Mubadalah.id – Ketidakmampuan membedakan antara pernikahan, akad nikah, dan resepsi ternyata bukan hanya terjadi di masyarakat umum, tetapi juga di kalangan guru di sekolah.
Dalam beberapa praktik pembelajaran, ketika ada acara simulasi atau role play pernikahan, yang mereka tampilkan justru sebatas upacara penganten-pengantenan, wedding party. Padahal, jika yang dimaksud adalah praktik nikah, semestinya yang diajarkan lebih konkret dan dekat dengan realitas kehidupan rumah tangga.
Materi praktik seharusnya bisa menyentuh hal-hal mendasar yang pasti ada dalam kehidupan berumah tangga. Misalnya, bagaimana menghadapi malam pertama (seksologi) dengan sehat, aman, dan penuh kesalingan. Bukan dengan mitos atau tekanan yang justru melukai.
Atau, bagaimana mengelola konflik ketika terjadi pertengkaran, agar pasangan tidak larut dalam ego, tetapi mampu mencari jalan damai. Begitu pula tarik-menarik kuasa dalam rumah tangga, yang sering terjadi tanpa tersadari. Tujuannya supaya bisa teratasi dengan musyawarah, saling mendengarkan, dan pembagian peran secara adil.
Tidak kalah penting, praktik juga harus mengajarkan bagaimana mengurus bayi sejak dini—dari begadang bersama, memahami tangis anak, hingga memastikan gizi yang cukup.
Di sisi lain, peran seorang ayah sebagai “ayah ASI” mestinya kita kenalkan sejak awal, agar ia tidak hanya menjadi penonton. Akan tetapi ikut terlibat dalam proses menyusui, memberi dukungan fisik maupun emosional, atau mencukupi gizi ibu menyusui dengan memasakkan makanan bergizi untuknya.
Bahkan, tema tentang perceraian pun perlu kita praktikkan. Bukan untuk mendorong perpisahan, melainkan agar setiap orang siap menghadapi kemungkinan itu dengan dewasa, bermartabat, dan tanpa merugikan anak. Paling tidak, salah satu dari pengalaman-pengalaman nyata itu bisa menjadi bahan simulasi yang membuka mata.
Role Play Mengelola Keuangan Keluarga
Kalau masih kebingungan tentang tema apa lagi yang perlu kita angkat, guru bisa menghadirkan role play tentang bagaimana mengelola keuangan keluarga bersama-sama. Tujuannya agar pasangan tidak terjebak pada utang hanya demi gaya hidup atau gengsi.
Lalu, bagaimana membangun komunikasi yang sehat? Bukan sekadar berbicara tetapi juga mendengar dengan empati, sehingga kesalahpahaman bisa terminimalisir. Bisa juga memasukkan latihan berbagi kerja rumah tangga secara adil, supaya tidak ada beban ganda yang merugikan salah satu pihak—biasanya perempuan.
Aspek lain yang penting adalah bagaimana menjaga kesehatan mental dan fisik dalam rumah tangga. Termasuk cara saling mendukung ketika pasangan mengalami stres, kegagalan, atau sakit. Bahkan praktik tentang menjaga relasi dengan keluarga besar dan mertua juga penting, sebab konflik rumah tangga kerap muncul dari sana.
Dengan demikian, simulasi pernikahan tidak berhenti pada upacara seremonial. Tetapi benar-benar menyentuh realitas kehidupan sehari-hari yang jauh lebih menentukan keberlangsungan rumah tangga.
Ironisnya, yang sering ditampilkan dalam praktik hanyalah prosesi resepsi dengan adat-adat yang rumit, seolah-olah inti pernikahan hanyalah pesta dan seremonial semata. Hal ini menegaskan betapa kita seringkali lebih sibuk dengan upacara ketimbang kehidupan itu sendiri.
Seolah-olah sakralitas pernikahan direduksi menjadi dekorasi, make-up, dan hiburan sesaat. Sementara kerja-kerja rumah tangga yang jauh lebih kompleks justru terabaikan. Padahal, resepsi hanyalah kulit luarnya, sementara daging dan tulang dari pernikahan adalah perjuangan sehari-hari.
Bentuk Mistifikasi
Dalam filsafat, mistifikasi sering kita maknai sebagai kegagalan membedakan antara apa yang sedang terjadi dengan apa yang tengah dilihat. Fenomena praktik pernikahan yang hanya berhenti pada prosesi resepsi itu sebenarnya adalah bentuk mistifikasi.
Pernikahan dimistifikasi menjadi sekadar panggung, upacara simbolik, dan pesta penuh hiasan, sehingga orang terkecoh untuk percaya bahwa di situlah letak sakralitas dan kebahagiaan. Padahal, mistifikasi ini menutupi apa yang bakal sesungguhnya terjadi dalam pernikahan yang jauh lebih kompleks, melelahkan, menantang, dan sekaligus membahagiakan tentu saja.
Dengan mistifikasi, masyarakat terdorong untuk lebih mengutamakan citra ketimbang esensi. Lebih sibuk menyiapkan baju pengantin daripada menyiapkan mental menghadapi konflik.
Atau, lebih bangga pada dekorasi mewah daripada keterampilan komunikasi; lebih takut malu saat dandanan menor gagal daripada takut tak mampu membangun kehidupan bersama; lebih berani keluar modal besar untuk sewa tempat, daripada keluar modal untuk sekolah pernikahan, medical check-up, BI checking, atau marital agreement di hadapan notaris.
Lebih lanjut, generasi muda yang memainkan role play juga bisa tumbuh dengan bayangan kabur: bahwa menikah adalah pesta: bersenang-senang, bukan perjuangan; bahwa cinta itu cukup dirayakan, bukan dijalani; bahwa sakinah bisa difabrikasi dengan dekorasi indah, bukan dibangun dengan kesabaran dan kerjasama dua insan yang mengikat janji serta dukungan orang-orang sekitar. []