Mubadalah.id – Jika merujuk perspektif mubadalah tentang tafsir keagamaan, maka tafsir keagamaan maupun praktik keberagamaan tidak boleh dijadikan landasan dominasi salah satu jenis kelamin terhadap jenis kelamin yang lain.
Apalagi membiarkan tirani dan melestarikan hegemoni. Bahwa ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan, itu adalah niscaya.
Tetapi, hal tersebut tidak untuk membedakan yang satu lebih mulia dan lebih penting daripada yang lain. Secara moral keagamaan, yang satu juga tidak boleh lebih egois dan sombong terhadap yang lain.
Pun, tidak seharusnya yang satu menjadi tersisih dan terhina karena yang lain. Tidak pula seharusnya ada yang menjadi korban kekerasan fisik, mental, ekonomi, politik, dan sosial.
Apalagi dengan atas nama Islam. Perspektif mubadalah justru menekankan perspektif keberagamaan yang menitik beratkan pada keseimbangan relasi dan kesalingan dalam memaknai isu-isu relasi gender dalam Islam, berbasis teks-teks sumber dan tradisi keilmuan Islam.
Tentu saja, perspektif mubadalah juga tidak setuju dengan cara pandang sebaliknya, yang menempatkan perempuan selalu dalam keadaan benar dan menempatkan laki-laki sebagai biang kerok dan sumber masalah.
Perspektif ini tidak sedang mengangkat perempuan, untuk menyalahkan, menyudutkan, merendahkan, dan mendiskreditkan laki-laki.
Tetapi, perspektif ini menekankan kesadaran bahwa dunia ini terlalu sederhana jika hanya dengan perspektif laki-laki. Dunia ini justru harus dengan cara pandang laki-laki dan perempuan.
Relasi keduanya harus benar-benar kemitraan dan kerja sama, saling menguatkan, melengkapi, mendukung, dan menolong satu sama lain.*
*Sumber: tulisan Faqihuddin Abdul Kodir dalam buku Qiraah Mubadalah.