Mubadalah.id – Menteri Lingkungan Hidup sekaligus Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (BPLH), Hanif Faisol Nurofiq, menegaskan komitmen pemerintah untuk membangun pendidikan inklusif.
Alih-alih sekadar menekankan pada inklusivitas akses akademik, gagasan Pak Menteri Lingkungan Hidup bahkan menyasar aspek sekrusial isu iklim dan lingkungan.
Hanif yang lekas menjabat sebagai Menteri Lingkungan Hidup di Kabinet Merah Putih sejak 21 Oktober 2024 itu secara spesifik menyorot krisis iklim sebagai bagian dari agenda pendidikan inklusif.
Menurutnya, pengetahuan dan kepedulian terhadap lingkungan sejak di bangku sekolah dapat melahirkan generasi yang cerdas secara akademik sekaligus punya kesadaran akan keberlanjutan.
“Anak-anak yang belajar di sini (sekolah rakyat) bukan hanya calon pemimpin bangsa, tapi juga calon penjaga bumi,” tutur politisi alumnus Fakultas Kehutanan Universitas Brawijaya, Malang, itu.
Gagasan Pak Menteri selaras dengan temuan UNESCO (2021). Krisis lingkungan memang punya implikasi keriskanan yang lebih tinggi terhadap kalangan disabilitas. Hal itu muncul akibat tantangan yang lebih besar dalam memahami isu tersebut.
Disabilitas punya kesadaran lingkungan yang tinggi
Ide brilian dari Menteri Lingkungan Hidup tentunya patut beroleh sambutan baik. Inovasi untuk menyertakan isu lingkungan ke dalam muatan pendidikan inklusif merupakan bagian dari jaminan atas posisi disabilitas selaku subjek penuh.
Namun, sebelum ide cemerlang dari Hanif Faishol tadi muncul, kalangan disabilitas sejatinya telah menunjukkan sensitivitas yang tinggi terhadap isu iklim dan lingkungan.
Fakta ini berangkat dari hasil penelitian Tim Riset Teknik Lingkungan Universitas Islam Indonesia (UII). Tim peneliti menemukan bahwa para penyandang disabilitas menaruh komitmen lebih terhadap aksi iklim.
Penelitian ini mengambil sampel di dua daerah di wilayah Indonesia bagian timur. Keduanya yakni Kota Ternate di Provinsi Maluku Utara dan Kabupaten Timor Tengah Utara Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Kedua daerah tersebut pada dasarnya memang masuk kategori rawan bencana. Menariknga, justru di dua tempat itulah berdiri rumah bagi komunitas disabilitas yang punya ikatan batin dengan isu segenting lingkungan ini.
Peka pada tantangan di lapangan
Meskipun layak beroleh acungan jempol, program Pak Menteri mesti peka pada kondisi dan tantangan di lapangan. Bagaimanapun, pendidikan inklusif di Indonesia masih baru berjalan semenjana.
Khusus membahas perihal materi tentang perubahan iklim, Siti Azizah Susilawati (2025) dalam artikelnya menyebut empat tantangan utama yang masih membayangi.
Keempatnya yaitu (1) minimnya materi / kurikulum yang adaptif, (2) metode ajar yang belum inklusif, (3) rendahnya pelatihan guru, serta (4) keterbatasan sumber daya pendukung.
Pemerintah tentu tak boleh tutup mata akan realita ini. Pemerintah mesti memfasilitasi kolaborasi antara pendidik / guru, ahli okupasi, serta ahli disabilitas. Mereka dapat bersama-sama merancang desain materi, konten, maupun luaran pembelajaran yang inklusif.
Susilawati (2025) juga menekankan pentingnya penyertaan teknologi dalam mendukung pembelajaran. Hal ini dapat menjadi bagian pertimbangan pemerintah yang tengah getol menyiapkan televisi pembelajaran untuk sekolah-sekolah.
Alih-alih menyamaratakan kebutuhan teknologi pendukung di pelbagai sekolah, akan lebih bijak jika sekolah punya keleluasaan menentukan piranti teknologi yang diperlukan oleh siswa-siswanya.
Tak boleh jadi program omon-omon
Publik tentu menantikan realisasi nyata dari ide inovatif ala Pak Menteri Lingkungan Hidup tersebut. Tentunya, Pak Menteri tak boleh sekadar omon-omon seperti yang terjadi pada kebanyakan janji pemerintah.
Pemerintah pernah menjanjikan hadirnya lowongan pekerjaan untuk 19 juta rakyat. Bahkan, lebih dari seperempatnya merupakan pekerjaan ramah lingkungan alias green jobs. Namun, kenyataan sama sekali kontras.
Badai pemutusan hubungan kerja (PHK) secara massal berlangsung di pelbagai perusahaan. Selepas Sritex di Solo pada Maret lalu, kini giliran Gudang Garam yang turut memecat karyawannya secara besar-besaran.
Melihat gaya omon-omon pemerintah ini, publik tak boleh lengah mengawal program Menteri Lingkungan Hidup mengenai pendidikan inklusif berbasis ramah lingkungan tadi.
Pak Menteri perlu ingat bahwa pembohongan rakyat berpotensi menyulut api demonstrasi seperti telah terjadi pada akhir Agustus hingga awal September silam.
Lagi pula, sungguh tak terbayang betapa besarnya dosa Pak Menteri bila sampai tega membohongi publik lewat narasi inklusivitas. Karenanya, mata rakyat harus senantiasa memicing guna memantau realisasinya di lapangan. Semoga, Menteri Lingkungan Hidup tak hobi omon-omon seperti pejabat lainnya! []