Mubadalah.id – Di suatu negeri tanpa warna, hiduplah rakyatnya dengan sederhana, dan menjalani hari-hari dengan riang gembira. Tak takut pada hal yang berbeda. Semua terasa berjalan sempurna. Sampai pada suatu hari datanglah seorang laki-laki tua. Ia mengenakan setelan jas dan dasi dengan warna merah menyala. Ia tak sendiri. Ada dua orang laki-laki lain yang menyerta. Satu menenteng tas koper laki-laki tua. Sementara yang satu memayungi laki-laki tua itu agar tak kepanasan di sepanjang jalan yang mereka lalui.
Merah, Kuning dan Hijau
Sambil berjalan tegap berkeliling dari sudut ke sudut di negeri tanpa warna, laki-laki tua membagi-bagikan uang yang tersimpan di koper. Dengan senyum menawan yang menghipnotis, ia berkata lantang. Jangan lupa memilih warna merah. Jangan lupa mencat pagar dan dinding rumahmu dengan warna merah. Kalau sudah dicat merah, segera hubungi staf kami agar kalian mendapat hadiah. Jangan lupakan merah sebagai simbol keberanian dan perjuangan.
Setelah laki-laki itu pergi dengan pengawalan para stafnya, datang kemudian ibu paruh baya berkacamata hitam, dan rambut yang digerai memanjang. Dua orang staf laki-laki dan perempuan setia mengiringi langkahnya. Dengan senyum simpul yang menarik hati, sang ibu membagi-bagikan uang yang sama pada orang-orang.
Sambil tak lupa berkata, jangan lupakan warna kuning. Kalian bisa sejahtera hingga hari ini, karena padi yang ketika matang akan semakin menguning dan panen raya menggembirakan semua. Jadi, pinta sang ibu. Jangan lupakan warna kuning sebagai simbol kemakmuran dan kejayaan.
Sepeninggal sang ibu, datang lagi laki-laki muda yang mengenakan kopyah hitam dan sarung kotak-kotak. Dengan sikap santun yang ia buat-buat, dan dalam iringan para staf yang justru bersetelan baju rapih, dan bersepatu hitam. Anak muda itu, mengajak rakyat untuk memilih warna hijau sebagai simbol kesuburan.
Rakyat yang menyambut kunjungan itu, kebanyakan bapak-bapak, dan ibu-ibu, yang berkopyah maupun berkerudung datang mengerubung. Menunggu titah dari sang anak muda. Tak lama, uang mulai dibagikan sambil menitipkan pesan, agar mereka membantu mereka memilih warna hijau menjadi pemimpin di kemudian hari. Sebab selama ini memang pertarungan yang menonjol hanya warna merah dan kuning.
Ibu Tunggal dan Seorang Anak Perempuan
Seorang anak perempuan memandang peristiwa itu dari sudut jauh. Di balik jendela rumah ia mengintip dengan menyibakkan korden yang kumal dan penuh noda. Ia bersama ibunya yang tinggal seorang diri. Karena ia perempuan yang tak bersuami, sehingga tak ada kepala keluarga dalam rumah itu, tak ada undangan dari warna merah, kuning dan hijau yang mampir ke rumahnya.
Anak perempuan itu bertanya, mengapa mereka tak diundang? Dan mengapa para wakil segala warna itu mengendarai mobil bagus, dan baju-baju yang rapih bersih plus wangi. Sementara rumah rumah yang mereka kunjungi berbau tak sedap, kumuh dan lusuh. Sungguh pemandangan yang memilukan.
Sang ibu dari anak perempuan itu, hanya bisa mengusap air mata yang diam-diam jatuh dari sudut matanya. Dalam hati, ia ingin menjawab pertanyaan anaknya. Tapi ada hal yang paling menyesakkan yang tak mampu ia ungkapkan.
Bahkan, di antara para wakil segala warna itu, tak ada satupun yang bertanya pada dia, atau orang-orang lain di negerinya, apakah mereka sudah makan? Apakah mereka ada yang sakit? Kesulitan ekonomi? Anak-anak makan cukup gizi? Anak-anak ada yang putus sekolah? Terlilit hutang rentenir? Terlilit hutang tukang kredit harian, yang mau tak mau mereka ambil, karena tak punya pilihan lain.
Selepas para wakil segala warna usai mengunjungi dan mengelilingi negeri, tak ada perubahan pasti. Kehadiran mereka hanya meninggalkan rasa cemas, hingga membuat hati kebas. Takut salah memilih warna, atau beda warna membuat hidup mereka kian merana.
Negeri Tanpa Warna
Rakyat di negeri tanpa warna, justru menjalani hari-hari mereka hanya sibuk dengan pemilihan warna. Ketika di mana-mana warna harus sama rupa. Tak boleh ada yang beda. Dari dinding kantor, hingga ke rumah-rumah, semua cat sama warna. Jika ada yang berbeda, akan dipanggil oleh aparat, dan mereka dianggap telah bersebrangan dengan sang pemilik warna.
Dalam puncak kecemasan itu, ada semburat kekecewan yang terpendam lama. Kemarahan yang mungkin akan menjadi sia-sia. Karena warna telah membutakan penglihatan para penguasa. Baik laki-laki tua, ibu paruh baya, maupun anak muda yang bersarung dan berkopyah. Demi warna serupa, mereka lupa, masih banyak anak-anak, perempuan dan kelompok rentan di negeri ini yang masih kekurangan pangan, tak punya sandang layak, apalagi papan yang patut mereka singgahi.
Rakyat di negeri itu ingin kembali pada suatu waktu, ketika negeri berada dalam suasana tanpa warna. Mereka suka-suka memilih warna apa, bahkan mencampur beragam warna menjadi warna pelangi, atau warna lain seperti dalam lukisan yang indah.
Mereka tak ingin warna tunggal, karena ia akan mematikan hasrat yang paling dalam sekalipun. Menenggelamkan kreativitas untuk melihat visi dan masa depan anak-anak negeri di kemudian hari. Negeri tanpa warna, itu hal yang mereka damba. Takkan ada lagi prasangka pada mereka yang berbeda. Negeri tanpa warna, untuk jiwa-jiwa yang merdeka. []