Mubadalah.id – Beberapa waktu lalu viral kasus perceraian salah satu public figure di berbagai media sosial, di antaranya adalah media sosial instagram. Viralnya kasus tersebut karena surat berkas perkara perceraian mereka tersebar dijagad maya. Dari banyaknya alasan kedua public figure tersebut memutuskan untuk bercerai, salah satunya adalah akibat dari adanya campur tangan orang tua dari pihak tergugat dalam rumah tangga mereka.
Terlepas dari siapa yang benar dan salah dari kasus tersebut, biarlah itu menjadi urusan mereka. Namun satu hal yang ingin saya bahas dari kasus tersebut. Yaitu tentang batasan orang tua dan anak setelah menikah. Bagaimana anak mampu mengelola rumah tangganya sendiri tanpa campur tangan orang tua.
Berbakti terhadap orang tua memang adalah suatu kewajiban. Apalagi bagi anak laki-laki yang selama ini terbentuk oleh masyarakat kita, bahwa surga anak laki-laki itu di bawah telapak kaki ibu. Termasuk ketika ia sudah menikah sekalipun.
Berbeda dengan anak perempuan, yang selama ini masyarakat menganggap bahwa ketika anak perempuan belum menikah, maka surga ada pada orang tuanya. Namun, setelah menikah, otomatis akan beralih kepada suaminya. Sehingga, wajar bagi masyarakat kalau seorang anak laki-laki mau memberikan apapun kepada orang tuanya, dengan izin ataupun tanpa izin dari istrinya. Begitupun bagi orang tua, terutama bagi ibu, memiliki hubungan yang dekat anak laki-laki merupakan suatu hal yang sangat mereka banggakan.
Sikap Menjadi Ibu Mertua
Salah satu kasus terjadi dalam keluarga besar saya sendiri, tante saya yang memiliki anak laki-laki yang baru saja menikah beberapa waktu lalu. Pernikahan anaknya yang masih seumur jagung itu selalu saja diwarnai dengan pertengkaran akibat sang anak laki-laki berbeda kasih sayang kepada ibunya setelah menikah. Ibunya yang merasa kasih sayang anak laki-laki yang selama ini miliknya, tak lagi ia dapatkan. Bahkan lebih memilih mengutamakan istri daripada ibunya.
Tak hanya sampai di situ, sang ibu mertua selalu mencoba untuk ikut campur urusan rumah tangga anak dan menantunya, melarang ini dan itu. Dia mencoba terus-menerus mengontrol bagaimana menantu seharusnya. Apapun yang menantunya lakukan selalu salah. Sampai perihal urusan privat mereka pun ikut diatur oleh sang mertua.
Hingga akhirnya sang menantu memilih keluar dari rumah sang mertua. Namun, suaminya hanya mampu diam tanpa mampu membela. Bahkan istrinya ia anggap sebagai sosok yang membangkang karena tidak ingin mendapatkan pengajaran yang baik dari ibu mertua.
Miris memang. Ktika sang suami yang harusnya mampu menjadi penengah antara menantu dan mertua, malah sebaliknya, suami lebih menyalahkan istrinya daripada mencari solusi untuk kedua belah pihak.
Menyoal Budaya Patriarki
Di sisi lain, salah satu teman perempuan saya, juga mendapatkan perlakuan yang hampir serupa dengan kasus di atas. Bedanya ia belum sampai pada tahap pernikahan. Teman saya menjalin hubungan dengan kekasihnya sudah beberapa tahun. Dalam hubungan mereka selalu saja terjadi kesalahpahaman antara dia dengan calon mertua. Ibu sang kekasih selalu mengatur apapun yang teman saya lakukan.
Hingga suatu teman perempuan saya marah besar, karena kekasihnya tidak bisa bersikap tegas dalam rencana pernikahan mereka di masa depan. Pada titik itu, calon mertua menyampaikan secara terang-terangan, bahwa ia tak menyukai siapapun perempuan lain merebut perhatian dan kasih sayang anak laki-lakinya, termasuk pacarnya itu. Lagi-lagi, anak laki-lakinya pun tak mampu mengambil sikap tegas. Dia menerima begitu saja perempuan pilihan ibunya sendiri. Tanpa ada kata pamit sebelumnya. Aduh, sakitkan.
Masih banyak kasus-kasus serupa yang terjadi di luar sana. Hanya saja tak banyak yang di up oleh teman-teman perempuan. Tentunya banyak faktor kenapa mereka memilih diam. Di antaranya adalah budaya patriarki kita yang selalu memposisikan laki-laki sebagai makhluk superior dan perempuan sebagai makhluk inferior. Kalau ada yang bersuara tentang relasi antara menantu dan mertua ini, maka pihak perempuan siap-siap untuk dianggap sebagai perempuan durhaka dan semacamnya.
Kasus-kasus semacam ini menjadi pelajaran bagi kita bersama, terutama bagi para orang tua dan anak yang sudah menikah.
Pertama, bagi seorang anak yang akan menikah, baik laki-laki dan perempuan, maka pastikan terlebih dahulu, kamu sudah selesai dengan dirimu sendiri, juga keluargamu sebelum memilih untuk menjalani hidup dengan orang lain.
Kedua, bagi anak laki-laki yang akan menikah dan sudah menikah, maka jadilah sosok yang tegas antara istri dan orang tua, sayangi keduanya tanpa saling mendiskriminasi.
Bijak Menjadi Orang Tua
Bagi orang tua, anak laki-lakimu memang milikmu, tetapi ketika ia sudah menikah, biarkan ia membangun rumah tangganya sendiri, tanpa dicampuri. Menyayangi anak boleh-boleh saja, tetapi menuntut ia untuk senantiasa mengutamakanmu dengan legitimasi berbakti kepada orang tua juga tidaklah dibenarkan.
Sebagai orang tua, kita juga harus legowo, bahwa ia juga punya prioritas lain selain kita, yaitu keluarga kecilnya. Kita harus bijak menjadi orang tua. Yaitu dengan cara membiarkan anak membangun rumah tangganya sendiri, dan menasehati untuk kebaikan mereka bersama. Bukan sebagai bentuk kontrol utama ibu.
Batasan antara anak dan orang tua setelah menikah itu sangat penting. Bukan sebagai bentuk kedurhakaan anak kepada ibunya, ataupun ketidak berbaktinya menantu kepada mertua, melainkan untuk saling menghargai dan menjaga keharmonisan satu sama lainnya.
Begitupun kepada suami istri, rumah tangga adalah perihal komunikasi dan komitmen, maka apapun yang ingin kita lakukan lebih baik kita komunikasikan bersama. Tujuannya agar tercipta relasi yang sehat dan saling memberdayakan. []