Mubadalah.id – Kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) menjadi salah satu kasus yang hingga saat ini kerap terjadi di sebagian masyarakat. Belum lama ini, kasus KDRT dilakukan oleh salah satu oknum anggota DPR RI Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Dilansir dari Tempo.com, KDRT tersebut dilakukan oleh salah satu anggota PKS, Bukhori Yusuf kepada istri keduanya. Bukhori dalam laporan Tempo melakukan kekerasan fisik, psikis dan juga seksual.
Akibat tindakan yang dilakukan Bukhori tersebut, ia dilaporkan oleh korban ke Kepolisian Resort Kota Besar Bandung, Jawa Barat. Tidak hanya itu, korban juga melaporkan perbuatan oknum Fraksi PKS itu ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR RI.
Menyikapi kasus tersebut, sebetulnya ada hal yang menarik yang bisa patut kita berikan apresiasi dan dukungan kepada korban KDRT. Pasalnya, sang istri, menurut saya ia telah berani membuka ke publik apa yang ia derita dan rasakan untuk melaporkannya ke pihak yang berwajib.
Dengan dilaporkannya pelaku KDRT kepada Aparat Penegak Hukum (APH), pelaku KDRT akan dikenakan sanksi pidana sesuai dengan ketentuan pasal 44 sampai dengan pasal 50 Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekekasan Dalam Rumah Tangga (selanjutnya disebut UU PKDRT).
Dengan memberikan sanksi kepada pelaku KDRT, kita berharap agar membuat pelaku menjadi sadar serta membuatnya menjadi jera. Sehingga ia tidak berani mengulangi perbuatannya.
Selain itu, korban pun akan mendapatkan pemulihan dari semua penderitaan yang ia alami akibat KDRT yang menimpanya, baik itu fisik, psikis, dan lain sebagainya. Hal ini sesuai ketentuan pasal 39 sampai dengan pasal 43 UU PKDRT.
Oleh karena itu korban-korban KDRT yang berani melporkan pelaku ke Aparat Penegak Hukum (APH) wajib kita berikan apresiasi karena tidak semua korban KDRT memiliki keberanian seperti itu.
Perjuangan si Korban
Seperti kita ketahui bersama bahwa hingga saat ini ketika si korban berusaha untuk melaporkan kasusnya itu, banyak perjuangan yang mesti ia tempuh dan hadapi. Beberapa perjuangan yang mesti korban hadapi tersebut di antaranya:
Pertama, dalam hukum, tindak pidana KDRT tidak bukan sebagai kejahatan yang harus dilaporkan. KDRT hingga saat ini masih dianggap sebagai ujian dalam menjalani kehidupan rumah tangga. Oleh karena itu, ketika korban mengalami KDRT, korban hanya pasrah dan bersabar serta diiringi tawakal kepada Allah Swt dengan harapan pelaku bisa berubah.
Kedua, KDRT kerap kali masih mereka anggap sebagai aib yang dapat mencoreng nama baik keluarga. Dengan asumsi seperti itu, sebabak belur bagaimana pun derita yang korban alami, ia lebih memilih tutup mulut dari pada melaporkan ke Aparat Penegak Hukum (APH).
Ketiga, sebagian besar para korban KDRT masih bergantung secara ekonomi pada pelaku. Faktor ini menyebabkan korban tidak berani memproses pelaku secara hukum. Karena ia merasa kalau pelaku masuk penjara, ia khawatir akan nasib keluarganya terutama keberlangsungan hidup anak-anaknya.
Keempat, khawatir terhadap nasib anak yang nantinya akan mempunyai orang tua mantan narapidana. Hal ini akan menjadikan anak tidak bisa bergaul, bahkan tidak memiliki teman. Karena ia merasa malu dan takut teman-temannya banyak mem-bully-nya karena memiliki orang tua mantan narapidana.
Oleh sebab itu, dengan keberanian korban yang melaporkan kasus KDRT itu, sebaiknya kita berikan apresiasi dan berikan dukungan yang penuh baginya. Karena hingga saat ini para korban yang melaporkan kasusnya tersebut masih dihadapkan oleh dinding-dinding yang melemahkan, mendiskriminasi, dan menindas para perempuan korban KDRT.
Dengan membemberikan dukungan dan apresiasi tersebut, saya kira akan membuat para perempuan korban menjadi pulih dan berdaya. Bahkan mereka akan merasa aman dan terlindungi. Dengan begitu, mari kita berikan dukungan penuh kepada para korban, agar ia segera bangkit dan pulih. []