Tulisan ini bercerita tentang kisah hidup seorang perempuan desa yang mungkin biasa-biasa saja. Dia bukan seorang ulama yang patut dicatat kiprahnya dalam sejarah. Juga bukan seorang tokoh yang kisahnya akan membuat bangga untuk dibicarakan oleh siapapun.
Ia hanya seorang perempuan tua tetangga kami. Kisah ini hanya kenangan yang seakan membuatku sedang ‘menziarahi’ masa kecilku. Perempuan tua tetangga kami itu bernama Nyai Sarinah, anak-anak kecil seumuran kami maupun orang-orang kampung biasa hanya memanggilnya Nyi Nah.
Nyai atau Nyi sudah lumrah digunakan untuk memanggil perempuan yang sudah tua. Umurnya entah berapa kala itu, yang jelas sudah lebih dari kepala enam, tingginya mungkin kisaran sama dengan usia anak kelas 5 MI (Madrasah Ibtidaiyyah). Tidak tinggi memang.
Dia lama menjanda, saat aku kecil ia hanya hidup dengan cucu perempuannya yang usianya beberapa tahun di atasku, tinggal di sepetak rumah berdinding bambu beralaskan tanah. Hanya ada tiga ruangan dalam rumah itu, 2 ruang diisi satu almari dan dipan seadanya yang difungsikan sebagai kamar untuk istirahat, dan satu ruang dengan sebuah meja panjang dan sebuah kursi kayu panjang tanpa senderan punggung, sementara ruang yang digunakan untuk memasak sehari-hari dibiarkan terbuka begitu saja.
Sebenarnya, bukan karena tidak memiliki siapa-siapa, Nyi Nah memang lebih memilih hidup sendiri di rumahnya. Nama cucu yang tinggal bersamanya Mba Rini, ingatanku tidak banyak, tapi dari cerita Bu’e, kalau lagi repot dulu aku sering dititipkan main bareng dengan Mba Rini.
Aku mulai ingat Nyi Nah saat sudah kembali hidup sendiri, Mba Rini sudah menikah, entah umur berapa dirinya kala itu. Sudah biasa, perempuan-perempuan di kampungku menikah di usia yang sangat muda. Setelah menikah kemudian diboyong suaminya.
Nyi Nah ini baik, baiiiikkk banget malah. Juga pekerja keras. Dengan kondisinya yang sebatangkara dan penuh dengan keterbatasan begitu, masih sering ia yang memberi banyak hal ke anak-anaknya. Tabungannya banyak. Dari mengumpulkan gabah hasil dari mengais bekas orang-orang panen di sawah ia sampai memiliki sekarung beras, tak jarang malah sudah ditukarkan dengan emas.
Nyi Nah ini cincinnya banyak, tidak hanya 1, kadang malah dipinjam orang untuk membayar kebutuhan sehari-hari. Hari ini pakai cincin 3, besok hanya tinggal 2 itu sudah biasa, begitu ya tidak keberatan dipinjamkan. Kalau lagi dapet wehwehan atau apapun dari orang-orang seringnya dibagi-bagi ke tetangga-tetangga.
Rumahnya yang sangat sederhana itu, sering kami gunakan untuk main, delikan atau petak umpet terutama. Kami tidak pernah dimarahi meski keluar masuk rumahnya untuk bermain. Bahkan, pernah, entah karena alasan apa, aku enggan pulang ke rumah karena ngambek, di malam itu aku ikut tidur di rumahnya Nyi Nah. Kabarnya, semalaman Bapakku mencari ke mana-mana. Hehe..
Nyi Nah juga ringan tangan, sering membantu tetangga-tetangganya kalau ada gawe. Tidak pernah berdiam diri, katanya kalau tidak ngapa-ngapain justru rasanya kesel kabeh. Kalau berjalan cepet, meski langkahnya tidak lebar. Sambil mengenakan jarik yang panjangnya hanya sampai menutupi kaki di bawah lutut, biasanya masih dicincing seakan jarik itu menghalangi langkah lebarnya.
Tapi dulu Nyi Nah sering dibuat bercandaan sama kami, anak-anak kecil. Bukan berarti kami semua tidak menyayangi Nyi Nah. Nyi Nah tidak punya sumur sendiri, tiap kali mandi dan bebersih ia ikut menumpang di sumur milik tetangga. Meski begitu ia punya padasan, kendi besar yang terbuat dari tanah biasanya digunakan orang kuno untuk berwudhu.
Tiap sore sudah pasti padasan itu penuh air, barangkali digunakan Nyi Nah di sepertiga malam. Nyi Nah orang yang religius. Meski aku tidak yakin ia bisa baca tulis, solat lima waktu tidak pernah ditinggalkan. Tiap sore ia rajin pergi ke mushola, jama’ah maghrib dan isya’ di mushola sekaligus ngaji fasolatan bareng dengan beberapa lansia lainnya.
Jika bodho fitri, kami suka mengunjungi rumahnya Nyi Nah, meski tak banyak jajan dihidangkan di meja. Rasanya ya suka begitu saja. Aku membayangkan, mungkin saja saat mudanya, Nyi Nah adalah perempuan yang sangat seksi. Bukan secara fisik, melainkan kepribadian. Nyi Nah pasti orang yang mandiri, pekerja keras, dan tidak menye-menye. Lelaki yang berhasil menikahinya pasti tahu itu dan pernah merasa bangga. Aku yakin itu.
Namun, semenjak aku masuk kuliah, aku kehilangan informasi kapan rumah Nyi Nah dirobohkan. Tahu-tahu waktu aku pulang, rumah Nyi Nah yang penuh kenangan itu sudah tidak ada. Nyi Nah pun kabarnya ikut diboyong anak mbarepnya ke desa sebelah.
Entah saat semester berapa, Bu’e pernah bercerita kalau Nyi Nah sudah tiada. Aku tidak tahu penyebab kepergiannya, tapi Nyi Nah bukan orang yang gampang sakit meski sudah tua. Bahkan bisa dibilang tidak pernah sakit.
Aku jadi penasaran, andai saja Nyai Sarinah masih hidup di jaman pandemi ini, akankah ia termasuk dalam radar orang yang harus diutamakan dalam tes covic 19 ini? Orang yang harus dilindungi karena rentan akan lebih tertular virus? Atau orang yang diragukan dalam hal survive secara ekonomi? Sepertinya tidak.
Bagiku, Nyi Nah ini adalah representasi dari manula sejahtera. Ia tidak bergantung pada orang lain, tetangganya, anak-anaknya, apalagi pemerintah.
.
.
Nyi Nah, semoga sudah tenang di sana ya, Nyi. Alfatihah.