Mubadalah.id – Jumat pagi yang tumus menyuguhi sebuah surel (email) wungkus ihwal isu perempuan. Surel itu berasal dari seorang mahasiswa Indonesia. Ia kini lagi berstudi strata tiga (doktoral) di Universitas Amsterdam, Belanda. Jujur saja, kami tak saling kenal. Juga tak berkenalan.
Ia menyebut dirinya telah meneliti diskursus penceramah laki-laki dalam advokasi isu-isu perempuan di media. Ia memohon izin untuk menyertakan tulisan-tulisanku (kemungkinan besar di Mubadalah) sebagai bagian dari analisisnya.
Agak sangsi untuk segera membalasnya. Iya atau tidak? Aku bertanya pada diriku sendiri, “Apakah aku ini cukup layak menyebut diri sebagai lelaki penyuara isu perempuan? Sudahkah jemariku menulis dalam semangat keberpihakan kepada mereka?”
Sekira dua puluh menitan aku berpikir dan mengetuk nala. Ragu hendak menjawab. Kata-kata berasa mandek. Beberapa kali aku coba mengetik kalimat balasan. Tapi lagi-lagi, aku ragu seragu saat hendak menyeberang jalan di antara kelebatan kendaraan.
Akhirnya, aku mengetik balasan agak berani, “Terima kasih telah berkenan menghubungi. Tentu suatu kehormatan bahwa catatan saya dapat dilibatkan dalam riset disertasinya. Dengan gembira saya wajib memperkenankan.”
Teladan Buya Husein
Aku mungkin terlampau berani memberi izin. Sebab, izin itu berarti secara tak langsung aku menerima sematan “gelar” penceramah lelaki dalam advokasi isu perempuan di media. Aku tak merasa cukup layak untuk beroleh atribusi seberat itu.
Namun, pada akhirnya aku memberanikan diri, sebab aku punya teladan. Teladanku tak lain ialah Buya Husein Muhammad. Aku pertama kali mengenal jejaknya secara digital lewat media sosial. Juga, lewat buku-bukunya yang temanku koleksi.
Tanpa pernah beradu wajah pun, aku berani memberinya gelar Rumi dari Cirebon. Keteladanannya memancar sebegitu benderang. Sampai-sampai menembus batas ruang maya maupun lembaran-lembaran halaman kertas.
Aku baru berkesempatan menjabat astanya secara langsung pada Februari 2025 lalu. Saat sesi hari pertama gelaran Akademi Mubadalah 2025 di Yogyakarta, Buya Husein rawuh. Di situlah aku secara telanjang mata melihat bagaimana keberpihakan Buya Husein terhadap isu perempuan dan kelompok mustadh’afin.
Cahaya keberpihakannya menerawang jauh lewat padu lembut syair-syair, puisi, juga tafsir al-Qur’an. Sebagai penceramah lelaki, kelelakiannya tak membuat Buya Husein berdiri dalam posisi tak berimbang. Ia berdiri di atas wazan yang setimbang antara lelaki dan perempuan.
Gagasan-gagasannya begitu kental akan prinsip-prinsip egalitas, ekualitas, serta ke-musyarakah-an dalam selimut spiritualitas yang lembut. Menyitir seorang kawan, Buya Husein berhasil menampakkan “spiritualitas berkualitas yang ramah dan rahmah, bukan marah-marah.”
Merobohkan Tembok
Menjadi lelaki penyuara isu perempuan, jujur saja, tak pernah kubayangkan sebelumnya. Aku menemukan jalan ini secara tak sengaja lewat pergulatan warna-warni sepanjang studi. Kampus dan pesantren memberiku “air perwitasari” untuk menekuni jalan ini.
Aku menyadari bahwa masih ada sebentuk tembok yang kadang menyekat lelaki untuk turut bersuara mengenai isu perempuan. Tembok itu tersusun atas pelbagai material, mulai dari vonis banci, sok tahu, juga sok peduli.
Mungkin ini terdengar begitu asumtif dan klaim sepihak. Namun, riset Claudia Wilhelm, Sven Joeckel, dan Leyla Dogruel (2023) menampilkan bukti akademik nyata. Lewat penelitian yang melibatkan 612 orang pengguna media daring itu, peneliti menemukan satu hal menarik.
Apakah itu? Ternyata, jurnalis lelaki yang menyuarakan isu kekerasan terhadap perempuan di tempat kerja memperoleh respon negatif lebih banyak ketimbang jurnalis perempuan yang memberitakan hal serupa.
Riset tersebut dilakukan di negara sekaliber Jerman. Publik tentu tahu betapa negara itu telah lebih dahulu lantang menyuarakan isu perempuan dan kesetaraan. Mereka memang berhasil merobohkan “Tembok Berlin”. Tapi, mereka masih berhadapan dengan tembok lain yang lebih kokoh bernama stigma.
Lantas, bagaimana dengan situasi di Indonesia? Aku sendiri, dengan keterbatasan bacaanku, belum menemukan riset mutakhir yang membahas stigma ini secara spesifik. Kurasa, tak lebih baik dari Jerman.
Apakah ini akan menjadi penghalang bagi para lelaki untuk mau melibatkan diri pada isu-isu perempuan? Aku sendiri memilih tidak. Begitu juga kiranya dengan para ikhwan lain. Bukan begitu, bapak-bapak? []









































