Mubadalah.id – Sebagai tenaga medis yang hampir setiap hari bertemu pasien dengan latar belakang dan keluhan yang berbeda-beda, masih saja mengejutkan bagi saya tiap kali menjumpai ibu rumah tangga yang terdeteksi mengidap HIV tanpa mereka sadari.
Ironi memang, menurut pengakuan mereka menjalani gaya hidup baik-baik saja. Tidak bergonta ganti pasangan, apalagi berbagi jarum suntik yang sama untuk hal-hal dalam konteks obat-obatan terlarang. Faktor penyebab penularannya pun akhirnya menguak hal yang menyakitkan. Sebab tenyata mereka tertular virus tersebut dari suaminya yang diam-diam menjalani gaya hidup bebas di luar rumah.
Perempuan lagi-lagi menjadi korban. Sebagai ibu rumah tangga yang lebih banyak menghabiskan waktunya di rumah pun tak membuat mereka aman. Tidak membuat mereka terlepas dari resiko terpapar virus-virus bahaya, termasuk ancaman HIV.
Mengenal HIV
HIV memiliki kepanjangan Human Immunodeficiency Virus, merupakan salah satu virus berbahaya yang menargetkan dan menyerang sistem kekebalan tubuh manusia. Semakin lama HIV berkembang menjadi tahap akhir yang biasa kita sebut AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome), di mana tubuh penderita kehilangan kemampuannya dalam melawan infeksi virus.
Rusaknya sistem kekebalan tubuh ini membuat penderita HIV rentan terhadap semua jenis penyakit, yang berujung pada komplikasi serius. Perlu kita ketahui, bahwa sejauh ini ancaman HIV belum bisa disembuhkan. Sekali seseorang terinfeksi HIV, maka selamanya membutuhkan terapi antiretroviral (ARV). Yakni untuk menurunkan jumlah virus dalam tubuh, sehingga mencegah kerusakan lebih lanjut pada sistem imunnya.
Terapi ARV hanya membantu mencegah keparahan, bukan menyembuhkan ataupun mengobati kerusakan. Ironinya, kasus HIV di Indonesia semakin meningkat dari tahun ke tahun.
Perempuan dengan segenap kompleksitas peran yang ia emban, seringkali menjadi korban. Beberapa di antaranya memilih menjadi ibu rumah tangga dan mengakhiri karir setelah menikah demi menjadi istri dan ibu yang sepenuhnya mengurus rumah.
Beberapa bahkan berusaha keras menjalani hubungan LDM (Long Distance Marriage) yang mengharuskannya menjadi istri dan ibu yang mandiri, serta tangguh dalam menyelesaikan berbagai masalah di rumah. Dengan segenap pengorbanan yang telah ia lakukan, ternyata tak membuat suaminya merasa cukup. Yang mereka tahu suaminya berangkat bekerja, berkarir demi menafkahi keluarga. Namun ternyata beberapa di antaranya justru menyimpan pergaulan bebas di luar rumah.
Resiko Gonta-ganti Pasangan
Dampak dari bergonta ganti pasangan di luar rumah ini tak hanya berakibat untuk si suami, tapi juga rentan membawa virus ini ke istri yang tidak tahu apa-apa. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, jumlah ibu rumah tangga yang terinfeksi HIV mencapai 35% dari total kasus penderita HIV. Angka ini lebih tinggi daripada kelompok MSM (man sex with man), dan terus bertambah sekitar 5.100 kasus setiap tahunnya.
Dari total ibu rumah tangga penderita HIV, 30% penularannya kita ketahui dari suami ke istri. Lebih jauh lagi, dampak dari keegoisan suami ini tak hanya berimbas pada istri, namun juga tak menutup kemungkinan menjadi mata rantai yang berimbas pada anak. Ibu rumah tangga yang terinfeksi HIV berisiko tinggi untuk menularkan virus kepada anaknya.
Penularan HIV secara vertikal dari ibu ke anak menyumbang sebesar 20-45% dari seluruh sumber penularan HIV. Penularan tersebut dapat terjadi sejak dalam kandungan, saat proses kelahiran, atau saat menyusui. Dampaknya, sebanyak 45% bayi yang lahir dari ibu yang positif HIV akan lahir dengan HIV. Dan sepanjang hidupnya akan menyandang status HIV positif. Tahun 2023, HIV pada anak usia 1-14 tahun mencapai 14.150 kasus. Angka ini mengalami kenaikan sekitar 700-1000 anak dengan HIV setiap tahunnya.
Ancaman Penyakit Menular Seksual
Lebih jauh lagi, ancaman penyakit menular seksual (PMS) untuk ibu rumah tangga bukan hanya HIV, namun juga sifilis. Sifilis atau raja singa merupakan PMS yang disebabkan oleh bakteri Treponema pallidum. Memang tidak semengerikan HIV, sifilis bisa disembuhkan dengan pengobatan, namun seorang ibu yang terinfeksi sifilis di masa kehamilannya akan berisiko melahirkan bayi dengan kecacatan, misalnya bibir sumbing.
Pada tahun 2022, tercatat ada 21 ribu kasus sifilis dengan rata-rata penambahan kasus setiap tahunnya mencapai 17 ribu hingga 20 ribu kasus. Setiap tahunnya dari lima juta kehamilan, hanya sebanyak 25% ibu hamil yang di skrining sifilis, dan dari yang terdeteksi positif sifilis, hanya sekitar 40% ibu hamil yang mendapat pengobatan.
Rendahnya dorongan berobat ini lebih karena adanya stigma dan unsur malu. Demikian pula dengan HIV, Kemenkes mencatat hanya 55% ibu hamil yang mengikuti tes HIV karena sebagian besar tidak mendapatkan izin suami untuk melakukan tes.
Saat ini, pemerintah berfokus pada upaya untuk melakukan skrining pada setiap individu untuk mencapai eliminasi, termasuk pemutusan mata rantai penularan HIV secara vertikal dari ibu ke bayi, serta memastikan setiap ibu yang terinfeksi 100% harus mendapatkan tatalaksana yang cukup. []