Mubadalah.id – Aspek kehalalan produk menjadi salah satu persoalan penting dalam perilaku konsumsi umat Islam. Boleh atau tidaknya suatu makanan dan minuman untuk kita nikmati, sangat tergantung dari status halalnya. Tak pelak, di berbagai negara di dunia, bahkan dengan minoritas muslim, hal ini juga telah diperhatikan secara serius. Makanan berlabel halal relatif cukup mudah ditemukan di supermarket. Produk dari industri halal bukan lagi sekadar soal urusan perut saja, melainkan sudah menjadi unsur penggerak perputaran ekonomi.
Di Indonesia sendiri, dengan status sebagai negara dengan penduduk mayoritas muslim terbesar, pemerintah memberikan dukungan terhadap aspek ekonomi mengenai produk halal. Upaya pemerintah dalam memberikan kepastian status halal ini, misalnya, tertuang dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. Pada Pasal 4 dinyatakan, “Produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal.”
UU tersebut kemudian dimutakhirkan melalui Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang sebagian isinya juga mengatur ketentuan halal. Regulasi turunan dari aturan Jaminan Produk Halal (JPH) ada dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 39 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang JPH. Perubahan yang terdapat dalam UU Cipta Kerja yang terkait sektor halal secara umum bertujuan untuk efisiensi pelayanan sertifikasi halal.
Pengembangan industri halal
Ihwal halal tidak hanya berkutat pada soal makanan dan minuman semata. Lebih jauh dari itu, ia telah meluas pada lini kehidupan lainnya. Barang-barang industri, mulai dari detergen, alat masak, pakaian, bahkan hingga elektronik sudah mulai marak dilabeli “halal” setelah melalui proses sertifikasi. Ini mengindikasikan, sektor-sektor industri lain juga tengah beradaptasi dalam koridor syariat Islam untuk memperluas pangsa pasarnya.
Kaitannya dengan berbagai aktivitas ekonomi, Al-Quran telah menyebut beberapa jenis barang yang menjadi kebutuhan hidup manusia. Mestinya beragam jenis barang itu dapat kita jadikan acuan dalam pengembangan industri halal. Dalam Surat An-Nahl ayat 80-81 menyatakan:
وَاللَّهُ جَعَلَ لَكُمْ مِنْ بُيُوتِكُمْ سَكَنًا وَجَعَلَ لَكُمْ مِنْ جُلُودِ الْأَنْعَامِ بُيُوتًا تَسْتَخِفُّونَهَا يَوْمَ ظَعْنِكُمْ وَيَوْمَ إِقَامَتِكُمْ وَمِنْ أَصْوَافِهَا وَأَوْبَارِهَا وَأَشْعَارِهَا أَثَاثًا وَمَتَاعًا إِلَى حِينٍ (80) وَاللَّهُ جَعَلَ لَكُمْ مِمَّا خَلَقَ ظِلَالًا وَجَعَلَ لَكُمْ مِنَ الْجِبَالِ أَكْنَانًا وَجَعَلَ لَكُمْ سَرَابِيلَ تَقِيكُمُ الْحَرَّ وَسَرَابِيلَ تَقِيكُمْ بَأْسَكُمْ كَذَلِكَ يُتِمُّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تُسْلِمُونَ (81)
(80) Dan Allah menjadikan bagimu rumah-rumahmu sebagai tempat tinggal dan Dia menjadikan bagi kamu rumah-rumah (kemah-kemah) dari kulit binatang ternak yang kamu merasa ringan (membawa)nya di waktu kamu berjalan dan waktu kamu bermukim dan (dijadikan-Nya pula) dari bulu domba, bulu unta dan bulu kambing, alat-alat rumah tangga dan perhiasan (yang kamu pakai) sampai waktu (tertentu).
(81) Dan Allah menjadikan bagimu tempat bernaung dari apa yang telah Dia ciptakan, dan Dia jadikan bagimu tempat-tempat tinggal di gunung-gunung, dan Dia jadikan bagimu pakaian yang memeliharamu dari panas dan pakaian (baju besi) yang memelihara kamu dalam peperangan. Demikianlah Allah menyempurnakan nikmat-Nya atasmu agar kamu berserah diri (kepada-Nya). [Surat An-Nahl 80 – 81]
Titik temu pada unsur thayyib
Mengacu pada ayat tersebut, sekurang-kurangnya terdapat lima jenis komoditas yang mestinya mendapat perhatian serius dalam pengembangan industri halal. Antara lain: rumah dan bangunan (properti), perkakas rumah tangga, barang mewah dan perhiasan, pakaian (fashion), serta produk militer.
Rambu-rambu dan ketentuan halal dari masing-masing komoditas tersebut tentu menjadi ladang “ijtihad” bagi para ulama dan cendekiawan muslim. Sebab, rambu-rambu “kehalalan” perhiasan, misalnya, berbeda aturannya dengan makanan. Begitu pula dengan ketentuan berpakaian yang bervariasi, menyesuaikan dengan jenis kelamin.
Terlepas dari standar halal yang mungkin berbeda dari tiap komoditas-komoditas itu, ada satu titik yang boleh jadi mempertemukannya. Yakni, terkait penilaian atas status thayyib. Jika makanan dan minuman ke-thayyib-annya kita lihat dari sisi medis dan dampak kesehatannya. Maka thayyib tidaknya lima komoditas tersebut salah satunya bisa kita nilai dari seberapa besar kepedulian perusahaan yang memproduksinya terhadap lingkungan.
Penciptaan industri yang ramah lingkungan semestinya kita jadikan tolok ukur atas thayyib atau tidaknya produk yang pengusaha hasilkan. Yang mereka perhatikan bukan cuma halal tidaknya bahan itu mereka pakai menurut syariat. Melainkan juga seberapa banyak limbah dan efek negatif yang muncul atas lingkungan. Sehingga, penggunaan jenis bahan tertentu yang berbahaya dan tidak dapat terurai bisa kita minimalisir. Atau bahkan tidak ada sama sekali. (Bebarengan)