Mubadalah.id – Manusia (laki-laki dan perempuan) adalah khalifah Tuhan di muka bumi. Tugasnya adalah memakmurkan bumi untuk kesejahteraan manusia. (QS. al-Baqarah (2) : 30: QS. Huud (11): 61). Teks-teks suci tersebut mengisyaratkan keharusan laki-laki dan perempuan untuk berpolitik.
Imam al-Qurthubi menyatakan bahwa QS. al-Baqarah (2) : 30 menunjukkan keharusan manusia mengangkat pemimpin pemerintahan untuk mengatur tata kehidupan masyarakat.
Kemudian, keharusan manusia menegakkan hukum dengan benar, mewujudkan keadilan. Serta hal-hal penting lainnya yang diperlukan bagi kehidupan bersama. Ini semua merupakan urusan-urusan politik.
Dalam wacana Islam, politik (as-siyasah) secara sederhana dirumuskan sebagai cara mengatur urusan-urusan kehidupan bersama untuk mencapai kesejahteraan di dunia dan kebahagiaan di akhirat.
Dengan begitu, politik dalam arti yang sesungguhnya adalah ruang yang maha luas, seluas ruang kehidupan itu sendiri. Ia muncul baik dalam ruang domestik maupun publik, ruang kultural maupun struktural, personal dan komunal.
Tetapi, penyebutan politik dalam pemikiran banyak tokoh dewasa ini telah menyempit menjadi istilah politik praktis, politik struktural. Perebutan kekuasaan untuk kepentingan diri atau golongan yang bersifat sesaat. Bukan lagi untuk kepentingan masyarakat luas dan untuk masa yang panjang.
Politik Islam Klasik
Dalam wacana politik Islam klasik, mengangkat pemimpin (nashbul imam) adalah wajib dalam kategori fardhu kifayah (kewajiban kolektif atas dasar argumen agama dan pemikiran rasional).
Imam al-Ghazali dalam Al-I’tiqad fi al-Iqtishad menyebut tugas ini sebagai sesuatu yang dharuri (niscaya) dalam kerangka berjalannya ajaran-ajaran Tuhan.
Sementara, Imam al-Mawardi menegaskan bahwa eksistensi pemerintahan diperlukan untuk melindungi agama dan pengaturan dunia.
Sebagai keniscayaan kolektif, maka partisipasi politik dalam soal ini tidak menjadi keharusan setiap warga negara. Akan tetapi, semakin banyak warga yang berpartisipasi di dalamnya, legitimasi kekuasaan menjadi semakin kuat dan relatif lebih menjamin stabilitas.
Ada dua hal yang selalu menjadi perbincangan utama menyangkut persoalan kepemimpinan: siapa yang harus kita pilih menjadi kepala negara (al-imam) dan siapa yang berhak memilihnya.
Para ulama menyebut yang kedua sebagai ahlul balli wal aqdi atau ahlul ikhtiar. Untuk kedua pertanyaan tersebut, wacana politik Islam klasik menyebutkan sejumlah persyaratan idealistik, dan seperti biasanya, ia muncul dalam pandangan yang beragam. []