Mubadalah.id – Musim haji tahun ini telah usai. Para jamaah dari berbagai negara mulai meninggalkan tanah suci dan kembali ke tanah air masing-masing secara berkala. Periode perjalanan spiritual penuh perjuangan itu telah selesai, kewajibannya pun sudah terlaksana. Namun, tugas selanjutnya adalah merawat semangat haji tersebut sepanjang hayat. Bahkan sudah semestinya harus meningkat dari sebelum berangkat berhaji.
Setiap tahun juga kita menyaksikan jutaan kaum muslimin dari berbagai penjuru dunia memenuhi panggilan Allah untuk menunaikan ibadah haji. Mereka berbondong-bondong hadir dan datang ke tanah suci dengan penuh kerinduan, pergi meninggalkan kampung halaman, keluarga, dan berbagai kenyamanan duniawi semata-mata untuk melaksanakan perintah Allah serta mengharapkan ridha-Nya.
Pemandangan yang sangat mengharukan ketika melihat semangat di wajah para jamaah. Seakan fenomena ini tercermin sebagai bentuk manifestasi firman Allah SWT yang tercantum dalam Al-Qur’an surat al-Hajj ayat 27:
وَاَذِّنْ فِى النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوْكَ رِجَالًا وَّعَلٰى كُلِّ ضَامِرٍ يَّأْتِيْنَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيْقٍ ۙ
Artinya: “(Wahai Ibrahim, serulah manusia untuk (mengerjakan) haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki dan mengendarai unta kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh.”
Meskipun dengan seiring perkembangan teknologi transportasi, kita sudah sangat jarang menyaksikan jamaah haji yang berangkat dengan jalan kaki atau mengendarai unta kurus untuk menunaikan perintah Allah. Namun, semangat yang tergambarkan masih terasa hingga zaman modern.
Sekarang, musim haji tahun ini telah usai. Sepulang dari tanah suci, pertanyaan ini patut untuk kita renungkan dalam diri masing-masing: Apakah semangat dan transformasi spiritual yang kita peroleh selama berhaji dapat bertahan serta terawat sepanjang hayat?
Apakah panggilan Allah yang telah kita respon dengan penuh pengorbanan itu dapat tercermin dalam kehidupan sehari-hari? Inilah tantangan kita selaku muslim yang telah menunaikan ibadah haji.
Fondasi Spiritual: Tiga Pilar Semangat Haji
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita perlu meresapi firman Allah SWT yang terkandung dalam QS. Al-Baqarah ayat 197:
اَلْحَجُّ اَشْهُرٌ مَّعْلُوْمٰتٌ ۚ فَمَنْ فَرَضَ فِيْهِنَّ الْحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوْقَ وَلَا جِدَالَ فِى الْحَجِّ ۗ وَمَا تَفْعَلُوْا مِنْ خَيْرٍ يَّعْلَمْهُ اللّٰهُ ۗ وَتَزَوَّدُوْا فَاِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوٰىۖ
Artinya: “(Musim) haji itu (berlangsung pada) bulan-bulan yang telah dimaklumi. Siapa yang mengerjakan (ibadah) haji dalam (bulan-bulan) itu, janganlah berbuat rafaṡ, kefasikan, dan bertengkar dalam (melakukan ibadah) haji. Segala kebaikan yang kamu kerjakan (pasti) Allah mengetahuinya. Berbekallah karena sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa.”
Dalam ayat ini menjelaskan bahwa ketentuan penting yang harus kita jaga selama pelaksanaan haji adalah tidak boleh berbuat rafats (cabul), bermaksiat dan pertengkaran. Meskipun telah selesai beribadah haji, semangat ibadah kepada Allah SWT dengan menjaga ketentuan yang telah disebutkan wajib kita teruskan dalam kehidupan sehari-hari.
Menjaga Kesucian dari Perbuatan Rafats (Cabul)
Ketentuan pertama mengharuskan kita tetap konsisten menjaga diri dari perbuatan rafats (cabul). Dalam hal ini, Imam Fakhruddin dalam kitab Mafatihul Ghaib (jilid 5, halaman 317) menjelaskan, dengan mengutip pendapat al-Hasan:
وَقَالَ الْحَسَنُ: الْمُرَادُ مِنْهُ كُلُّ مَا يَتَعَلَّقُ بِالْجِمَاعِ فَالرَّفَثُ بِاللِّسَانِ ذِكْرُ الْمُجَامَعَةِ وَمَا يَتَعَلَّقُ بِهَا، وَالرَّفَثُ بِالْيَدِ اللَّمْسُ وَالْغَمْزُ، وَالرَّفَثُ بِالْفَرَجِ الْجِمَاعُ
Artinya: Al-Hasan berkata, “Maksud (rafats) adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan hubungan seksual. Adapun rafats dengan lisan ialah membicarakan tentang hubungan intim atau hal-hal yang mengarah kepadanya. Sedangkan rafats dengan tangan ialah menyentuh atau meraba. Lalu, rafats dengan kemaluan adalah dengan bersetubuh.”
Dalam konteks selama berhaji, perbuatan rafats berlaku kepada semua orang, termasuk kepada istri. Namun ketika ibadah haji selesai, perbuatan yang mengarah kepada seksualitas hanya berlaku saat bersama istri. Dengan merawat semangat haji, kita harus menjaga lisan, tangan, dan kemaluan dari hal-hal yang menjurus kepada pencabulan yang diharamkan.
Menghindari Segala Bentuk Kefasikan
Ketentuan semangat ibadah haji yang kedua dari QS. Al-Baqarah ayat 196, yakni berbuat kefasikan. Dalam kitab yang sama, Imam Fakhruddin menjelaskan:
أَنَّ الْفُسُوقَ هُوَ الْخُرُوجُ عَنِ الطَّاعَةِ، وَاخْتَلَفَ الْمُفَسِّرُونَ فَكَثِيرٌ مِنَ الْمُحَقِّقِينَ حَمَلُوهُ عَلَى كُلِّ الْمَعَاصِي
Artinya: “Bahwasanya (maksud dari) kefasikan dalam ayat tersebut ialah keluar dari ketaatan kepada Allah. Dalam menjelaskan makna kefasikan, para ahli tafsir berbeda pendapat, namun menyimpulkan satu makna, bahwa makna fasik dalam QS. Al-Baqarah ayat 196 bermakna setiap kemaksiatan.”
Dengan merawat semangat haji sepanjang hayat, kita harus tetap menjalankan ketaatan kepada Allah SWT dan menjauhi segala kemaksiatan, sebagaimana yang telah kita lakukan selama ibadah haji berlangsung.
Menjaga Perdamaian dan Menghindari Perdebatan yang Tidak Berguna
Ketentuan ketiga dari semangat ibadah haji adalah menghindari perdebatan yang tidak berarti dan menjurus kepada permusuhan dan pertikaian di antara sesama. Sebagaimana penjelasan Fakhruddin Ar-Razi dalam kitab yang sama, dengan mengutip dua pendapat ulama:
فَالْأَوَّلُ: قَالَ الْحَسَنُ: هُوَ الْجِدَالُ الَّذِي يُخَافُ مِنْهُ الْخُرُوجُ إِلَى السِّبَابِ وَالتَّكْذِيْبِ وَالتَّجْهِيْلِ وَالثَّانِي قَالَ مُحَمَّدُ بْنُ كَعْبٍ الْقُرَظِيُّ: إِنَّ قُرَيْشًا كَانُوا إِذَا اجْتَمَعُوا بِمِنًى، قَالَ بَعْضُهُمْ: حَجُّنَا أَتَمُّ، وَقَالَ آخَرُونَ: بَلْ حَجُّنَا أَتَمُّ، فَنَهَاهُمُ اللّٰهُ تَعَالَى عَنْ ذَلِكَ
Artinya: “Pendapat yang pertama, Al-Hasan berkata: Bahwa maksud dari Al-Jidal (perdebatan) dalam QS. Al-Baqarah ayat 196 tersebut ialah perdebatan yang dikhawatirkan menimbulkan makian, pendustaan, dan penganggap-bodohan orang lain. Sedangkan pendapat yang kedua, Muhammad bin Ka’ab al-Qurazhi berkata: Sungguh, (zaman dulu) jika orang-orang Quraisy berkumpul di Mina. Salah seorang dari mereka berkata, “Haji kami yang paling sempurna.” Lalu ditimpal oleh salah seorang dari mereka yang lain, “Tentu, tentu haji kami yang paling sempurna.” Maka Allah melarang orang-orang yang berhaji untuk melakukan perdebatan seperti orang-orang Quraisy itu.
Implementasi Tiga Pilar dalam Kehidupan Sehari-hari
Untuk merawat semangat haji sepanjang hayat, terdapat tiga hal umum yang harus konsisten dilaksanakan. Pertama, kita harus menjaga kesucian diri dengan menjaga lisan, tangan, dan kemaluan dari perbuatan rafats atau cabul.
Kedua, kita harus mentaati segala perintah Allah SWT dan menjauhi segala larangan-Nya. Serta yang ketiga, kita harus menjaga perdamaian di antara sesama dengan menghindari segala bentuk pertikaian yang tidak penting.
Dengan menjaga ketiga hal tersebut, maka seakan-akan kita merawat semangat haji yang telah ditetapkan oleh Allah SWT. Oleh sebab itu, mari jangan sia-siakan ibadah yang telah dikerjakan. Semoga ibadah kita ditetapkan sebagai haji yang mabrur.
Penutup: Transformasi Berkelanjutan
Merawat semangat haji bukanlah tugas yang berakhir setelah kembali dari tanah suci. Transformasi yang terjadi selama menunaikan ibadah haji seharusnya menjadi titik awal perubahan yang berkelanjutan, bukan puncak pencapaian spiritual yang kemudian menurun.
Dengan mempertahankan ketiga prinsip dasar tersebut, kita dapat merawat semangat haji sepanjang hayat dan menjadikan ibadah haji sebagai momentum transformasi menuju kehidupan yang lebih bermakna dan penuh berkah. []