• Login
  • Register
Rabu, 2 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Keluarga

Perselingkuhan dan Ayat An-Nur 6-9 Perspektif Mubadalah

Secara spirit ayat tentang perselingkuhan (sumpah lian), dan mekanisme pembuktian di pengadilan sedikit termanifestasi dalam KUHP

Moh Soleh Shofier Moh Soleh Shofier
15/01/2024
in Keluarga, Rekomendasi
0
Perselingkuhan Perspektif Mubadalah

Perselingkuhan Perspektif Mubadalah

2.5k
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah. id- Perselingkuhan tidak hanya dari arah istri atau perempuan yang kemudian suami bisa melaporkannya kepada hakim, tetapi perselingkuhan juga bisa dari suami.

Dalam Alquran hanya merespons persoalan perselingkuhan ketika sang istri yang berselingkuh, tidak sebaliknya. Oleh sebab itu, tulisan ini akan membahas sedikit terkait ayat Alquran yang menjelaskan persoalan selingkuh dalam rumah tangga dari perspektif Mubadalah.

Sebab perselingkuhan (yang sampai melakukan hubungan intim) dalam Alquran memiliki ketentuan dan mekanisme tersendiri. Yang barangkali (secara formal) telah terabaikan.

ﵟوَٱلَّذِينَ يَرۡمُونَ أَزۡوَٰجَهُمۡ وَلَمۡ يَكُن لَّهُمۡ شُهَدَآءُ إِلَّآ أَنفُسُهُمۡ فَشَهَٰدَةُ أَحَدِهِمۡ أَرۡبَعُ شَهَٰدَٰتِۭ بِٱللَّهِ إِنَّهُۥ لَمِنَ ٱلصَّٰدِقِينَ ٦ وَٱلۡخَٰمِسَةُ أَنَّ لَعۡنَتَ ٱللَّهِ عَلَيۡهِ إِن كَانَ مِنَ ٱلۡكَٰذِبِينَ ٧ وَيَدۡرَؤُاْ عَنۡهَا ٱلۡعَذَابَ أَن تَشۡهَدَ أَرۡبَعَ شَهَٰدَٰتِۭ بِٱللَّهِ إِنَّهُۥ لَمِنَ ٱلۡكَٰذِبِينَ ٨ وَٱلۡخَٰمِسَةَ أَنَّ غَضَبَ ٱللَّهِ عَلَيۡهَآ إِن كَانَ مِنَ ٱلصَّٰدِقِينَ ٩ﵞ [النور: 6-9]

Teknis Pembuktian Perselingkuhan Dalam Keluarga Menurut Alquran

Dalam ayat tersebut Tuhan memberikan solusi agar suami melakukan sumpah li’an sebagai ganti dari 4 saksi bila suami melaporkan pasangannya telah selingkuh dan melakukan hubungan intim. Tanpa menyertai 4 saksi lantaran sulit menemukannya.

Baca Juga:

Di Balik Senyuman Orang Tua Anak Difabel: Melawan Stigma yang Tak Tampak

Peran Ibu dalam Kehidupan: Menilik Psikologi Sastra Di Balik Kontroversi Penyair Abu Nuwas

Taman Eden yang Diciptakan Baik Adanya: Relasi Setara antara Manusia dan Alam dalam Kitab Kejadian

Begal dan Geng Motor yang Kian Meresahkan

Tidak hanya itu, menurut penilaian ulama ayat itu juga tegas dalam memberlakukan aturan berikut mekanismenya. Yaitu suami bersumpah empat kali bahwa ia benar-benar jujur dalam laporannya.

Setelah bersumpah empat kali, lalu suami menambah satu sumpah lagi dengan menggunakan redaksi Laknat bahwa dirinya akan terkena laknat Allah bila laporannya tidak benar. Dengan demikian suami terbebas dari ancaman cambuk sebanyak 80 kali karena telah melaporkan istrinya tanpa menyertai 4 saksi (had qadf).

Sementara untuk istri, agar tidak mendapatkan sanksi zina karena laporan suaminya telah terbukti benar ia juga wajib melakukan sumpah li’an balik, sebagaimana suaminya melakukannya. Bedanya, untuk sumpah yang kelima istri wajib menggunakan redaksi Ghadab bahwa ia akan mendapat ghadab Allah bila ia berbohong.

Dari sini kita bisa menyimpulkan bahwa pensyariatan hukum sumpah li’an sebagai penangkal terhadap sanksi. Yaitu sanksi had qadf (cambuk 80 kali) untuk pelapor yang mengadukan pasangannya melakukan perselingkuhan dan sanksi zina (rajam/cambuk 100 kali+ menjalani pengasingan) bagi terlapor.

Terkait mekanismenya, semua ulama – sejauh bacaan saya yang sedikit – mengatakan bahwa aturan itu paten. Implikasinya, antara lain bila suami menggunakan redaksi Ghadab dan istri menggunakan redaksi Laknat maka sumpah li’annya tidak sah.

Ketika Suami Yang Selingkuh, Istri Harus Bagaimana

Pertanyaannya, bagaimana kalau suami yang selingkuh? Bisakah istri melaporkannya sebagaimana suami melaporkan perselingkuhan istrinya? Terus, apakah dalam sumpahnya istri menggunakan redaksi Ghadab sebagaimana suami melakukannya tatkala menjadi pelapor?

Tentu saja jawabannya bisa mengingat perselingkuhan yang terjadi tidak hanya dari pihak istri (sebagaimana menjadi sebab turunnya ayat di atas). Sebaliknya, tidak sedikit justru suami juga selingkuh. Sehingga istri bisa melakukan laporan terkait perselingkuhan pasangannya inilah hakikat perspektif mubadalah.

Adapun sumpah li’annya, istri menggunakan redaksi Laknat.  Kendatipun ayatnya secara zahir mengatakan suamilah yang harusnya menggunakan redaksi Laknat sebagaimana penegasan ayat Alqurannya.

وَٱلۡخَٰمِسَةُ أَنَّ لَعۡنَتَ ٱللَّهِ عَلَيۡهِ إِن كَانَ مِنَ ٱلۡكَٰذِبِينَ ٧

“Sumpah yang kelima sesungguhnya Laknat Allah atasnya (suami) jika ia berbohong”.

وَٱلۡخَٰمِسَةَ أَنَّ غَضَبَ ٱللَّهِ عَلَيۡهَآ إِن كَانَ مِنَ ٱلصَّٰدِقِينَ ٩ﵞ

“Sumpah yang kelima sesungguhnya Ghadab Allah menimpa atasnya (istri) jika suaminya benar (jujur)”.

Pembacaan Mubadalah tentang Ayat 6-9 Surah An-Nur

Sebab menurut perspektif Mubadalah, dalam ayat-ayat Alquran memberlakukan kepada semuanya, baik laki-laki maupun perempuan, tak terkecuali dalam surah An-Nur. Dalam konteks ayat li’an, yang menjadi titik tekan bukanlah jenis kelamin apakah laki-laki atau pun perempuan yang melakukan perselingkuhan. Tetapi memandang siapa pelapor dan siapa terlapor, siapa yang selingkuh dan siapa yang diselingkuhi.

Maka bila membaca dari perspektif Mubadalah, siapa pun yang melapor, termasuk bila istri yang melapor, yang sekaligus statusnya sebagai orang yang dikhianati pasangannya karena diselingkuhi maka sumpahnya menggunakan redaksi Laknat. Sebaliknya, siapa pun yang terlapor termasuk bila suami yang menjadi terlapor dan sekaligus orang yang selingkuh maka sumpah li’an nya menggunakan redaksi Ghadab.

Hal ini relevan dengan penjelasan ulama; mengapa Allah memilih redaksi Laknat bagi pelapor atau penuduh (orang yang diselingkuhi), dan redaksi Ghadab bagi terlapor atau tertuduh (orang yang selingkuh). Sebab redaksi Ghadab lebih berat dan lebih buruk ketimbang redaksi Laknat.

Yang mana selaras dengan penyandangan terhadap pelakunya. Karena orang yang menuduh (orang yang diselingkuhi) akan terkena dosa (sanksi) tuduhan zina kalau laporannya bohong atau tidak benar. Sehingga cukup menggunakan redaksi Laknat. Sementara orang yang terlapor (orang yang selingkuh) bila laporannya benar maka ia terkena dosa zina sekaligus dosa sumpah bohong sehingga menggunakan redaksi Ghadab.

Sayangnya, dalam kitab-kitab fikih yang lumrah menjadi rujukan hukum Islam, belum pernah saya temukan penjelasan ketika suami selingkuh dan bagaimana mekanisme istri melaporkannya. Seolah-olah perselingkuhan hanya istri yang melakukannya, tidak dengan suami.

Perselingkuhan dalam Hukum Positif yang Berlaku di Indonesia

Di Indonesia, kata teman saya yang kuliah jurusan hukum, rupanya memiliki aturan hukum terkait perselingkuhan berikut sanksi pidananya. Dalam KUHP memang tidak kenal secara khusus mengenai istilah perselingkuhan. Namun, bisa menggunakan istilah mukah/gendak/overspel sesuai dalam KUHP aturan tersebut menyebutkan bahwa pelaku selingkuh terancam pidana penjara paling lama sembilan bulan.

Tentu saja saya sangat mengapresiasi karena perselingkuhan merupakan perbuatan yang menodai hubungan suami istri yang sakral dengan kalimat-kalimat (hukum-hukum) Tuhan.

Walaupun mekanisme yang lebih teknis tidak sama persis dengan hukum Islam (fikih). Misalnya, dalam Fikih orang yang melaporkan pasangannya selingkuh harus melakukan sumpah li’an tatkala tak mampu mendatangkan 4 saksi. Dan terlapor sebagai orang yang selingkuh (zina) bisa saja mengelak dengan cara melakukan sumpah li’an juga.

Realitanya, saya masih belum menemukan informasi pembuktian perkara menggunakan sumpah (khususnya di Indonesia, entah di negara-negara yang mengklaim negara Islam) – sebagaimana Allah mengucapkannya dalam ayat-ayat Alquran, kitab yang suci itu, kitab yang katanya sesuai dengan segala zaman dan tempat itu.

Kendatipun bisa terbantahkan dengan wacana bahwa penyebutan Tuhan terkait pembuktian perkara melalui sumpah termasuk dalam sumpah lian hanyalah wasilah, bukan tujuan. Karena wasilah, maka tentu bukan satu-satunya sebagaimana Tuhan menyebutkan, melainkan Tuhan memasrahkan kepada hambanya sesuai zaman.

Terlepas dari itu, secara spirit ayat tentang perselingkuhan (sumpah lian) dan mekanisme pembuktian di pengadilan sedikit termanifestasi dalam KUHP. Yang mengatur hubungan keluarga bahkan pasutri bisa melaporkannya kepada pihak berwajib dengan delik aduan  mukah/gendak/overspel. []

Tags: istrikeluargaperkawinanperselingkuhanperspektif mubadalahRelasisuami
Moh Soleh Shofier

Moh Soleh Shofier

Dari Sampang Madura

Terkait Posts

Anak Difabel

Di Balik Senyuman Orang Tua Anak Difabel: Melawan Stigma yang Tak Tampak

1 Juli 2025
Peran Ibu

Peran Ibu dalam Kehidupan: Menilik Psikologi Sastra Di Balik Kontroversi Penyair Abu Nuwas

1 Juli 2025
Toxic Positivity

Melampaui Toxic Positivity, Merawat Diri dengan Realistis Ala Judith Herman

30 Juni 2025
Geng Motor

Begal dan Geng Motor yang Kian Meresahkan

29 Juni 2025
Keluarga Maslahah

Kiat-kiat Mewujudkan Keluarga Maslahah Menurut DR. Jamal Ma’mur Asmani

28 Juni 2025
Fiqh Al-Usrah

Fiqh Al-Usrah Menjembatani Teks Keislaman Klasik dan Realitas Kehidupan

28 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Anak Difabel

    Di Balik Senyuman Orang Tua Anak Difabel: Melawan Stigma yang Tak Tampak

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Meninjau Ulang Amar Ma’ruf, Nahi Munkar: Agar Tidak Jadi Alat Kekerasan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Gaji Pejabat vs Kesejahteraan Kaum Alit, Mana yang Lebih Penting?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Pergeseran Narasi Pernikahan di Kalangan Perempuan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mewujudkan Fikih yang Memanusiakan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Demianus si ‘Manusia Pembalut’ dan Perlawanan terhadap Tabu Menstruasi
  • Vasektomi, Gender, dan Otonomi Tubuh: Siapa yang Bertanggung Jawab atas Kelahiran?
  • Perceraian dalam Fikih: Sah untuk Laki-Laki, Berat untuk Perempuan
  • Gaji Pejabat vs Kesejahteraan Kaum Alit, Mana yang Lebih Penting?
  • Fikih yang Kerap Merugikan Perempuan

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID