Mubadalah.id – Haid itu kotoran, Haid itu keluarnya darah kotor , wanita yang sedang haid itu kotor. Mungkin begitulah pandangan sebagian orang tentang haid yang menjadi pengalaman biologis khas perempuan. Namun benarkah demikian? Lalu apa dampaknya bagi perempuan?
Benarkah Haid Itu Kotoran?
Menyebut haid sebagai kotoran memang kurang tepat, namun juga tidak sepenuhnya salah. Merujuk pada substansinya yang berupa darah, secara fikih memang terhukumi najis dan setiap najis itu kotor. Namun secara medis darah yang keluar pada wanita haid bukanlah darah kotor seperti anggapan kebanyakan orang.
Darah yang keluar saat haid merupakan hasil peluruhan dinding rahim perempuan yang menebal. Penebalan dinding berfungsi sebagai persiapan nutrisi janin yang akan tumbuh dalam rahim. Namun saat tidak terjadi pembuahan, keberadaan dinding rahim tersebut menjadi kehilangan fungsinya. Hingga akhirnya meluruh sebagai darah haid atau menstruasi
Jadi secara medis, darah yang keluar dari wanita haid bukanlah darah kotor. Adapun darah kotor pada tubuh manusia akan tersaring oleh ginjal dan dikeluarkan kotoranya melalui urine. Di mana hal ini tidak hanya terjadi pada perempuan.
Menstrual Taboo Sebagai Sumber Patriarkhi
Adanya miskonsepsi tentang haid yang sebagai kotoran, nampaknya berkaitan erat dengan adanya menstrual taboo di tengah masayarakat. Menstrual taboo adalah istilah yang kita gunakan dalam kajian antropologi terkait dengan pengaruh menstruasi bagi perempuan dalam kehidupan sosial.
Darah haid atau menstruasi anggapannya darah yang tabu karena karakteristiknya yang khas dan hanya terjadi pada perempuan. Oleh sebab itu banyak sekali aturan khusus, larangan, kepercayaan bahkan mitos yang berkaitan dengan perempuan yang sedang haid.
Munculnya aturan-aturan khusus hingga mitos terhadap wanita haid sangat bervariatif sesuai dengan kultur dan kepercayaan setiap masyarakat. Sayangnya kebanyakan aturan dan mitos yang muncul sangat merugikan dan mendiskriminasi perempuan. Bahkan menurut Prof. Nasarudin Umar keberadaan menstrual taboo menjadi tonggak awal yang melanggengkan sistem patriarkhi di tengah masayarakat.
Pada zaman dahulu, rasa sakit dan gangguan yang perempuan alami saat haid menjadikan perempuan dilarang melakukan aktifitas berburu dan bercocok tanam. Hal ini lambat laun berkelanjutan dan merambah pada masa-masa di luar haid.
Akibatnya, terjadi pembatasan berkepanjangan bagi perempuan untuk melakukan aktifitas-aktifitas produksi. Dari sinilah awal mulai munculnya bias antara hal yang bersifat kodrati (haid) dan konstruktif (pekerjaan). Yang mana lambat laun berkembang menjadi pengkotakan dalam kontruksi gender.
Konstruksi Menstrual Taboo dalam Agama dan Budaya
Dahulu, perempuan tidak banyak memperoleh pendidikan untuk mengatasi haid. Mitos mengenai haid dianggap sesuatu yang sakral dan berasal dari Tuhan, sehingga masyarakat harus meyakininya. Misalnya keyakinan bahwa menstruasi adalah bentuk hukuman dari Tuhan kepada perempuan atas kesalahan Hawa/Eve.
Hawa dianggap bersalah karena telah merayu Adam untuk memakan buah terlarang. Sebagai perempuan pertama, maka kesalahan Hawa juga akan ditanggung semua perempuan setelahnya.
Kita tahu bahwa kisah pasangan manusia pertama tersebut ada dalam semua ajaran agama samawi, juga dalam beberapa kepercayaan lainya. Penyudutan figure perempuan sejak awal kisah penciptaan menyebabkan munculnya inferioritas perempuan yang menjadi cikal bakal patrarki di tengah masyarakat apapun agama dan kepercayaanya.
Adapun mitos terkait menstrual taboo yang berkaitan dengan kisah ini, semakin memperkuat sistem patriarkis yang ada. Misalnya mitos atau anggapan ketika perempuan yang sedang haid itu berarti sedang menerima hukuman atau kutukan dari Tuhan. Sehingga ia membawa sial dan harus kita asingkan. Atau berkaitan dengan darah yang keluar saat perempuan yang sedang haid, sehingga menjadikanya kotor, dianggap najis dan harus kita hindari.
Berdasarkan tradisi Yahudi, perempuan yang sedang haid harus diasingkan ke tempat yang lain. Ia dilarang berinteraksi dengan keluarganya dan menyentuh masakan apapun. Perempuan yang sedang haid juga diharuskan tinggal dalam sebuah goa atau gubuk sempit yang dirancang khusus sebagai tempat tinggal mereka. Larangan ini juga diikuti dengan aturan ketat lain yang makin mempersulit perempuan.
Parahnya, tradisi mengasingkan perempuan yang sedang haid tidak hanya terjadi pada kalangan Yahudi. Namun juga terjadi di berbagai belahan dunia, seperti India dan Suku Toraja (Indonesia). Hal tersebut mengindikasikan bahwa menstrual taboo menjadi sebuah bias universal yang tidak hanya terjadi pada satu agama atau komunitas saja.
Al-Qur’an Bicara Tentang Menstrual Taboo
Menariknya, sebuah ayat dalam Al-Qur’an telah turun, sebagai respon Islam terkait fenomena menstrual taboo di tengah masyarakat. Yaitu, QS. Al-Baqarah ayat 222 yang berbicara spesifik terkait masalah haid.
وَيَسْـَٔلُوْنَكَ عَنِ الْمَحِيْضِ ۗ قُلْ هُوَ اَذًىۙ فَاعْتَزِلُوا النِّسَاۤءَ فِى الْمَحِيْضِۙ وَلَا تَقْرَبُوْهُنَّ حَتّٰى يَطْهُرْنَ ۚ فَاِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوْهُنَّ مِنْ حَيْثُ اَمَرَكُمُ اللّٰهُ ۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ التَّوَّابِيْنَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِيْنَ
Terjemah Kemenag 2019
“Mereka bertanya kepadamu (Nabi Muhammad) tentang haid. Katakanlah, “Itu adalah suatu kotoran. Maka, jauhilah para istri (dari melakukan hubungan intim) pada waktu haid dan jangan kamu dekati mereka (untuk melakukan hubungan intim) hingga mereka suci (habis masa haid). Apabila mereka benar-benar suci (setelah mandi wajib), campurilah mereka sesuai dengan (ketentuan) yang Allah perintahkan kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri.”
Dalam beberapa riwayat, asbabun nuzul ayat tersebut berkaitan dengan kebiaasaan masyarakat Yahudi dan Nasrani dalam memperlakukan wanita haid. Bahwa ajaran Yahudi memiliki pengaruh yang cukup kuat terhadap hukum wanita haid di Madinah. Seperti penjelasan sebelumnya, bahwa orang Yahudi terbiasa mengasingkan para wanita yang sedang haid dari rumahnya dan menghindari berbagai interaksi dengan mereka termasuk aktivitas seksual.
Hal ini berbanding terbalik dengan kebiasaan orang Nasrani yang tetap melakukan hubungan seksual terhadap wanita yang sedang haid. Hal ini pun ditanyakan kepada Rasuluallah dan dijawab dengan turunnya ayat tersebut.
Islam Merespon Adanya Menstrual Taboo
Ayat tersebut kurang lebih menjelaskan bahwa haid adalah adza’(kotoran, sakit, gangguan), sehingga umat Islam tidak boleh melakukan hubungan seksual dengan perempuan yang sedang haid. Namun juga tidak diperintahkan untuk mengasingkan mereka.
Dalam berbagai tafsir kita dapati bahwa yang diperintahkan adalah menjauhi aktivitas seks bersama mereka, namun tidak dengan aktivitas sosial. Beberapa riwayat hadis juga menguatkan bahwa haid adalah ketetapan Allah terhadap perempuan. Sehingga terjadinya haid pada perempuan bukanlah hal yang tabu, aib apalagi kutukan.
Dalam pembahasan hukum Islam (fiqh) juga mempertegas perbedaan antara hadas dan najis. Di mana hadas melekat pada keadaanya sedangkan najis melekat pada bendanya. Perempuan yang sedang haid adalah perempuan yang sedang berhadas bukan najis. Adapun yang hukumnya najis adalah darah yang keluar dari farjinya, bukan tubuh perempuan itu sendiri
Oleh karena itu, dalam fiqh yang perlu dijauhi saat perempuan sedang haid adalah organ kelaminya (meninggalkan genital seks), bukan menjauhi orangnya. Cara pandang ini kiranya cukup efektif untuk mengikis budaya menstrual taboo yang telah subur di tengah masyarakat.
Distingsi dalam Terjemah dan Tafsir
Semangat Islam dalam memanusiakan perempuan, khususnya melalui upaya penghapusan menstrual Taboo tentu sangat kita apresiasi. Sayangya terdapat sedikit distingsi dalam pemaknaan kata adza’ pada QS. Al-Baqarah ayat 222. Misalnya yang terjadi pada teks terjemah Kemenag RI. Disana kata adza’ mereka artikan dengan “kotoran.”
Hal tersebut memang tidak salah, jika merujuk pada substansi darah haid yang hukumnya najis dan kotor. Namun akan menjadi problem, jika pilihan makna tersebut muncul dalam teks terjemah singkat tanpa adanya penjelasan yang memadai.
Hal tersebut berpotensi memunculkan kesalahpahaman pada masyarakat awam. Karena selama ini konotasi terhadap kotoran selalu merujuk pada hal-hal yang buruk (najis, menjijikan, rendah, dll). Hal ini pada akhirnya dapat memunculkan inkonsistensi terhadap semagat penghapusan menstrual taboo yang juga merujuk ayat yang sama.
Tafsir Alternatif
Mengutip dari tafsiralquran.id, Sebagian mufasir memaknai kata adza dengan qadzr yang artinya kotoran. Jika kita kroscek dalam kamus Lisan al-‘Arab Ibn Mandhur, qadzr berarti kebalikan dari bersih, yakni kotor. Begitu pula pada kamus Al Munawwir qadzr berarti kotoran.
Terjemah ini tampaknya yang Kemenag pilih dalam karya terjemahan Al-Qurannya, bahkan di edisi terbarunya, edisi penyempurnaan 2019 masih tetap, tidak berubah, yaitu ‘kotoran’
Padahal sebagian mufasir klasik termasuk Al-Thabari dan Al-Qurthubi, memberikan alternatif pemaknaan lain dari kata “adza”. Yakni sesuatu yang menyakiti (karena terhadapat hal yang tidak disenangi di dalamnya). Muffasir kontemporer seperti M. Ali Ash Shabuniy dan Wahbah Az Zuhaily. Juga memberikan alternafif pemaknaan lain untuk kata adza. Termasuk Quraish Shihab yang memiliki karya tafsir dalam bahasa Indonesia juga memberikan pemaknaan lain. Yakni sebuah gangguan.
Terlebih lagi, dalam terjemah Al-Quran Kemenag, arti kata adza terdapat pada 23 tempat yang terklasifikasi menjadi enam. Yaitu menyakiti , mengganggu atau gangguan, hukuman, penganiayaan, kesusahan dan kotoran. Satu-satunya yang ia terjemahkan dengan kotoran adalah surat Al Baqarah ayat 222.
Dengan beragamnya pemaknaan kata adza menurut para muffasir, maka jika ingin merujuk ayat di atas tentu kita boleh memilih pemaknaan manakah yang kira-kira lebih banyak maslahatnya. Khususnya bagi perempuan sebagai pihak yang mengalami haid. []