUPI akan terus menyeru pada semua pihak. Yakni untuk bisa mendaftar atau menulis sejarah atau minimal menyebut nama guru perempuannya, ulama perempuannya agar diingat oleh sejarah.
Karena sejarah hari ini, kita seringkali lupa ada peran kiprah perempuan, baik kiprah pendidikan, keulamaan, dan kiprah pengabdian. Tentu saja termasuk kiprah perempuan (ibu) di pendidikan dalam keluarga dan di masyarakat. Dalam hal ini, anak-anak muda akan memainkan peran penting, agar pesan ini semakin melenting dan berbunyi nyaring. []