Mubadalah.id – Nama Sayyidah Nafisah menjadi sangat terkenal, bukan hanya di daerah Hijaz (Makkah, Madinah, dan daerah-daerah lain di Arab Saudi), melainkan juga di Mesir dan negeri-negeri yang lain di Timur Tengah.
Para jamaah haji dari Mesir yang bertemu dengannya saat di Makkah dan Madinah begitu terkesan dengan pengetahuannya yang luas dan kepribadiannya yang indah.
Mereka sangat berharap bahwa suatu saat Sayyidah Nafisah berziarah ke negerinya. Mengenai keinginan tersebut, Sayyidah Nafisah berkata:
Artinya: “Aku akan berkunjung ke negeri kalian, insya Allah. Allah sudah memuji-muji Mesir dalam kitab suci al-Qur’an. Kakekku juga pernah mengatakan, Kalian akan membuka kota Mesir. Ia adalah sebuah negeri yang disebut Qirath.”
“Aku pesan agar kalian bergaul dengan penduduknya secara baik. Mereka akan melindungi dan menyayangi kalian.” (Ini disebutkan dalam kitab Bukhari dan Muslim).
Sayyidah Nafisah bersama suami, ayah, dan anak-anaknya, akhirnya berangkat ke Mesir dan tiba di Kairo, pada hari Sabtu, 26 Ramadhan 193 H. Atau lima tahun sebelum kedatangan Imam asy-Syafi’i.
Penduduk Mesir Menyambut Sayyidah Nafisah
Kedatangannya penduduk Mesir sambut dengan penuh suka cita. Suara takbir dan tahmid mereka kumandangkan bersahutan serta ledakan-ledakan tangis yang mengharu-biru. Mereka senang, karena berharap penuh untuk bisa belajar dan mengaji kepadanya.
Tujuan semula Sayyidah Nafisah ke Mesir ialah untuk menziarahi keluarganya, sesudah terlebih dahulu berziarah ke makam Nabi Ibrahim As., di Baitul Maqdis, Palestina.
Di kota tua ini, ia semula tinggal sementara di rumah megah Sayyid Jamaluddin Abdullah al-Jassas, seorang miliuner terkenal. Sesudah itu, ia pindah ke rumah Ummi Hani di Qarafah.
Memang benar adanya, sejak Sayyidah Nafisah di Kairo, saban hari rumahnya dikunjungi masyarakat. Sering kali rumahnya menjadi sangat padat, berjubel.
Mereka ingin mendengarkan pesan-pesan atau ceramah-ceramahnya. Begitu banyaknya tamu yang datang, sampai ia sering tak sempat “khalwah”, menyendiri untuk intim bersama Tuhan. Suatu hari ja mengatakan:
“Sesungguhnya, aku datang ke tempat ini untuk tinggal menghabiskan hari-hariku yang penuh ujian yang berat. Aku seorang perempuan yang lemah, yang selalu rindu kepada kakekku, Muhammad al-Musthafa.”
“Meskipun begitu, banyak orang di sekitarku yang harus aku sambut dan layani sebaik-baiknya, hingga aku sering tak sempat berdzikir dan beribadah sebagai bekalku di akhirat kelak.” []