Mubadalah.id – Sangat disayangkan, ketika pembicaraan praktik poligami akhir-akhir ini luput dari penegasan terhadap pentingnya moralitas keadilan terhadap perempuan.
Poligami menjadi komoditas laki-laki, dilakukan kapan pun ia suka, dan ditinggalkan kapanpun ia berkehendak. Bahkan, lelaki merasa leluasa mempraktikkan poligami, sekalipun harus dengan membohongi istri, meninggalkan dan menyia-nyiakannya.
Legitimasi praktik poligami pun lebih banyak laki-laki tentukan sendiri hanya untuk kepentingannya. Misalnya ketika laki-laki hiperseks dan tidak bisa menahan diri misalnya, ketika istri tidak bisa melayani, istri mandul, istri sakit keras, atau bahkan suami berkeinginan tanpa alasan sekalipun.
Poligami yang bagi perempuan adalah derita lahir dan batin, seringkali divisualisasikan, laiknya makanan atau minuman yang bisa dibeli, dinikmati, dimamah, dijamah, ditertawakan, dibanggakan, bahkan dicampakkan sekalipun.
Tanpa ada perasaan simpatik sedikitpun terhadap perempuan. Perkawinan yang seperti ini sungguh menafikan nilai keadilan dan kebaikan yang al-Qur’an ajarkan.
Konsep kunci ‘keadilan‘ yang al-Qur’an nyatakan meniscayakan adanya perhatian dan simpati terhadap apa yang menimpa perempuan dalam kasus praktik poligami. Ia juga meniscayakan penyertaan perempuan sebagai subjek dalam pembicaraan poligami.
Karena ‘keadilan’ adalah perimbangan antara hak dan kewajiban, yang dalam perumusannya harus dengan menempatkan peyempuan dan laki-laki secara setara dan adil.
Perempuan Subjek Poligami
Dalam perkawinan poligami, seringkali perempuan hanya menjadi obyek kebutuhan dan keinginan laki-laki. Pengobjekan ini mengakibatkan keterpurukan, kezaliman dan kekerasan menimpa perempuan.
Memang di dalam kitab-kitab tafsir rujukan, kebanyakan ulama memaknai ayat an-Nisa itu dengan menempatkan perempuan sebagai obyek sasaran perkawinan poligami.
Tetapi di dalam kitab-kitab tersebut masih ada ungkapan yang memungkinkan pemaknaan dengan menempatkan perempuan sebagai subjek dalam perkawinan poligami.
Jika perempuan menjadi subjek, maka ia bisa mendefinisikan keadilan, keinginan, persetujuan dan kerelaan dalam perkawinan poligami. Ini berbeda sekali dengan terjemahan ayat dalam bahasa Indonesia atau tepatnya penggalan ayat yang hanya bisa kita pahami dengan menempatkan perempuan sebagai obyek. []