Mubadalah.id – Pada 04 Oktober 2024, ada pemberitaan tentang kerentanan pendidikan disabilitas. Berita tersebut saya dapatkan dari media online Kompas.com berjudul “Babas Si Remaja Disabilitas yang Buka Jalan buat Ambulan Putus Sekolah karena Lawan Perundungan.”
Berita tersebut kemudian viral lantaran bocah bernama Babas adalah penyandang disabilitas. Babas berjubaku melawan kemacetan dan padatnya himpitan kendaraan demi membukakan ruas jalan ambulan yang sedang membawa orang sakit.
Peristiwa di atas memberikan pelajaran, bahwa penyandang disabilitas pun memiliki empati dan kesadaran untuk membantu sesama manusia. Jika kita telisik lebih jauh, ada persoalan serius yang terjadi terhadap Babas di luar membantu ambulan dalam kemacetan. Babas mengalami perundungan oleh teman-temannya dalam ranah pendidikan di sekolah. Pihak sekolah justru menyarankan kepada keluarga Babas agar pindah sekolah.
Wali kelas (guru) menyampaikan pernyataan tersebut lantaran adanya pembelaan diri akibat ejekan serta hinaan yang ia terima. Persoalan ini menggambarkan realitas dalam ruang pendidikan pun masih mengalami diskriminasi terhadap penyandang disabilitas. Dari kasus tersebut, akhirnya Babas memutuskan keluar dari sekolah.
Regulasi Negara
Jika melihat regulasi, pemerintah sudah mengeluarkan Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Semestinya guru dan pejabat sekolah menyadari bahwa pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas di antaranya berasaskan “tanpa diskriminasi, kesamaan kesempatan, kesetaraan, aksesibilitas, inklusif.”
Namun, guru dan pihak sekolah justru memberikan pilihan atau hukuman yang tidak berpihak terhadap penyandang disabilitas. Nilai-nilai kesetaraan dan kesempatan yang sama semestinya Babas peroleh agar kemudian tidak terabaikan. Tugas pengajar seharusnya tidak sekadar mempertimbangkan persoalan administrasif, tetapi juga persoalan yang substantif.
Kita memahami, perkembangan zaman dan teknologi yang semakin modern terkadang justru mempengaruhi cara pandang masyarakat urban dalam melihat kesetaraan terhadap kelompok rentan. Laju modernitas yang kita alami semakin dinamis mempengaruhi lemahnya interaksi sosial terhadap kelompok minoritas.
Kita menjadi lebih sibuk akibat kepentingan individu, terkadang mengabaikan kesadaran kolektif terhadap penyandang disabilitas. Kesadaran guru dalam sekolah umum kurang memahami nilai-nilai inklusi sehingga hanya sadar untuk mempertimbangkan soal administratif semata!
Sekolah Inklusi
Perkembangan sekolah dan pendidikan disabilitas bagi penyandang disabilitas dari hari ke hari mengalami perubahan yang signifikan. Munculnya berbagai sekolah-sekolah inklusi memberikan harapan baru terhadap penyandang disabilitas untuk memperoleh akses ilmu serta lingkungan yang aman.
Kehadiran sekolah inklusi menjadi tempat yang nyaman sekaligus juga pilihan, bahwa penyandang disabilitas tidak hanya dapat bersekolah di Sekolah Luar Biasa (SLB) binaan dari negara.
Sekolah inklusi adalah tempat pendidikan Anak-anak Berkebutuhan Khusus (ABK) yang dapat berbaur secara reguler dengan anak-anak pada umumnya untuk memperoleh proses pembelajaran yang sama. Perbedaan konkritnya, tentu sekolah inklusi mengakomodasi kebutuhan ABK, penilaian lapangan, dan guru pendamping khusus dalam proses belajar mengajar.
Semestinya sekolah-sekolah umum jika menerima murid penyandang disabilitas sudah sepatutnya mempertimbangkan berbagai aspek kebutuhan bagi ABK. Tidak lantas kemudian guru melakukan proses pembelajaran tanpa adanya pengawasan yang kurang ketat. Sekolah semestinya bertanggungjawab memberikan pelayanan, keamanan, dan ilmu kepada ABK.
Jika kesadaran substansial seperti ini dapat diterapkan pada lingkungan sekolah, setidaknya tugas negara sudah diwakili oleh guru dan pihak sekolah. Sebab Undang-Undang berbicara hak-hak disabilitas, maka kita harus mematuhi dengan cara menghormati, melindungi, memenuhi, mempromosikan kesetaraan bagi penyandang disabilitas.
Narasi Kesetaraan
Pada 11-13 Februari 2025, saya berkesempatan mengikuti kegiatan Akademi Mubadalah 2025 di Yogyakarta. Acara tersebut mengusung tema Penguatan Hak-hak Disabilitas melalui Penulisan Artikel dan Konten Kreatif.
Saya kemudian bertemu pemateri Dr. Faqihuddin Abdul Kodir (Kang Faqih) yang menyampaikan Penguatan Hak Disabilitas dalam Perspektif KUPI (Kongres Ulama Perempuan Islam). Kang Faqih menyampaikan dengan sangat menarik, sebab cara pandang kita sangat tergantung pada perspektif, termasuk pada isu disabilitas.
Kang Faqih menyampaikan bahwa Tuhan menciptakan makhluknya begitu beragam, seperti manusia yang memiliki karakter dan bentuk fisik. Tuhan juga menciptakan manusia yang beragam, ada disabilitas dan non-difabel. Meski demikian, tugas semua insan manusia sebagai hamba ialah menjadi khalifah yang harus bekerjasama antar manusia. Maka konsep mubadalah ini sangat penting untuk memberikan nilai-nilai kemaslahatan sosial.
Faqihuddin Abdul Kodir menulis buku berjudul Qira’ah Mubadalah: Tafsir Progresif untuk Keadilan Gender dalam Islam (2023). Menurut Kang Faqih, Mubadalah merupakan bentuk kesalingan (mufa’alah) dan kerjasana antar dua pihak (musyarakah), yang kemudian dapat diartikan saling menganti, saling mengubah, atau saling menukar satu sama lain.
Mengenal Trilogi KUPI
Dengan kesadaran relasi kuasa, kita dapat memahami antar insan manusia, akan sangat berdampak pada konsep Ada’lah dan kemaslahatan sosial. Konsep dan perspektif tersebut dapat digunakan dalam memandang relasi kuasa terhadap hak-hak disabilitas. Perspektif tersebut lantas didukung dengan metodologi yang baik yang sudah diterapkan oleh KUPI yang disebut Trilogi KUPI.
Trilogi tersebut memuat, pertama Makruf yang dapat diartikan kebaikan atau perbuatan yang baik. Kedua Mubadalah yaitu dapat diartikan kerjasama antar insan manusia, baik laki-laki maupun perempuan dan menjunjung tinggi kesetaraan. Ketiga Keadilan Hakiki, yang dapat kita maknai keadilan yang didapatkan oleh semua manusia dalam kehidupan sosial dan masyarakat.
Jika kesadaran dan perspektif ini kita jadikan pijakan, maka akan sangat berdampak dalam menumbuhkan kesadaran untuk memahami hak-hak penyandang disabilitas. Saya teringat nasehat dari KH. Husein menyampaikan materi dalam acara Akademi Mubadalah 2025, terasa seperti sepenggal “carilah (Aku) di antara hati yang terluka.” []