Mubadalah.id – Isu keluarga berencana (KB) masih menjadi bahan perbincangan yang tak kunjung selesai. Setiap diskusinya selalu menyisakan ruang pro dan kontra, baik dari sisi medis, agama, sosial, maupun budaya. Namun satu hal yang pasti yaitu pembahasan ini tidak bisa dilepaskan dari kenyataan bahwa tidak semua orang siap menjadi orang tua, meskipun telah atau ingin menikah.
Dalam perspektif yang mendukung program KB, pembatasan jumlah anak bukan semata soal angka. Tapi tentang kualitas sumber daya manusia (SDM) yang dihasilkan.
Ini bukan hanya teori, tapi didukung oleh berbagai kajian yang menunjukkan bahwa keluarga yang direncanakan dengan baik cenderung mampu memenuhi kebutuhan anak, baik secara emosional, psikologis, maupun finansial.
Sayangnya, kasus penelantaran anak justru terus menjadi alarm sosial yang tak kunjung padam. Data dari website resmi SIMFONI-PPA yang dikelola oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) mencatat, per 15 Januari 2025, terdapat 569 kasus kekerasan terhadap anak, dengan 58 di antaranya merupakan kasus penelantaran. Ini hanyalah bagian kecil dari kenyataan yang ada di lapangan, karena masih banyak kasus serupa yang tidak dilaporkan.
Fakta ini menunjukkan bahwa sebagian orang tua masih belum menyadari dampak serius dari penelantaran anak. Banyak yang masih terjebak dalam pola pikir lama bahwa pernikahan identik dengan memiliki keturunan, tanpa mempertimbangkan kesiapan emosional dan finansial. Mereka berharap kesiapan itu akan datang seiring waktu, padahal nyatanya tidak semudah itu.
Masih banyak orang yang ingin menjadi orang tua. Tetapi yang ia pikirkan hanya sebatas pemenuhan nafsu sesaat. Mereka mengabaikan tanggung jawab besar setelahnya bahwa anak bukan sekadar hasil. Tapi manusia utuh yang membutuhkan cinta, keamanan, dan bimbingan sejak dini.
Seharusnya, pertanyaan utama sebelum memiliki anak bukan “kapan punya anak?”, melainkan “apakah saya siap menjadi orang tua?”. Karena anak bukan pelengkap keluarga. Melainkan amanah yang perlu mereka sambut dengan kesiapan total yaitu lahir dan batin, mental dan material.
Dampak Penelantaran Pada Anak
Anak-anak yang ditelantarkan cenderung mengalami luka batin yang berkepanjangan. Mereka tumbuh dengan kepercayaan diri yang rendah, kesulitan dalam mengambil keputusan, dan merasa tidak layak dicintai.
Tak jarang, mereka mencari validasi berlebihan dari luar karena luka masa kecil yang belum selesai. Inilah yang kita kenal sebagai luka inner child, trauma masa kecil yang terus terbawa hingga dewasa.
Oleh karena itu, mencegah penelantaran anak bukan hanya tanggung jawab individu, tapi juga menjadi misi bersama. Dukungan terhadap program KB, pendidikan kesehatan reproduksi. Serta layanan pendampingan psikologis menjadi langkah strategis untuk memutus mata rantai luka antar generasi.
KB Berperspektif Ramah Perempuan
Lebih dari itu, penting juga untuk menyoroti bagaimana program KB harus dirancang agar tidak membebani perempuan secara sepihak. Selama ini, mayoritas metode kontrasepsi, baik suntik, pil, maupun implant dilakukan oleh perempuan.
Padahal, tanggung jawab perencanaan keluarga seharusnya bersifat setara antara pasangan. Laporan dari BKKBN (Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional) tahun 2023 mencatat bahwa partisipasi laki-laki dalam penggunaan kontrasepsi masih sangat rendah, hanya sekitar 2,5% yang menggunakan vasektomi atau kondom sebagai metode KB. Hal ini menunjukkan masih minimnya kesadaran dan partisipasi laki-laki dalam urusan pengendalian kelahiran.
Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020–2024, BKKBN juga menekankan pentingnya pendekatan gender dalam pelaksanaan program KB, yaitu memastikan agar program ini tidak bias dan tidak membebani perempuan semata.
Dengan pendekatan ini, perencanaan keluarga bisa menjadi ruang kesetaraan, di mana laki-laki juga kita dorong untuk mengambil peran aktif dalam merawat dan bertanggung jawab terhadap keputusan memiliki anak.
Kemudian yang terakhir, salah satu upaya untuk mengurangi kasus penelantaran anak ialah, semua orang tua perlu beralih pada pola asuh yang lebih egaliter dan manusiawi yang bukan hanya memikirkan jumlah anak, tetapi benar-benar menyiapkan ruang aman bagi anak untuk tumbuh dan berkembang.
Karena sejatinya, menjadi orang tua bukan hanya soal mampu melahirkan, tetapi mampu mencintai dan merawat dengan penuh kesadaran. []