Mubadalah.id – Nama Valveeta Viban mendunia setelah melakukan aksi sosial untuk menangani kasus kekerasan seksual terhadap anak di Kamerun. Valveeta Viban adalah seorang pegiat gender yang juga pendiri Organisasi sosial I’m Human Organization. Organisasi yang Valveet insiasi ini memberikan pendidikan alternatif, dukungan psikososial untuk kelompok rentan.
Kamerun adalah salah satu negara rawan konflik yang berada di Benua Afrika. Konflik berbasis ras antara masyarakat berbahasa Inggris (anglophone) dengan masyarakat berbahasa Prancis (Francophone) banyak mengorbankan masyarakat sipil, anak, dan kelompok rentan lainnya. Belum lagi konflik antara militer dan para separatis yang menghancurkan layanan pendidikan, kesehatan, dan pelayanan publik di Kamerun.
Di tengah konflik yang mencekam tersebut, perempuan mengalami ketakutan dan trauma ganda. Bagaimana tidak, payudara perempuan Kamerun harus disetrika dengan batu panas saat memasuki usia dewasa. Melansir dari al-Jazeera, tradisi tersebut bertujuan untuk mengurangi kasus kekerasan seksual di Kamerun yang disebabkan oleh payudara perempuan sehingga mempengaruhi birahi laki-laki.
Lantas seperti apa praktik baik yang Valveeta Viban lakukan dalam menangani kasus kekerasan seksual terhadap anak dan perempuan di Kamerun?
Strategi Valveeta Viban dalam mengadvokasi kasus kekerasan seksual
Valveeta Viban menyatakan bahwa 50% kasus kekerasan seksual di Kamerun berupa perkosaan dan pelecehan. Di mana 30% korbannya adalah anak-anak di bawah umur. Tak tinggal diam, Valveeta Viban sebagai pemuda asli Kamerun melakukan beberapa tahapan dan cara untuk menanggulangi kasus kekerasan seksual terhadap anak yang selama ini ia lakukan.
Dalam melakukan advokasi, Valveeta Viban menggunakan pendekatan triple T. Think (pikirkan), Talk (bicara), Tackle (atasi).
Pertama, Think (pikir). Terbuka dengan segala kemungkinan dan mewaspadai potensi adanya kekerasan seksual di sekeliling kita dalam kehidupan sehari-hari. Valveeta Viban terbuka dengan pemikiran bahwa potensi kekerasan seksual di Kamerun sangat besar. Tidak hanya saat terjadi konflik, dalam keadaan damai sekalipun kekerasan seksual masih sangat mungkin terjadi.
Valveeta Viban mengaku menyaksikan langsung dengan mata kepala sendiri, bagaimana kekerasan terjadi di hampir semua layanan publik di Kamerun. Banyak anak-anak yang terpaksa harus putus sekolah karena dinikahkan. Perempuan pekerja juga terus berada di bayang-bayang ketakutan, karena memiliki lingkungan yang tidak aman. Penculikan, perkosaan, terjadi di hampir semua waktu dan tempat.
Di tengah perekonomian yang serba terhimpit, iming-iming untuk masuk ke kelompok separatis bersenjata juga terus mereka gaungkan. Dengan bergabung ke kelompok separatis, mereka merasa tuntutan ekonomi terpenuhi. Oleh karena itu, dalam keadaan damaipun, Valveeta Viban selalu waspada akan adanya potensi kekerasan seksual yang sangat mungkin terjadi di wilayah Kamerun.
Aksi Bersama Untuk Suarakan Tolak Kekerasan Seksual
Kedua, Talk (sampaikan). Penyintas kekerasan seksual memiliki beban yang sangat berat untuk menceritakan kejahatan yang ia alami. Hal ini lantaran stigma masyarakat yang masih meletakkan perempuan sebagai sumber terjadinya kekerasan seksual. Kekerasan seksual masih dianggap sebagai hal tabu dan tidak umum untuk ia sampaikan ke publik.
Atas dasar itulah, Valveeta Viban mendorong para pemuda di Kamerun untuk aktif menyuarakan penolakan terhadap segala bentuk kekerasan seksual. Ia juga secara aktif melakukan dialog dengan seluruh elemen masyarakat mengenai pentingnya menciptakan situasi damai. Sadar bahwa Kamerun merupakan masyarakat agamis, Valveeta Viban juga menggunakan pendekatan agama guna menggugah kesadaran masyarakat akan bahaya kekerasan seksual.
Valveeta Viban juga menggandeng kekuatan media untuk menyuarakan penolakan atas kekerasan seksual. Karena menyadari bahwa media adalah perantara paling efektik untuk membangkitkan kesadaran masyarakat. Melalui media pula, Valveeta Viban menyampaikan pentingnya keberanian para penyintas kekerasan seksual untuk bersuara, agar pelaku kekerasans eksual mendapatkan efek jera baik secara hukum maupun sosial.
Ketiga, Tackle (Memecahkan). Langkah terakhir yang Valveeta Viban lakukan adalah memecahkan permasalahan kekerasan seksual. Agar kekerasan seksual tidak terus menjamur, maka perlu kerjasama dari berbagai pihak untuk mengatasi kasus tersebut. Tentunya, langkah terakhir ini bisa terlaksana jika lembaga yang ikut terlibat dalam pencegahan kasus kekerasan seksual telah selesai dengan 2 T sebelumnya yaitu think dan talk.
Adapun contoh kerjasama kolaboratif yang Valveeta Viban lakukan dengan beberapa strategi, antara lain:
- Bekerjasama dengan lembaga pendidikan untuk menyusun kurikulum
pendidikan yang inklusif. Agar pemahaman mengenai apa itu kekerasan seksual bisa kita pahami semenjak di bangku sekolah
- Bekerjasama dengan lembaga keagamaan untuk mengedukasi pengikutnya tentang anjuran mengedepankan kemanusiaan dan menyadarkan bahwa kekerasan seksual adalah dosa besar yang harus kita hindari. Lembaga keamaan kita dorong untuk menjadi ruang aman bagi pemeluk agamanya. Terlebih, lembaga keagamaan juga ikut melibatkan anak-anak dalam kegiatan keagamaannya.
- Bekerjasama dengan media lokal dan internasional untuk memberikan pendidikan publik mengenai kekerasan seksual. Dan aktif memberikan kasus kekerasan seksual untuk memberikan efek jera bagi pelaku.
Peluang untuk Mereduksi 3 T di Indonesia
Perjuangan yang Valveeta Viban lakukan di Kamerun tentunya bukan kerja praktis yang bisa ia kerjakan dalam hitungan bulan. Melainkan sebuah kerja panjang dan membutuhkan sinergi dan kerjasama dengan berbagai pihak dan elemen untuk Kamerun yang lebih baik.
Meskipun secara budaya dan masyarakat kita berbeda dengan Kamerun, namun mereduksi apa yang Valveeta Viban lakukan, perlu kita lakukan untuk mewujudkan Indonesia yang nir kekerasan seksual. Indonesia butuh sosok Valveeta Viban yang lain untuk Indonesia yang lebih baik. Yang aktif bersuara dan terus mengedukasi masyakat tentang pentingnya memberantas kekerasan seksual.
Penyintas kekerasan seksual bukanlah aib yang harus kita kubur, justru mereka harus kita dorong untuk aktif menyuarakan kekerasan yang ia terima. Selama penyintas diam saja, dan pemerintah tidak berpihak pada penyintas maka selamanya pelaku kekerasan seksual akan melancarkan aksi bejatnya dimanapun dan kapanpun.