Mubadalah.id – Di antara hal yang paling kentara membedakan perempuan dari laki-laki adalah soal menstruasi. Sebagaimana dicatat dalam sejarah peradaban dunia, perempuan yang menstruasi di berbagai belahan dunia, bahkan masih ada sampai sekarang direndahkan, disisihkan, dikucilkan, dijauhkan, dianggap kotor, buruk, dan membawa roh jahat.
Sekalipun menstruasi berhubungan erat dengan kesuburan seseorang yang memiliki rahim, dan rahim amat penting bagi reproduksi manusia. Tetapi justru rahim dan menstruasi inilah yang menjadi awal dari segala bentuk diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan.
Karena anggapan diskriminatif ini, sebagaimana dicatat kitab-kitab tafsir dan hadits, pada masa Nabi Muhammad Saw., perempuan yang menstruasi juga tidak boleh diajak makan dan minum bersama, serta tidur bersama.
Anggapan dan perilaku diskriminatif inilah yang ingin dikikis oleh Islam dalam deklarasi Qur’ani (QS. al-Baqarah (2): 222), bahwa menstruasi tidak lebih dari rasa sakit yang dialami perempuan. Titik. Bukan persoalan mitos perempuan karena haid, ia jatuh menjadi lebih rendah, hina, dan najis, sebagaimana yang banyak masyarakat dunia yakini saat itu.
Selain berhubungan seksual, maka semua hubungan intim, perbuatan makan-minum dan tidur bersama, serta perilaku apa pun sehari-hari dengan perempuan menstruasi adalah boleh.
Warisan Budaya
Tentu saja, karena warisan budaya dan peradaban yang begitu masif dan sistemik, tabu menstruasi masih memiliki pengaruh yang kuat dalam kitab-kitab tafsir dan fiqh.
Beberapa masih percaya dan mengaitkan menstruasi dengan dosa-dosa awal Siti Hawa, padahal tidak ada dalil dari Qur’an maupun hadits.
Beberapa kitab fiqh memperluas larangan ibadah bagi perempuan yang sedang menstruasi, (padahal di hadits hanya shalat, puasa, dan thawaf), dengan basis asumsi bahwa mereka adalah najis, kotor, dan tidak layak beribadah.
Seyogianya, larangan ini terkait dengan kondisi tubuh perempuan yang memerlukan istirahat, bukan dengan asumsi kotor dan najis. Yang najis dan kotor adalah darah yang keluar, bukan tubuh perempuan itu sendiri.
Dan status najis darah menstruasi ini juga sama dengan darah yang keluar dari tubuh lain. Begitu pun larangan masuk masjid, seyogianya kita kaitkan dengan darah haid yang mungkin mengotori lantai masjid, bukan dengan tubuh perempuan yang kotor atau najis.
Tubuh Perempuan itu Suci
Tubuh perempuan adalah suci sebagai manusia, sebagaimana tubuh laki-laki. Sehingga, jika darah haid tidak mengotori masjid, maka perempuan boleh memasuki masjid.
Hal ini persis dengan yang Nabi Muhammad Saw nyatakan kepada Aisyah Ra.,
“Darah haidmu itu tidak berada di tanganmu.” Pernyataan ini Nabi Saw sampaikan ketika Aisyah Ra mengambil pakaian dari dalam masjid, lalu menjawab, “Aku sedang haid.”
Aisyah Ra. berkata, “Rasulullah Saw. memintaku untuk mengambilkan pakaian dari dalam masjid. Aku menjawab, ‘Aku sedang haid. Lalu, Rasulullah Saw. menimpali, Haidmu itu bukan di tanganmu.” (Shahih Bukhari, no. 715).
Inilah pernyataan yang revolusioner dari Nabi Muhammad Saw. untuk mengikis segala mitos kenajisan tubuh perempuan akibat menstruasi.
Dengan bukti ini, bisa kita tegaskan bahwa ajaran Islam sama sekali tidak menistakan (menajiskan) tubuh perempuan yang sedang menstruasi.
Pengecualian yang Islam lakukan terkait kondisi tubuh perempuan pada masa menstruasi harus kita maknai sebagai penghargaan dan keringanan, atau apresiasi dan dispensasi (min bab at-tarkhish).*
*Sumber: tulisan Faqihuddin Abdul Kodir dalam buku Qiraah Mubadalah.