Draft Rancangan Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja (RUU Cilaka) merevisi ketentuan cuti khusus atau izin dalam Undang-Undang 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. RUU Cilaka menghapus beberapa aturan cuti khusus atau izin. Ini adalah salah satu pasal yang disorot dalam omnibus law.
Salah duanya tentang aturan cuti khusus atau izin tak masuk saat haid hari pertama bagi perempuan. Aturan tersebut tercantum dalam Pasal 93 huruf (a). Dan huruf (b) tentang izin atau cuti khusus untuk keperluan menikah, menikahkan, mengkhitankan, membaptiskan anaknya, isteri melahirkan/keguguran kandungan, hingga bila ada anggota keluarga dalam satu rumah yang meninggal dunia.
Aturan yang dihapus lainnya yaitu tentang ketentuan cuti khusus atau izin adalah menjalankan kewajiban terhadap negara (huruf c); menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya (huruf d); melaksanakan tugas berserikat sesuai persetujuan pengusaha (huruf g); dan melaksanakan tugas pendidikan dari perusahaan (huruf h).
Penghapusan terhadap ketentuan cuti khusus dan izin jelas merugikan banyak pekerja termasuk perempuan. Hal ini menjadi bukti pemerintah masih abai terhadap pengalaman biologis perempuan.
Pembentukan aturan seharusnya menyertakan semua pihak yang berkepentingan termasuk pekerja dan atau masyarakat yang akan terdampak, terlebih perempuan yang membutuhkan kebijakan dan fasilitas khusus dalam menjalani masa pengalaman biologisnya.
Namun, dalam draft Omnibus Law alih-alih memfasilitasi hak dan kebutuhan khusus pekerja perempuan justru tak ada penyertaan hak khusus bagi perempuan dalam menjalani pengalaman biologisnya.
RUU Omnibus Law hanya fleksibel dan memudahkan para pemodal dan ranah investasi tanpa memperhatikan kepentingan pekerjanya. Omnibus Law yang dibuat oleh pemerintah hanya memberikan lapangan kerja tanpa memperhatikan kualitas pekerja dengan menunjang kebutuhan pekerja.
Hal ini menunjukkan bahwa logika yang dipakai pemerintah dalam membentuk RUU Omnibus Law adalah logika dalam sistem kerja produksi patriarki, dimana kerja reproduksi tidak dianggap kerja yang menopang produksi kapital. Hak perempuan dianggap mengganggu fleksibilitas kerja produksi kapital.
Jika dilihat dari tingkat kesadaran kemanusiaan perempuan yang sering disampaikan Dr. Nur Rofiah dalam materi ngaji Keadilan Gender Islam (KGI), pemerintah saat ini masih dalam level menengah tingkat kesadaran kemanusiaan perempuan.
Dimana kemanusiaan perempuan hanya diakui sebagian, yakni hanya pada hal-hal yang sama dengan laki-lakilaki-laki. Pengalaman dan kondisi khas perempuan belum dianggap bagian dari kemanusiaan perempuan.
Contohnya dalam hal ini adalah menstruasi, melahirkan, dan pengalaman biologis lainnya hanya problem keperempuanannya perempuan, belum dianggap problem kemanusiaannya manusia. Sehingga cuti khusus atau izin yang menyangkut pengalaman biologis perempuan tidak disertakan dalam RUU Omnibus Law.
Ini menandakan bahwa pemerintah abai terhadap kemanusiaan perempuan dan agaknya masih sangat jauh untuk bisa mencapai level tertinggi kemanusiaan perempuan. Yang mana perempuan dianggap sebagai manusia seutuhnya dengan memperhatikan pengalaman dan kondisi khas perempuan serta memberikan fasilitas khusus kebutuhan perempuan. []