Mubadalah.id – Jika merujuk pandangan para ulama klasik yang otoritatif tentang teks dalam sumber Islam, maka para ulama memberi inspirasi secara kuat bahwa teks-teks sumber dalam Islam harus dipahami secara mubadalah, di mana perempuan tidak boleh disisihkan dari teks-teks yang secara struktur bahasa untuk laki-laki.
Argumen dasarnya adalah karena Islam dan teks-teks dasarnya adalah untuk kedua belah pihak, laki-laki dan perempuan. Untuk yang sebaliknya, para ulama tidak membahas.
Oleh sebab itu, mengenai teks untuk perempuan yang seharusnya juga mencakup laki-laki jika makna dari teks tersebut memang bersifat universal.
Argumen yang kita gunakan tentu saja sama dengan yang sudah dijelaskan oleh para ulama tersebut. Yaitu, bahwa Islam dan teks-teks dasarnya, secara prinsip, adalah untuk kedua jenis kelamin, laki-laki dan perempuan.
Sehingga, teks-teks, yang secara khusus menyasar satujenis kelamin, jika pesannya bersifat universal, seyogianya berlaku juga kepada kedua belah pihak.
Dengan demikian, metode interpretasi mubidalah sesungguhnya telah para ulama klasik bahas secara khusus dalam konsepsi taghlib al-mudzakkar ‘ala al-mu’annats. Serta secara umum bisa kita jumpai dalam pembahasan pencakupan makna dari struktur kalimat (dalalat al-alfazh).
Hanya saja, kurang penegasan di berbagai sisi, dan tidak kita elaborasi lebih lanjut untuk memastikan prinsip relasi sosial laki-laki dan perempuan bisa lebih berimbang.
Dan untuk menegaskan bahwa teks benar-benar menghadirkan kebaikan pada kedua belah pihak secara nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Oleh sebab itu, qira’ah mubadalah ingin mengangkat metode interpretasi resiprokal dengan basis perspektif keadilan dan kesetaraan di hadapan teks-teks Islam, al-Qur’an, hadits, dan sumber-sumber khazanah yang lain. *
*Sumber: tulisan Faqihuddin Abdul Kodir dalam buku Qiraah Mubadalah.