• Login
  • Register
Rabu, 21 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Khazanah Hukum Syariat

Nafkah untuk Istri

Kata معروف menurut Imam Syafi'i adalah menghindari orang yang berhak terhadap sesuatu keperluan untuk memintanya, memberikannya dengan kerelaan hati bukan dengan memaksanya agar memintanya dan bukan juga dengan memenuhi keperluannya sambil menunjukkan kebencian dalam memberinya.

Fathonah K. Daud Fathonah K. Daud
19/11/2020
in Hukum Syariat, Konsultasi
0
263
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Tulisan Ini berangkat dari diskusi di saat mengisi pengajian di Majlis Ta’lim ibu-Ibu Pengajian yang membahas Fiqh Keluarga, temanya tentang ‘nafkah untuk istri.’ Saya mulai dengan cerita suatu kasus, yang beberapa hari ini ada seseorang yang jauh di sana sedang konsultasi ke saya terkait hubungannya dengan suaminya dan nafkah yang diberikan suami terhadapnya. Dimana ia harus mau berbagi nafkah dengan ‘perempuan lain’.

Secara tidak sengaja, ternyata cerita tersebut hampir sama dengan yang dialami oleh salah seorang jamaah. Sehingga selesai acara tadi, saya ditahan sebentar dan beliau juga sempat curhat kepada saya tentang yang diaminya sekian tahun. Sebelum pamit saya sempat minta izin untuk share di FB, barangkali ada hikmahnya untuk orang lain dan beliau mengizinkannya.

Soal nafkah keluarga ini, al Qur’an sudah menetapkan tanggungjawab adalah di pundak suami. Lalu seperti apa kadarnya? Para fuqaha telah bersepakat bahwa nafkah yang harus diberikan kepada istri dan anak-anak adalah dengan cara yang ma’ruf. Al-Qur’an ketika berbicara terkait relasi suami istri selalu menggunakan istilah ‘bi al-ma’ruf’. Artinya tidak berlebihan dan tidak kekurangan. Firman Allah swt:

وعلى المولود له رزقهن وكسوتهن بالمعروف، لا تكلف نفس إلا وسعها
Yang Intinya, dalam beberapa tafsir, mufassirun menjelaskan dalam ayat tersebut bahwa selain istri, anak-anaknya juga berhak mendapatkan nafkah yang معروف (ma’ruf).

Apa makna معروف (ma’ruf) di sini dan mengapa tidak digunakan kata bil kheir atau bil ihsan? Tentu saja ada banyak pendapat di sana. Pendeknya, kata بالمعروف adalah kepatutan/kebaikan/ kewajaran yang disesuaikan dengan standar lokal masing-masing  masyarakat.

Baca Juga:

KB dalam Pandangan Islam

Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama

Keberhasilan Anak Bukan Ajang Untuk Merendahkan Orang Tua

Grup Facebook Fantasi Sedarah: Wabah dan Ancaman Inses di Dalam Keluarga

Standar nafkah yang cukup dan patut di desaku tentu tidak sama dengan di Malaysia atau di Arab Saudi. Jadi kepatutan di sini disesuaikan adat (‘urf) lokal. Jika pelayanan dalam memberi nafkah itu sudah patut menurut standar di masyarakat tersebut. Ingat, kata معروف memepunyai bangunan kalimat yang serupa dg العرف (adat).

Kata معروف menurut Imam Syafi’i dalam ayat di atas adalah menghindari orang yang berhak terhadap sesuatu keperluan untuk memintanya, memberikannya dengan kerelaan hati bukan dengan memaksanya agar memintanya dan bukan juga dengan memenuhi keperluannya sambil menunjukkan kebencian dalam memberinya.

Oleh demikian apabila suami lengah dan sengaja menunda-nundanya bahkan tidak memenuhi tanggung jawab tersebut, maka ia termasuk orang dzalim. Berbuat dzalim adalah dosa. Lalu bagaimana jika suami pelit? Saya sempat bertanya kepada ibu-ibu, adakah yang pernah merasa bahwa uang belanja tidak cukup dalam sehari? Beberapa ibu-ibu menjawab, banyak yang begitu.

Dalam persoalan ini saya contohkan di zaman Rasulullah saw ada sahabiyah yang mengadu kepada beliau. Perempuan itu bernama Hindun bin Utbah yg mengadukan bahwa suaminya tidak memberikan nafkah yang cukup. Kebetulan Hindun hidup dengan beberapa anaknya. Hindun pernah mengambil harta suaminya dengan tanpa izin untuk mencukupi kebutuhannya dan anak-anaknya. Maka Rasulullah saw bersabda:

خذي مايكفيك وولدك بالمعروف
Saya jelaskan berdasarkan hadits tersebut, jika menghadapi suami pelit, sampaikan keperluan kita kepadanya dan jangan diam saja. Tetapi jika suami masih seperti semula, dengan tidak menambah uang belanja, ibu-ibu tidak berdosa jika mengambil hak ibu dan anak-anak. Karena itu hak kita. Jadi halal. Lalu ada celetukan dari seorang ibu, setelah ambil baru ngomong ke suami ya bu, terus diizinka.

Saya menjawab, Iya boleh, tetapi tidak boleh ambil yang berlebihan dari kebutuhan primer. Misal ketika mengambil itu ada tujuan sekalian untuk nabung beli gelang emas yang besar atau HP Apple, karena tetangga baru beli HP. Nah yang ini dilarang, karena sudah berlebihan.

Bagaimana jika istri bekerja, apakah nafkah dan kebutuhannya tetap menjadi tanggung jawab suami? Persoalan kewajiban nafkah tidak berubah hukumnya, meskipun istri sudah berpenghasilan sendiri. Nash al-Qur’an dan Hadits tidak ada penjelasan bahwa apabila istri berpenghasilan, maka suami lepas dari tanggung jawabnya.

Oleh sebab itu, terkait hal ini jika ada persoalan harus dibicarakan bersama. Suami juga tidak boleh meremehkan, mentang-mentang istri ada duit, kemudian seenaknya menggunakan uang istri. Kecuali jika istri telah merelakannya berbagi untuk keperluan keluarga. Tentu saja ada nilainya sendiri di sisi Allah atas kebaikan istri tersebut.

Demikian juga untuk perempuan yang dicerai (raj’i), masih ada hak nafkah selama masih dalam iddahnya dan tidak boleh keluar dari rumah suaminya. Suami juga tidak boleh mengusirnya. Dalam sesi ini kemudian jamaah ibu-ibu ramai, “wah biasanya habis cerai yaa pisah bu..” Ingat! Ini dalam talak yang masih boleh dirujuk lho!

الطلاق مرتان، فإمساك بمعروف او تسريح بإحسان
Talak (yang dapat dirujuk) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau bercerai dengan cara yang baik. Nah, setelah itu kok bercerai lagi (yang ketiga), maka dilarang rujuk lagi. Kecuali jika setelah habis iddah si perempuan tersebut menikah dengan lelaki lain (muhallil), dan terjadi dukhul (jima’), kemudian qadarullah ia bercerai. Maka suami yang awal, jika keduanya msh saling cinta, keduanya lho ya! Maka setelah iddah habis, halal untuk menikah lagi dengan suami yang awal.

Demikian juga bagi perempuan yang ditalak dalam keadaan hamil. Maka ia tetap mendapatkan nafkah dari mantan suaminya hingga ia melahirkan (ijma’ ulama). Hal ini karena iddah perempuan hamil adalah hingga ia melahirkan. Namun bagi talak bain kubra dan perempuan tidak hamil, ليس لها سكنى ولا نفقة (Tiada nafkah baginya dan tidak boleh tinggal serumah).

Soal kasus yang saya ceritakan di atas, saya bilang padanya bahwa nafkah pada ‘perempuan lain’ itu ada dua pendapat. Pertama, seandainya ia istri sah, meskipun dengan jalan nikah sirri, dalam pandangan fiqh, perempuan tersebut berhak mendapatkannya. Saya tegaskan, bahwa saya tidak mendukung pernikahan sirri. Posisi saya di sini hanya menjelaskan dr perspektif fiqh. Maka si mbak harus paham itu, walau bagaimanapun ia juga istri suami mbak.

Kedua, jangan berprasangka dulu, barangkali ia membelikan TV dan lain-lain pada perempuan tersebut mungkin karena bayar hutang yang membayarnya dgengan dirupakan benda. Jadi perlu diselidiki dahulu. Namun, apabila tidak termasuk kategori keduanya di atas. Maka si mbak harus bersabar, tenangkan hati dan tetap perbaiki hubungan mbak dengan suami, selama suami tidak KDRT. Barangkali itu cobaan sementara. Semoga Allah membuka hati suami mbak dan tetap setia dengan mbak.

Di posisi ini saya tidak boleh menasehati untuk bercerai, karena info hanya saya dapatkan dari sisi sebelah. Sehingga hanya nasehati untuk melindungi keluarga. Terlebih ia menikah atas pilihan sendiri, bukan dipaksa orang tua. Bahkan, si mbak juga masih mencintai suaminya.

Sedih rasanya saya mendengar kasus seperti ini, dan tentu menjawabnya dengan tidak tega. Perempuan mana yang mau diselingkuhi? Bahkan kasus yang baru saya dengar dari ibu tadi, lebih sadis. Si suami sudah mentalak 3. Tetapi tidak pernah mengajukan ke Pengadilan Agama (PA). Sejak awal, sebelum dicerai, suami sudah selingkuh dan si istri digantung dengan tidak dinafkahi (dzahiran wa bathinan).

Surat nikahnya sudah digunting-gunting kecil oleh suaminya, dan ia pun masih tetap bersama perempuan lain. Sayasempat ditunjukkan surat nikah yang sudah tidak berbentuk itu, yang tetap disimpan di dompetnya. Ikut prihatin, mengapa ada orang tega melakukan tindakan seperti itu?

Repot memang posisinya, saya sempat nasehati agar ia pergi ke Pengadilan Agama (PA) saja untuk mengakhiri kasus itu. Tapi rupanya si ibu tegar, dia berpegang teguh menunggu suaminya menceraikannya di PA. Karena jika ia yang mengajukan gugat cerai, maka ia tidak akan dapat  bagian harta (Gono gini). Betul juga sih, tapi kok ya kuat? Perempuan di posisi ini maju kena, mundur kena. Duh gusti! []

Tags: Fiqih KeluargaislamkeluargaNafkah BersamaperkawinanRelasi Suami dan Istri
Fathonah K. Daud

Fathonah K. Daud

Lecturer di IAI Al Hikmah Tuban

Terkait Posts

Perempuan sosial

Perempuan Bukan Fitnah: Membongkar Paradoks Antara Tafsir Keagamaan dan Realitas Sosial

10 Mei 2025
Sunat Perempuan

Sunat Perempuan dalam Perspektif Moral Islam

2 Mei 2025
Metode Mubadalah

Beda Qiyas dari Metode Mubadalah: Menjembatani Nalar Hukum dan Kesalingan Kemanusiaan

25 April 2025
Kontroversi Nikah Batin

Kontroversi Nikah Batin Ala Film Bidaah dalam Kitab-kitab Turats

22 April 2025
Anak yang Lahir di Luar Nikah

Laki-laki Harus Bertanggung Jawab terhadap Anak Biologis yang Lahir di Luar Nikah: Perspektif Maqasid Syari’ah

25 Maret 2025
Ibu menyusui tidak puasa apa hukumnya?

Ibu Menyusui Tidak Puasa Apa Hukumnya?

18 Maret 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Bangga Punya Ulama Perempuan

    Saya Bangga Punya Ulama Perempuan!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • KB Menurut Pandangan Fazlur Rahman

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • KB dalam Pandangan Islam

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mengenal Jejak Aeshnina Azzahra Aqila Seorang Aktivis Lingkungan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Rieke Diah Pitaloka Soroti Krisis Bangsa dan Serukan Kebangkitan Ulama Perempuan dari Cirebon

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Peran Aisyiyah dalam Memperjuangkan Kesetaraan dan Kemanusiaan Perempuan
  • KB dalam Pandangan Riffat Hassan
  • Ironi Peluang Kerja bagi Penyandang Disabilitas: Kesenjangan Menjadi Tantangan Bersama
  • KB Menurut Pandangan Fazlur Rahman
  • Saya Bangga Punya Ulama Perempuan!

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version