Mubadalah.id – Ketua Majelis Musyawarah Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI), Nyai Hj. Badriyah Fayumi menyampaikan bahwa Gus Dur bukan hanya seorang pemikir, tetapi juga pemimpin yang konsisten menjadikan pemikirannya sebagai tindakan nyata.
Menurutnya, tidak bisa dipisahkan antara gagasan dan kebijakan Gus Dur karena keduanya saling menguatkan.
“Intisari demokrasi itu ada dua yaitu kesetaraan warga negara dan kedaulatan hukum. Namun, di atas politik selalu ada kemanusiaan, dan kemanusiaan inilah yang menjadi landasan utama setiap tindakan Gus Dur,” ujar Nyai Badriyah.
Nyai Badriyah juga menyinggung kepemimpinan perempuan dalam demokrasi yang menurutnya, di era modern kepemimpinan tidak perlu lagi dipersoalkan karena seluruh kekuasaan dibatasi oleh konstitusi dan undang-undang.
“Gus Dur adalah sosok yang sangat kontekstual dalam memahami kepemimpinan perempuan bahwa zaman berubah, sistem bernegara juga berubah. Sehingga hukum pun harus kita tempatkan sesuai konteksnya,” pungkas Badriyah.
Sementara itu Aktivis HAM dan feminis, Kamala Chandrakirana, menyoroti kondisi demokrasi Indonesia yang ia sebut sebagai “krisis dalam krisis”.
Menurutnya, pada momen 80 tahun kemerdekaan Indonesia, justru terjadi paradoks: rakyat terbebani pajak dan hidup dalam ketimpangan, sementara para wakil rakyat malah sibuk menaikkan gaji mereka sendiri.
“Hukum, yang seharusnya menjadi tempat kita mencari keadilan, kini telah berubah menjadi alat kekuasaan untuk memperkaya para elit,” ungkap Kamala.
Lebih jauh, Kamala menekankan pentingnya memaknai ulang arti kedaulatan rakyat. Ia mengatakan bahwa demokrasi tidak boleh kita persempit hanya pada proses elektoral atau prosedur politik formal.
“Kedaulatan rakyat harus kita maknai sebagai cara kerja, cara pandang, dan keinginan rakyat yang sesungguhnya. Kita perlu ruang baru untuk membangun hal itu,” tegasnya. []