• Login
  • Register
Sabtu, 24 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Personal

Menstrual Taboo sebagai Sumber Patriarkhi

Menurut Prof. Nasarudin Umar keberadaan menstrual taboo menjadi tonggak awal yang melanggengkan sistem patriarkhi di tengah masayarakat

Kholifah Rahmawati Kholifah Rahmawati
04/09/2023
in Personal, Rekomendasi
0
Menstrual Taboo

Menstrual Taboo

891
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Haid itu kotoran, Haid itu keluarnya darah kotor , wanita yang sedang haid itu kotor. Mungkin begitulah pandangan sebagian orang tentang haid yang menjadi pengalaman biologis khas perempuan. Namun benarkah demikian? Lalu apa dampaknya bagi perempuan?

Benarkah Haid Itu Kotoran?

Menyebut haid sebagai kotoran memang kurang tepat, namun juga tidak sepenuhnya salah. Merujuk pada substansinya yang berupa darah, secara fikih memang terhukumi najis dan setiap najis itu kotor. Namun secara medis darah yang keluar pada wanita haid bukanlah darah kotor seperti anggapan kebanyakan orang.

Darah yang keluar saat haid merupakan hasil peluruhan dinding rahim perempuan yang menebal. Penebalan dinding berfungsi sebagai persiapan nutrisi janin yang akan tumbuh dalam rahim. Namun saat  tidak terjadi pembuahan, keberadaan dinding rahim tersebut menjadi kehilangan fungsinya. Hingga akhirnya meluruh sebagai darah haid atau menstruasi

Jadi secara medis, darah yang keluar dari wanita haid bukanlah darah kotor. Adapun darah kotor pada tubuh manusia akan tersaring oleh ginjal dan dikeluarkan kotoranya melalui urine. Di mana hal ini tidak hanya terjadi pada perempuan.

Menstrual Taboo Sebagai Sumber Patriarkhi

Adanya miskonsepsi tentang haid yang sebagai kotoran, nampaknya berkaitan erat dengan adanya menstrual taboo di tengah masayarakat. Menstrual taboo adalah istilah yang kita gunakan dalam kajian antropologi terkait dengan pengaruh menstruasi bagi perempuan dalam kehidupan sosial.

Baca Juga:

Menyusui Anak dalam Pandangan Islam

KB dalam Pandangan Islam

Menilik Relasi Al-Qur’an dengan Noble Silence pada Ayat-Ayat Shirah Nabawiyah (Part 1)

Membuka Tabir Keadilan Semu: Seruan Islam untuk Menegakkan Keadilan

Darah haid atau menstruasi anggapannya darah yang tabu karena karakteristiknya yang khas dan hanya terjadi pada perempuan. Oleh sebab itu banyak sekali aturan khusus, larangan, kepercayaan bahkan mitos yang berkaitan dengan perempuan yang sedang haid.

Munculnya aturan-aturan khusus hingga mitos terhadap wanita haid sangat bervariatif  sesuai dengan kultur dan kepercayaan setiap masyarakat. Sayangnya kebanyakan aturan dan mitos yang muncul sangat merugikan dan mendiskriminasi perempuan. Bahkan menurut Prof. Nasarudin Umar keberadaan menstrual taboo menjadi tonggak awal yang melanggengkan sistem patriarkhi di tengah masayarakat.

Pada zaman dahulu, rasa sakit dan gangguan yang perempuan alami saat haid menjadikan perempuan dilarang melakukan aktifitas berburu dan bercocok tanam. Hal ini lambat laun berkelanjutan dan merambah pada masa-masa di luar haid.

Akibatnya, terjadi pembatasan berkepanjangan bagi perempuan untuk melakukan aktifitas-aktifitas produksi. Dari sinilah awal mulai munculnya bias antara hal yang bersifat kodrati (haid) dan konstruktif (pekerjaan). Yang mana lambat laun berkembang menjadi pengkotakan dalam kontruksi gender.

Konstruksi Menstrual Taboo dalam Agama dan Budaya

Dahulu, perempuan tidak banyak memperoleh pendidikan untuk mengatasi haid. Mitos mengenai haid dianggap sesuatu yang sakral dan berasal dari Tuhan, sehingga masyarakat harus meyakininya. Misalnya keyakinan bahwa menstruasi adalah bentuk hukuman dari Tuhan kepada perempuan atas kesalahan Hawa/Eve.

Hawa dianggap bersalah karena telah merayu Adam untuk memakan buah terlarang. Sebagai perempuan pertama, maka kesalahan Hawa juga akan ditanggung semua perempuan setelahnya.

Kita tahu bahwa kisah pasangan manusia pertama tersebut ada dalam semua ajaran agama samawi, juga dalam beberapa kepercayaan lainya. Penyudutan figure perempuan sejak awal kisah penciptaan menyebabkan munculnya inferioritas perempuan yang  menjadi cikal bakal patrarki di tengah masyarakat apapun agama dan kepercayaanya.

Adapun mitos terkait menstrual taboo yang berkaitan dengan kisah ini, semakin memperkuat sistem patriarkis yang ada. Misalnya mitos  atau anggapan ketika  perempuan yang sedang haid itu berarti sedang  menerima hukuman atau kutukan dari Tuhan. Sehingga ia membawa sial dan harus kita asingkan. Atau berkaitan dengan darah yang keluar saat perempuan yang  sedang haid, sehingga menjadikanya kotor, dianggap najis dan harus kita hindari.

Berdasarkan tradisi Yahudi, perempuan yang sedang haid harus diasingkan ke tempat yang lain. Ia dilarang berinteraksi dengan keluarganya dan menyentuh masakan apapun. Perempuan yang sedang haid juga diharuskan tinggal dalam sebuah goa atau gubuk sempit yang dirancang khusus sebagai tempat tinggal mereka. Larangan ini juga diikuti  dengan aturan ketat lain yang makin mempersulit perempuan.

Parahnya, tradisi mengasingkan perempuan yang sedang haid  tidak hanya  terjadi pada kalangan Yahudi. Namun juga terjadi di berbagai belahan dunia, seperti India dan Suku Toraja (Indonesia). Hal tersebut mengindikasikan bahwa menstrual taboo menjadi sebuah bias universal yang tidak hanya terjadi pada satu agama atau komunitas saja.

Al-Qur’an Bicara Tentang Menstrual Taboo

Menariknya, sebuah ayat dalam Al-Qur’an telah turun, sebagai respon Islam terkait fenomena menstrual taboo di tengah masyarakat. Yaitu, QS. Al-Baqarah ayat 222 yang berbicara spesifik terkait masalah haid.

وَيَسْـَٔلُوْنَكَ عَنِ الْمَحِيْضِ ۗ قُلْ هُوَ اَذًىۙ فَاعْتَزِلُوا النِّسَاۤءَ فِى الْمَحِيْضِۙ وَلَا تَقْرَبُوْهُنَّ حَتّٰى يَطْهُرْنَ ۚ فَاِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوْهُنَّ مِنْ حَيْثُ اَمَرَكُمُ اللّٰهُ ۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ التَّوَّابِيْنَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِيْنَ

Terjemah Kemenag 2019

“Mereka bertanya kepadamu (Nabi Muhammad) tentang haid. Katakanlah, “Itu adalah suatu kotoran. Maka, jauhilah para istri (dari melakukan hubungan intim) pada waktu haid dan jangan kamu dekati mereka (untuk melakukan hubungan intim) hingga mereka suci (habis masa haid). Apabila mereka benar-benar suci (setelah mandi wajib), campurilah mereka sesuai dengan (ketentuan) yang Allah perintahkan kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri.”

Dalam beberapa riwayat, asbabun nuzul ayat tersebut berkaitan dengan kebiaasaan masyarakat Yahudi dan Nasrani dalam memperlakukan wanita haid. Bahwa ajaran Yahudi memiliki pengaruh yang cukup kuat terhadap hukum wanita  haid di Madinah. Seperti penjelasan sebelumnya, bahwa orang Yahudi terbiasa mengasingkan para wanita  yang sedang haid  dari rumahnya dan menghindari berbagai interaksi dengan mereka termasuk aktivitas seksual.

Hal ini berbanding terbalik dengan kebiasaan orang Nasrani yang tetap melakukan hubungan seksual terhadap wanita yang sedang haid. Hal ini pun ditanyakan kepada Rasuluallah dan dijawab dengan turunnya ayat tersebut.

Islam Merespon Adanya Menstrual Taboo

Ayat tersebut kurang lebih menjelaskan bahwa haid adalah adza’(kotoran, sakit, gangguan), sehingga umat Islam tidak boleh melakukan hubungan seksual dengan perempuan yang sedang haid. Namun juga tidak diperintahkan untuk mengasingkan mereka.

Dalam berbagai tafsir kita dapati bahwa  yang diperintahkan adalah menjauhi aktivitas seks bersama mereka, namun tidak dengan aktivitas sosial. Beberapa riwayat hadis juga menguatkan bahwa haid adalah ketetapan Allah terhadap perempuan. Sehingga terjadinya haid pada perempuan bukanlah hal yang tabu, aib apalagi kutukan.

Dalam pembahasan hukum Islam (fiqh) juga mempertegas  perbedaan antara hadas dan najis. Di mana hadas melekat pada keadaanya sedangkan  najis melekat pada bendanya. Perempuan yang sedang haid adalah perempuan yang sedang berhadas bukan najis. Adapun yang hukumnya najis adalah darah yang keluar dari farjinya, bukan tubuh perempuan itu sendiri

Oleh karena itu, dalam fiqh yang perlu dijauhi saat perempuan sedang haid adalah organ kelaminya (meninggalkan genital seks), bukan menjauhi orangnya. Cara pandang ini kiranya cukup efektif untuk mengikis budaya menstrual taboo yang telah subur di tengah masyarakat.

Distingsi dalam Terjemah dan Tafsir

Semangat Islam dalam memanusiakan perempuan, khususnya melalui upaya penghapusan menstrual Taboo tentu sangat kita apresiasi. Sayangya terdapat sedikit distingsi dalam pemaknaan kata adza’ pada QS. Al-Baqarah ayat 222. Misalnya yang terjadi pada teks terjemah Kemenag RI. Disana kata adza’ mereka artikan dengan “kotoran.”

Hal tersebut memang tidak salah, jika merujuk pada substansi darah haid yang hukumnya najis dan kotor. Namun akan menjadi problem, jika pilihan makna tersebut muncul dalam teks terjemah singkat tanpa adanya penjelasan yang memadai.

Hal tersebut berpotensi memunculkan kesalahpahaman pada masyarakat awam. Karena selama ini konotasi terhadap kotoran selalu merujuk pada hal-hal yang buruk (najis, menjijikan, rendah, dll). Hal ini  pada akhirnya dapat memunculkan inkonsistensi terhadap semagat penghapusan menstrual taboo yang juga merujuk ayat yang sama.

Tafsir Alternatif

Mengutip dari tafsiralquran.id, Sebagian mufasir memaknai kata adza dengan qadzr yang artinya kotoran. Jika kita kroscek dalam kamus Lisan al-‘Arab Ibn Mandhur, qadzr berarti kebalikan dari bersih, yakni kotor. Begitu pula pada kamus Al Munawwir qadzr  berarti kotoran.

Terjemah ini tampaknya yang Kemenag pilih dalam karya terjemahan Al-Qurannya, bahkan di edisi terbarunya, edisi penyempurnaan 2019 masih tetap, tidak berubah, yaitu ‘kotoran’

Padahal sebagian mufasir klasik termasuk Al-Thabari dan Al-Qurthubi, memberikan alternatif pemaknaan lain dari kata “adza”. Yakni sesuatu yang menyakiti (karena terhadapat hal yang tidak disenangi di dalamnya). Muffasir kontemporer seperti M. Ali Ash Shabuniy dan Wahbah Az Zuhaily. Juga memberikan alternafif pemaknaan lain untuk kata adza. Termasuk Quraish Shihab yang memiliki karya tafsir dalam bahasa Indonesia juga memberikan pemaknaan lain. Yakni sebuah gangguan.

Terlebih  lagi, dalam terjemah Al-Quran Kemenag, arti kata adza terdapat pada 23 tempat yang terklasifikasi menjadi enam. Yaitu menyakiti , mengganggu atau gangguan, hukuman, penganiayaan, kesusahan dan kotoran. Satu-satunya yang ia terjemahkan dengan kotoran adalah surat Al Baqarah ayat 222.

Dengan beragamnya pemaknaan kata adza menurut para muffasir, maka jika ingin merujuk ayat di atas tentu kita boleh memilih pemaknaan manakah yang kira-kira lebih banyak maslahatnya. Khususnya bagi perempuan  sebagai pihak yang mengalami haid. []

 

Tags: islamMenstrual TabooPengalaman biologis perempuansejarahSistem PatriarkiTabu MenstruasiYahudi
Kholifah Rahmawati

Kholifah Rahmawati

Alumni UIN KH Abdurrahman Wahid Pekalongan dan Mahasiswa di UIN Sunan Kalijga Yogyakarta. Peserta Akademi Mubadalah Muda 2023. Bisa disapa melalui instagram @kholifahrahma3

Terkait Posts

Memahami Disabilitas

Belajar Memahami Disabilitas dan Inklusivitas “Hanya” Dengan Naik Transjatim

23 Mei 2025
Narasi Gender dalam Islam

Melampaui Batasan Tafsir: Membebaskan Narasi Gender dalam Islam Menurut Mernissi dan Wadud

22 Mei 2025
Buku Disabilitas

“Normal” Itu Mitos: Refleksi atas Buku Disabilitas dan Narasi Ketidaksetaraan

22 Mei 2025
Jalan Mandiri Pernikahan

Jalan Mandiri Pernikahan

22 Mei 2025
Age Gap

Berhenti Meromantisasi “Age Gap” dalam Genre Bacaan di Kalangan Remaja

22 Mei 2025
Catcalling

Catcalling Masih Merajalela: Mengapa Kita Tidak Boleh Diam?

21 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Hj. Biyati Ahwarumi

    Hj. Biyati Ahwarumi, Perempuan di Balik Bisnis Pesantren Sunan Drajat

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Belajar Memahami Disabilitas dan Inklusivitas “Hanya” Dengan Naik Transjatim

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Benarkah KB Hanya untuk Perempuan?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Perempuan Bisa Menjadi Pemimpin: Telaah Buku Umat Bertanya, Ulama Menjawab

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Yuk Belajar Keberanian dari Ummu Haram binti Milhan…!!!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • KB: Ikhtiar Manusia, Tawakal kepada Allah
  • Filosofi Santri sebagai Pewaris Ulama: Implementasi Nilai Islam dalam Kehidupan Sosial
  • Perempuan Bisa Menjadi Pemimpin: Telaah Buku Umat Bertanya, Ulama Menjawab
  • Membaca Bersama Obituari Zen RS: Karpet Terakhir Baim
  • Yuk Belajar Keberanian dari Ummu Haram binti Milhan…!!!

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version