Pluralisme ingin memperkenalkan kepada manusia akan adanya keanekaragaman, kegandaan budaya, pikiran, ideologi, ras, keyakinan, jenis kelamin biologis dan sosial, geografis, dan sebagainya.
Mubadalah.id – Manusia adalah ciptaan Tuhan paling istimewa dibanding ciptaan Tuhan yang lain. Hal yang membedakan manusia dari yang lain adalah “akal”. Dan Akal menurut sebuah hadits adalah “ciptaan Tuhan yang pertama”.
Dengan akalnya, manusia memang kemudian menjadi makhluk Tuhan yang berkehendak, dan oleh karena itu, dunia dan bumi manusia menjadi berkembang dinamis. Kehendak manusia telah melahirkan peradaban.
Namun, kehendak tidak selamanya melahirkan hal-hal positif bagi kehidupan. Hal ini terjadi ketika kehendak harus ia paksakan kepada orang lain.
Dalam banyak kasus, kehendak yang dipaksakan melahirkan konflik dan kekerasan. Kehendak untuk memaksakan pikiran, ideologi, agama, dan sebagainya oleh pelakunya (subjek) sering kali dianggap sebagai kebenaran.
Sementara, pikiran, ideologi, agama, keyakinan, budaya, persepsi, pandangan, dan perasaan “yang lain”/ “the other” (objek) tidak masuk dalam kesadaran subjek.
Sebaliknya, “yang lain” perlu mereka singkirkan, tolak, negasikan, acuhkan, atau ddiamkan dari ruang-ruang eksistensi sosial atau relasi sosial. Karena ia akan merugikan, mengacaukan, menyesatkan, atau membahayakan eksistensi dan keyakinan subjek.
Kata kunci untuk memecahkan persoalan kekerasan adalah “pluralisme”, keragaman realitas.
Pluralisme ingin memperkenalkan kepada manusia akan adanya keanekaragaman, kegandaan budaya, pikiran, ideologi, ras, keyakinan, jenis kelamin biologis dan sosial, geografis, dan sebagainya.
Pluralisme sesungguhnya adalah fakta dan realitas kehidupan manusia, bahkan kehidupan alam yang tak bisa kita tolak. Tuhanlah yang menciptakan keragaman dan keanekaan tersebut.
Akan tetapi, keanekaragaman seharusnya tidak hanya kita lihat sebagai sebuah fakta atau realitas kultural semata-mata.
Ia juga seharusnya tidak diberi label-label atau klasifikasi-klasifikasi yang dihadap-hadapkan secara dikotomis: kuat-lemah atau atas-bawah, kanan-kiri, positif-negatif, laki-laki-perempuan, dan dilanggengkan.
Identitas-identitas sosiokultural-politik-jenis kelamin, tidak pula ia ciptakan untuk memarginalkan dan mensubordinasi satu atas yang lain.
Pluralisme seharusnya kita beri makna yang lebih menukik ke dalam relung-relung nurani, sebagai proses menjadi “menunggal” dan menyatu dalam cinta. []