Mubadalah.id – Pengasuh Pondok Pesantren Mahasina Darul Qur’an wal Hadits, Nyai Hj. Badriyah Fayumi, Lc. MA menjelaskan bahwa pakaian adalah produk budaya.
Desain, model, bentuk, material, dan motif suatu pakaian banyak terpengaruhi oleh tradisi masyarakat setempat, selera pemakainya, dan usia pemakainya.
Meski demikian, Nyai Badriyah mengungkapkan, di balik penampakan pakaian selalu ada nilai atau pola pikir yang membingkainya.
Lebih lanjut, Nyai Badriyah menuturkan, pakaian yang menampakkan kemolekan tubuh itu, ia berangkat dari pandangan bahwa tubuh yang indah adalah kebanggaan untuk memperlihatkannya kepada orang lain.
Nilai Pakaian Muslimah dalam Pandangan Islam
Dalam Islam, Nyai Badriyah mengungkapkan, pakaian muslimah mengandung tiga nilai utama.
Pertama, pakaian muslimah berfungsi sebagai penutup aurat, perhiasan dan pakaian takwa (QS. Al-A’raf/7: 26).
Kedua, pakaian berfungsi sebagai penanda identitas muslimah dan perlindungan kepadanya agar tidak terjadi pelecehan (QS. al-Ahzab/33: 59);
Ketiga, pakaian sebagai ekspresi penampilan yang terbaik di hadapan Allah (QS. Al-A’raf/7: 31).
Dari ketiga nilai tersebut, Kata Nyai Badriyah, tujuan pakaian muslimah bukan untuk menonjolkan kemolekan tubuh perempuan, karena tubuh perempuan bukanlah komoditas publik.
Karena itulah segala bentuk perilaku berlebihan, eksploitatif (tabarruj) dan mengenakan pakaian dengan keangkuhan itu, menjadi sebuah larangan.
Nilai-nilai yang mulia ini, kata dia, kemudian turun menurun dalam bentuk yang lebih rinci dan detail agar muslimah memiliki acuan yang jelas.
Rasulullah saw pun kemudian memberikan pakem-pakem pokok busana muslimah melalui banyak hadis.
Secara umum dapat memberikan kesimpulan bahwa pakem pokok busana muslimah adalah menutup aurat, tidak ketat, tidak tipis (transparan), tidak berlebihan atau eksploitatif, bersih dan patut, serta tidak menyerupai pakaian laki-laki.
Ketentuan terakhir ini (tidak menyerupai pakaian laki-laki), kata Nyai Badriyah, tentu tidak bisa memahaminya sebagai larangan mengenakan celana panjang bagi perempuan, karena menyerupai lawan jenis, maka tidak bisa melihatnya hanya dari pakaian perpotong.
Sebagai perbandingan, Nyai Badriyah menjelaskan, gamis dalam tradisi masyarakat Arab dipakai laki-laki dan perempuan.
Gamis laki-laki dan perempuan tidak sama, sehingga sekalipun sama-sama mengenakan gamis, kita tetap bisa mengetahui, mana laki-laki dan mana perempuan.
Demikian pula celana panjang. Sangat mudah membedakan mana laki-laki dan mana perempuan dari penampilannya secara keseluruhan meski sama-sama mengenakan celana panjang.
Pakaian disebut menyerupai pakaian lawan jenis, Nyai Badriyah mengungkapkan, jika pakaian dan penampilan seorang perempuan secara keseluruhan menyerupai laki-laki, atau sebaliknya. (Rul)