Mubadalah.id – Pada 1999 Majelis Umum PBB menjadikan 25 November sebagai Hari Internasional Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan. Bahkan setiap tahunnya, mulai dari 25 November sampai 10 Desember, (Hari Peringatan Hak Asasi Manusia Sedunia), diperingati sebagai 16 Hari Anti-Kekerasan terhadap Perempuan.
Tema 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan tahun ini adalah “Kenali hukumnya, lindungi korban”. Tema ini tentu sangat relevan dengan kondisi saat ini, yang di mana jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan memang masih sangat tinggi.
Berdasarkan catatan tahunan Komisi Nasional Anti-Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) tahun 2015, jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan mencapai 321.752, naik dari 293.220 pada tahun sebelumnya.
Peningkatan tersebut diikuti juga dengan meningkatnya keterlibatan masyarakat dan lembaga layanan dalam penanganan terhadap perempuan dan anak. Namun, upaya-upaya penghapusan yang dilakukan, baik oleh pemerintah maupun kelompok masyarakat, kebanyakan hanya melibatkan perempuan saja.
Oleh karena itu, sejumlah program pelibatan laki-laki pun mulai dilakukan oleh beberapa komunitas. Pelibatan laki-laki pada dasarnya dilakukan untuk mendorong mereka mengambil peran aktif dalam menghentikan kekerasan terhadap perempuan dengan cara mengartikan ulang arti ‘maskulinitas’ dan peran keayahan (fatherhood).
Laki-laki yang umumnya sering orang-orang anggap sebagai sumber kekerasan dalam kasus-kasus kekerasan berbasis gender. Namun kini, ia kita libatkan dan harapkan dapat menyempurnakan strategi dalam mencapai kesetaraan gender.
Di sisi lain, menurut Hafidin dalam tulisannya yang terbit di bakti.or.id menyebutkan bahwa keterlibatan laki-laki dalam upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan itu sangat penting. Sebab dalam budaya patriarki ia mendapatkan privilege (hak istimewa) berupa kekuasaan dan dominasi.
Hak istimewa ini sebenarnya bisa alat untuk laki-laki ikut memperjuangkan keadilan bagi perempuan. Sehingga perempuan tidak lagi menjadi korban kekerasan.
Melibatkan Laki-laki dalam Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan
Peran laki-laki dalam upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan bisa dilakukan dengan memberikan pendidikan feminisme bagi laki-laki dan mengajak mereka untuk lebih aktif mendukung dan melakukan nilai-nilai kesetaraan gender, baik di ruang publik maupun hubungan rumah tangga.
Selain itu, laki-laki juga bisa belajar tentang pengetahuan feminisme. Sehingga dia bisa ikut terlibat dalam upaya menghentikan kekerasan terhadap perempuan. Sekaligus menyuarakan bahwa status privilege laki-laki dalam budaya patriarki itu bukan alasan laki-laki untuk mendominasi dan melakukan kekerasan pada perempuan.
Justru sebaliknya, hal tersebut harus menjadi alat untuk melindungi dan memastikan perempuan aman dari segala bentuk kekerasan.
Masih dalam nafas yang sama, laki-laki juga bisa ikut andil dalam penghapusan kekerasan terhadap perempuan dengan cara membiasakan diri untuk memilih kata-kata secara sensitif gender dalam kehidupan sehari-hari kita. Jangan lagi menggunakan kata-kata yang dapat merendahkan dan melecehkan perempuan.
Kehadiran laki-laki yang punya perspektif feminis ini kita harapkan bisa menjadi teman yang mampu mendengarkan, mendukung, melindungi dan memperjuangkan hak-hak perempuan. Sehingga secara perlahan, kekerasan terhadap perempuan itu berakhir.
Dengan begitu, menurut hemat saya dalam proses memperjuangan keadilan bagi perempuan itu tidak hanya cukup perempuan lakukan saja. Tetapi peran serta kehadiran laki-laki juga sangat penting.
Sebab, dengan saling bekerjasama antara laki-laki dan perempuan, gerakan keadilan gender ini akan semakin masif dan cepat. Sehingga mewujudkan kehidupan yang adil bagi laki-laki dan perempuan akan lebih mudah tercapai.
Meskipun perjalannya tidak selalu mudah, namun dengan gerak bersama dan kerjasama, perjuangan itu akan lebih ringan. Seperti hal nya pepatah yang sering kita dengar bahwa “ringan sama dijinjing berat sama dipikul”. Kata-kata ini menujukkan betapa pentingnya saling membantu dan menolong dalam hal kebaikan. []