• Login
  • Register
Rabu, 2 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Khazanah Pernak-pernik

Multikulturalisme: Kampung Inggris Pare sebagai Penggiat Toleransi

Pare menjadi lokasi yang melahirkan nilai-nilai multikulturalisme. Gagasan tersebut sejatinya menjadi salah satu letak hadirnya kritik dan perkembangan dengan latar belakang etnis dan suku yang berbeda dan memiliki toleransi yang tinggi walaupun terdapat banyak keberagaman

Mifta Kharisma Mifta Kharisma
16/08/2021
in Pernak-pernik
0
Multikulturalisme

Multikulturalisme

971
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Konsep single monism yang dijelaskan oleh Bhikkhu Parekh membahas, mengenai substansi kebenaran tunggal, konsep ini berlawanan dengan dualism dan pluralisme. Kesetaraan menurut Bhikkhu Parekh adalah kesetaraan yang mengenal pola keberagaman dengan masyarakat multikulturalisme pada masyarakat Pare yang terdiri dari berbagai banyak suku.

Dengan kehadiran para pendatang seperti suku dari Batak, Ambon, Minang, dan sebagainya. Walaupun mayoritas suku Jawa, namun memiliki toleransi yang tinggi. Dengan memiliki latar belakang yang berbeda-beda, gender, kelas sosial, agama, ras dan bahasa yang beragam juga di Pare. Dan disebut sebagai kampung pelajar, karena banyak pendatang dari luar Jawa.

Tak hanya sampai  di situ, adanya pertemuan para pendatang yang menjadi peserta belajar di lembaga kursus menjadi pengamalan dan aktualisasi nilai-nilai multikulturalisme, sehingga memudahkan setiap individu dalam mengaktualisasikan diri dan melebur menjadi nilai konsensus bersama dengan adanya meeting point.

Kondisi itu kemudian mendorong salah satu peserta kursus yakni Marlin dari Indonesia Timur tepatnya dari Ambon untuk menjadi pioneer toleransi dan menyebarkan perdamaian. Usai mengutak-atik dan mengalami penerimaan, akhirnya mencapai konsensus di antara peserta kursus dan menciptakan keharmonisan dengan adanya kelompok belajar yang datang dari berbagai daerah. Dengan potret seperti ini terjalin komunikasi dan kerjasama yang egaliter.

Menetap di Pare selama sebulan memberikan perspektif baru dalam mengenal keberagaman di Pare. Marlin sebelumnya mengenal Yogyakarta saja sebagai daerah yang sarat toleransi, tetapi setelah menetap di Pare ia sadar bahwa kampung ini menjadi rujukan utama di antara kampung-kampung yang lain untuk memperkenalkan toleransi.

Baca Juga:

Belajar Nilai Toleransi dari Film Animasi Upin & Ipin

Merawat Toleransi, Menghidupkan Pancasila

Merariq Kodek: Ketika Pernikahan Anak Jadi Viral dan Dinormalisasi

Menjembatani Agama dan Budaya: Refleksi dari Novel Entrok Karya Oky Madasari

Banyaknya pendatang yang berasal dari daerah lain membuat orang lain terbuka dan dengan itu memperkenalkan konsep toleransi, selain itu faktor pendukung lainnya yang sangat  mempengaruhi adalah penduduk lokal yang menerima pendatang, sehingga dengan adanya  faktor tersebut heterogenitas dan multietnis membuat Pare menjadi tempat yang sangat strategis untuk melanggengkan nilai-nilai multikulturalisme.

“Penduduk lokal  yang ada di Pare memiliki sikap terbuka dan sangat menghargai perbedaan dan tidak membatasi perbedaan. Beberapa konflik yang terjadi karena kesalahpahaman yang terjadi dengan adanya perbedaan, sebagai aktor utama adalah para pemuda yang mudah tersulut konflik. Beberapa kesempatan terjadi konflik beberapa daerah mencanangkan  komunitas-komunitas perdamaian, dengan hal itu melatarbelakangi saya sebagai agen perdamaian di daerah yang memiliki latarbelakang multikulturalisme” Ujar Marlin dalam kesempatan ditemui di cafe.

Faktor historis dan sosio historis menjadi alasan utama dalam menginternalisasi proses multikulturalisme, dan ini mempengaruhi pola kehidupan sosial di Pare, dalam hal ini di grassroot berperan penting sebagai dasar fundamental dalam membentuk pola perilaku masyarakat yang toleran dan sesuai nilai-nilai multikultural. Pengakuan nilai nilai multikulturalisme sebagai recognition atas dasar pembentukan  asumsi orang lain dan radikal menjadi tidak ada, bukti adanya dikotomi minoritas dan mayoritas adalah menjadi jarak untuk pelanggengan sikap inklusif.

Tendensi sudut pandang menghargai terhadap perbedaan dipengaruhi situasi dan kondisi dan membentuknya menjadi pola pikir yang berbeda. Kecenderungan ini menghasilkan saling menghormati terhadap perbedaan. Salah satu peserta kursus bernama Bob, mengeluhkan masih adanya stigmasisasi terhadap peserta kursus yang memiliki perbedaan ideologi dan perbedaan latar belakang. Membentuk judgement dan prasangka terhadap kelompok yang berbeda masih terasa di beberapa tentor yang ada di lembaga kursus.

Bob juga menambahkan beberapa motif yang membuat orang pendatang dan penduduk lokal yang terbuka, pertama secara profit dan ekonomi menjadi alasan keterbukaan para penduduk lokal dengan para pendatang, sehingga keadaan ini diuntungkan dengan adanya para pendatang yang menghasilkan keuntungan yang mutual antara para pendatang dengan penduduk lokal. Lalu kedua, secara natural dan human nature

Beberapa individu yang terlahir secara historis beragam lebih mudah dan memahami konsep multikulturalisme, dan menjadi modal utama dalam kehidupan sosial. Sehingga dengan adanya sitem komunal dan memiliki satu paham nasionalisme seperti satu kebangsaan, menjadi landasan hidup untuk saling menghargai dan menginternalisasi nilai-nilai yang plural.

“Keberagaman yang kompleks tersebut membuat Pare menjadi beraneka ragam, anggapan bahwa tidak ada suku yang baik daripada kebudayaan yang lain. Rasa saling menghormati dan menghargai antar sesama manusia harus ditingkatkan agar sesama manusia saling menghormati, jika tercipta rasa hormat dan menghargai antar sesama.”

Dengan kata lain, dalam pemahaman multikulturalisme perbedaan merupakan sebuah fakta yang tidak dapat dihindarkan kemudian dihargai dan dihormati dalam derajat yang sama sehingga tidak ada usur budaya yang memiliki otoritas yang lebih tinggi. Sayangnya sikap sikap tersebut tidak bisa serta merta dilahirkan, tetapi perlu ditanamkan dan diwariskan serta diajarkan melalui pendidikan serta pertemuan pertemuan di kehidupan sosial di Pare.

Pare menjadi lokasi yang melahirkan nilai-nilai multikulturalisme. Gagasan tersebut sejatinya menjadi salah satu letak hadirnya kritik dan perkembangan dengan latar belakang etnis dan suku yang berbeda dan memiliki toleransi yang tinggi walaupun terdapat banyak keberagaman, tentang bagaimana interaksi tentor mengajar di kelas, peserta kursus, dan penduduk lokal yang saling menghargai. Dengan adanya keberagaman tersebut, maka nilai-nilai multikulturalisme perlu dikembangkan khususnya dalam pembelajaran dan berinteraksi sehari-hari dalam kehidupan sosial. []

 

Tags: BudayaKampung InggriskeberagamanmultikulturalismeNusantaraPare KediritoleransiTradisi
Mifta Kharisma

Mifta Kharisma

Peneliti ISAIs (Institute Of Southseast Asian Islam), Wahib Institute, aktif dalam forum lintas iman. kemanusiaan, dan isu-isu minoritas

Terkait Posts

Perceraian dalam

Perceraian dalam Fikih: Sah untuk Laki-Laki, Berat untuk Perempuan

1 Juli 2025
Fikih Perempuan

Fikih yang Kerap Merugikan Perempuan

1 Juli 2025
amar ma’ruf

Meninjau Ulang Amar Ma’ruf, Nahi Munkar: Agar Tidak Jadi Alat Kekerasan

1 Juli 2025
Fikih

Mewujudkan Fikih yang Memanusiakan

1 Juli 2025
Wahabi

Menjaga Pluralisme Indonesia dari Paham Wahabi

30 Juni 2025
Beda Keyakinan

Meninjau Ulang Cara Pandang terhadap Orang yang Berbeda Keyakinan

30 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Anak Difabel

    Di Balik Senyuman Orang Tua Anak Difabel: Melawan Stigma yang Tak Tampak

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Meninjau Ulang Amar Ma’ruf, Nahi Munkar: Agar Tidak Jadi Alat Kekerasan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Gaji Pejabat vs Kesejahteraan Kaum Alit, Mana yang Lebih Penting?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Pergeseran Narasi Pernikahan di Kalangan Perempuan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mewujudkan Fikih yang Memanusiakan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Demianus si ‘Manusia Pembalut’ dan Perlawanan terhadap Tabu Menstruasi
  • Vasektomi, Gender, dan Otonomi Tubuh: Siapa yang Bertanggung Jawab atas Kelahiran?
  • Perceraian dalam Fikih: Sah untuk Laki-Laki, Berat untuk Perempuan
  • Gaji Pejabat vs Kesejahteraan Kaum Alit, Mana yang Lebih Penting?
  • Fikih yang Kerap Merugikan Perempuan

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID