Islam diturunkan ke dunia pada saat sebagian manusia ada yang mengingkari kemanusiaan seorang wanita. Sebagian lagi ada yang meragukan akan kemanusiaan seorang wanita dan ada juga di antara mereka mengakui tentang kemanusiaan seorang wanita, namun dia menganggap wanita itu sebagai makhluk yang mengabdi kepada kaum lelaki.
Dengan mengkaji data dan mencermati fakta yang menyangkut kaum perempuan seperti tingkat pendidikan mereka, derajat kesehatan, partisipasi mereka dalam pengambilan keputusan tindak kekerasan terhadap perempuan, pelecehan seksual, pemerkosaan eksploitasi terhadap tenaga kerja perempuan dan sebagainya yang menunjukkan betapa memprihatinkannya status kaum perempuan.
Kemudian Islam merubah pandangan tersebut dan menghilangkan segala bentuk ketidakadilan, kezaliman dan tindak kekerasan pada perempuan sehingga kedudukan perempuan terangkat. Islam juga mengembalikan kehormatan, harga diri dan hak-hak yang seharusnya dimiliki kaum perempuan sejak dia terlahir ke dunia.
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS. Al Rum [30]: 21)
Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, yang menjelaskan adanya pengakuan terhadap prinsip persamaan bagi seluruh warga negara tanpa kecuali. Prinsip persamaan ini menghapuskan diskriminasi, karenanya setiap warga negara mempunyai hak yang sama di hadapan hukum dan pemerintahan tanpa memandang agama, suku, jenis kelamin, kedudukan, dan golongan.
Dengan adanya pengakuan persamaan hak warga negara, berarti antara laki-laki dengan perempuan tidak ada perbedaan. Diakuinya prinsip persamaan di hadapan hukum dan pemerintahan di dalam UUD menunjukkan para pendiri negara Indonesia, sebelum mendirikan negara, sadar betul tentang arti pentingnya perlindungan terhadap hak asasi manusia itu.
Secara yuridis, dalam tataran internasional maupun nasional, Instrumen hukum dan peraturan perundang-undangan Indonesia mengakui tentang adanya prinsip persamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Namun, dalam tataran implementasi penyelenggaraan bernegara, diskriminasi dan ketidakadilan terhadap kaum perempuan.
Kaum perempuan selalu tertinggal dan termarjinalkan dalam bidang ekonomi, pendidikan, kesehatan, pekerjaan, maupun dalam bidang politik. Salah satu penyebabnya adalah budaya patriarkhi yang berkembang dalam masyarakat adat Indonesia. Pada masyarakat dengan budaya patriarkhi, laki-laki lebih berperan dalam memegang kekuasaan, yang secara otomatis dapat mendegradasi peran dan keberadaan perempuan.
Perjuangan kaum perempuan dalam mencapai kesetaraan dan keadilan yang telah dilakukan sejak dahulu, ternyata belum dapat mengangkat harkat dan martabat kaum perempuan untuk dapat sejajar dengan kaum laki-laki.
Sekalipun kekuasaan tertinggi di negeri ini pernah dipegang oleh perempuan, yakni Presiden Megawati Soekarno Putri, dan telah banyak kaum perempuan yang memegang jabatan strategis dalam pemerintahan, ketidakadilan gender dan ketertinggalan kaum perempuan masih belum teratasi sebagaimana yang diharapkan.
Telah banyak dijelaskan dalam al-Quran bahwa laki-laki dan perempuan memilki hak yang sama, mempunyai kebutuhan yang sama untuk dipenuhi, dengan menerapkan prinsip mubaadalah didalam keluarga.
Sesungguhnya wanita muslimah memiliki kedudukan yang tinggi dalam Islam dan pengaruh yang besar dalam kehidupan setiap muslim. Dia akan menjadi madrasah pertama dalam membangun masyarakat yang shalih, tatkala dia berjalan di atas petunjuk Al-Qur’an dan sunnah Nabi. Karena berpegang dengan keduanya akan menjauhkan setiap muslim dan muslimah dari kesesatan dalam segala hal.
Kesesatan dan penyimpangan umat tidaklah terjadi melainkan karena jauhnya mereka dari petunjuk Allah dan dari ajaran yang dibawa oleh para nabi dan rasul-Nya. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Aku tinggalkan pada kalian dua perkara, di mana kalian tidak akan tersesat selama berpegang dengan keduanya, yaitu Kitab Allah dan sunnahku.” (Diriwayatkan oleh Imam Malik dalam al-Muwaththa’ kitab Al-Qadar III)
Sebelum kedatangan Islam, wanita hampir tak memiliki peran. Keberadaannya tidak begitu diperhitungkan. Abu al-Hasan al-Nadawi dalam buku masyhurnya Mādza Khasira al-`Ālāma binkhiṭāti al-Muslimīn menggambarkan kondisi wanita di masa memilukan itu, “Pada masyarakat jahiliah perempuan rentan (mendapat perlakuan) tak adil dan zalim, hak-haknya dirampas, hartanya diambil, tak mendapat warisan, setelah talak atau ditinggal mati suaminya mereka dihalangi menikah dengan lelaki yang disukai, serta dijadikan sebagai warisan sebagaimana barang atau hewan.”
Saat Islam datang, kegelapan yang menyelimuti wanita menjadi sirna. Mereka seakan terlahir kembali. Hak-haknya dipenuhi, keberadaannya diperhitungkan, bahkan memiliki peran-peran yang tidak kecil. Secara spesifik, dalam al-Quran terdapat 1 surah yang membahas banyak hal berkaitan tentang perempuan, yaitu Surah an-Nisa’ (perempuan). Surah lainnya juga memberitakan berbagai hal tentang perempuan, seperti kasus-kasus tertentu, seperti Surah Ath Thalaq, Surat Maryam, Surat At Tahrim, Surat Annur, Surah Al Qashash, Surat Almumtahanah, Surat Al Mujadilah dan di surat lainnya.
Fakta tantangan perempuan Muslim dalam hal menggali potensinya. Tingkat otonom perempuan Muslim Indonesia lebih rendah dibandingkan laki-laki. Terkungkungnya para perempuan Muslim Indonesia dalam hal otonominya membuat potensinya sebagai penyebar nilai-nilai perdamaian terhambat. Perempuan seringkali tidak dilibatkan dalam membuat keputusan, baik dalam keluarga bahkan di lingkungan yang lebih formal lainnya.
Ada lima hal yang menyebabkan demikian. Pertama, masih melekatnya budaya patrilinear di Indonesia. Kedua, tafsir agama. Ketiga, hukum yang belum berorientasi pada pemenuhan hak perempuan. Keempat, tingginya angka pernikahan perempuan di usia anak-anak.
Itu semua harus diputus, tidak ada cara lain selain membangun kapasitas si perempuan dengan Pendidikan informal. Peran perempuan dalam perdamaian dan keamanan harus berlanjut lebih kuat lagi. Karena perempuan dan anak-anak banyak yang terlibat dalam berbagai konflik dan dalam waktu yang bersamaan perempuan juga bisa berperan signifikan dan secara konstruktif dalam menciptakan perdamaian.
Indonesia mengembangkan partisipasi perempuan dalam kapasitas merawat perdamaian dan keamanan dalam regional dan lebih luas lagi. Peran perempuan dalam perdamaian dan keamanan tidak hanya pengecualian tapi sebuah norma. Jangan pernah melupakan bahwa perempuan adalah agen yang efektif dalam menjaga perdamaian dan toleransi, perdamaian dan toleransi dimulai dari rumah, peran perempuan dalam menghargai satu sama lainnya tidak bisa diremehkan, sebagai pertahanan pertama untuk melawan ekstrimisme dan radikalisme.[]