Mubadalah.id – Wacana terkait perpanjangan masa jabatan Presiden Republik Indoneia (RI) bukanlah fenomena baru. Tahun 2019 yang lalu, guru besar Hukum Tata Negara IPDN, Prof. Juanda mengusulkan masa jabatan Presiden menjadi delapan tahun dalam satu periode, seperti dilansir sindonews.com (01-12-2019). Selain itu, dilansir dari okezone.com (18-08-2010), juru bicara Partai Demokrat saat itu, Ruhut Sitompul, melontarkan usulan agar masa jabatan Presiden diperpanjang atau menjadi lebih dari dua periode.
Kemudian, dilansir dari kompas.com (23-11-2019), wacana perpanjangan masa jabatan Presiden RI juga sempat diusulkan oleh Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI, Hidayat Nur Wahid yang menyebutkan bahwa secara informal, ada anggota fraksi di MPR yang mengusulkan jabatan Presiden dapat kembali dipilih sebanyak tiga periode.
Lalu, dilansir dari tempo.co (19-06-2021), sejak awal juni tahun 2021, penasihat Jok-Pro 2024 sekaligus Direktur eksekutif lembaga survei Indo Barometer, M. Qodari memunculkan gagasan Jokowi tiga periode. Qodari optimis dengan diberlakukannya masa jabatan Presiden selama tiga periode dapat mengurangi dampak buruk dari polarisasi politik.
Tidak berhenti di situ, yang masih hangat dan menjadi perbincangan publik, khususnya di media sosial ialah Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marinves), Luhut Binsar Pandjaitan yang mengusulkan perpanjangan masa jabatan Presiden RI menjadi tiga periode, seperti dilansir kabar24.bisnis.com (13-03-2022).
Meskipun wacana perpanjangan masa jabatan Presiden menjadi tiga periode sudah ditolak oleh Presiden Jokowi secara langsung, akan tetapi isu ini terus menguat dan memanas di berbagai media, baik televisi, media online, media cetak, hingga media sosial yang kemudian menuai pro-kontra di kalangan masyarakat.
Sejarah Konstitusi Pengaturan Batasan Masa Jabatan Presiden yang Pernah Berlaku di Indonesia
Pada mulanya, ketentuan terkait masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden RI diatur dalam Pasal 7 UUD 1945. Menurut Q. Dina Latansa (2019), dalam jurnalnya yang berjudul: “Konstitusionalitas Batasan Masa Jabatan Presiden dan Wakil Presiden di Indonesia”, Pasal tentang masa jabatan Presiden sangat terbuka untuk dilakukan interpretasi sehingga ada peluang seorang Presiden dapat menjabat terus-menerus sebagaimana yang dilakukan Ir. Sukarno dan Soeharto.
Selain itu, Menurut Putera Astomo (2014), dalam bukunya yang berjudul: “Hukum Tata Negara – Teori dan Praktik”, ketentuan dalam Pasal 7 UUD 1945 juga pernah dilakuan penyimpangan secara terang- terangan. Pada tahun 1963, MPR Sementara RI melalui Ketetapan MPRS No. III/MPRS/1963 tentang Pengangkatan Pemimpin Besar Revolusi Indonesia menjadi Presiden Republik Indonesia Seumur Hidup dengan jelas menyatakan Ir. Sukarno menjadi Presiden RI seumur hidup.
Kemudian, pergantian konstitusi negara dari UUD 1945 menjadi Konstitusi Republik Indonesia Serikat (KRIS) tahun 1949 menimbulkan berbagai perbedaan, di antaranya ialah tidak adanya pengaturan masa jabatan Presiden. Hal tersebut dapat dipahami karena sistem pemerintahan yang dianut oleh Indonesia pada masa KRIS 1949 ialah sistem parlementer.
Selain itu, di masa KRIS 1949, Indonesia tidak menggunakan jabatan Wakil Presiden sebagai atribut federal negara. Hal itu kemudian diperkuat dengan ketentuan Pasal 72 ayat (1) KRIS 1949 yang memberikan kewenangan atributif terhadap Perdana Menteri dalam menjalankan pekerjaan pPresiden ketika sedang berhalangan menjalankan tugasnya.
Kemudian, dalam Undang-undang Dasar Sementara (UUDS) tahun 1950 juga tidak ditemukan pengaturan mengenai masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden. Bedanya, dalam UUDS 1950 dikenal kembali jabatan wakil presiden.
Menurut Darmini Roza (2021), dalam jurnalnya yang berjudul: “Prospek Amandemen Undang-undang Dasar Negara RI Tahun 1945 Terkait Masa Jabatan Presiden Perspektif Pada Pemilu 2024”, tidak adanya pengaturan masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden dalam UUDS 1950 disebabkan sistem pemerintahan yang dianut dalam UUDS 1950 masih sistem parlementer dengan menempatkan Presiden sebagai kepala negara yang tidak dapat diganggu gugat.
Kemudian pada tanggal 5 Juli 1959, UUD 1945 dinyatakan berlaku kembali. Sejak saat itu, kedudukan dan peranan Presiden RI dalam berbagai bidang kehidupan sangat dominan. Momentum kembali terpilihnya Soeharto untuk ketujuh kalinya pada tahun 1997 kala itu memicu demonstrasi besar-besaran dengan tuntutan reformasi dalam segala bidang, termasuk perubahan terhadap UUD 1945, khususnya terkait Pasal 7 tentang masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden.
Hingga dalam Rapat Paripurna Sidang Umum MPR ke-12 tanggal 19 Oktober 1999, rancangan rumusan Pasal 7 UUD 1945 disahkan sebagai bagian dari perubahan pertama. Hasil rapat tersebut di antaranya ialah mengatur kembali masa jabatan Presiden selama 5 tahun, dan dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan.
Propaganda Politik Media
Mencuatnya wacana masa jabatan Presiden 3 periode di berbagai media merupakan suatu propaganda politik. Meskipun masih dalam bentuk wacana, namun hal tersebut sudah banyak memunculkan berbagai tanggapan atau argumen dari para elite politik dan masyarakat di Indonesia, baik pro maupun kontra.
Meilan Suzity (2021), dalam skripsinya yang berjudul: “Propaganda Politik di Media Sosial Twitter – Wacana Kekuasaan Masa Jabatan Presiden 3 Periode”, menjelaskan bahwa setidaknya terdapat 5 metode yang digunakan dalam propaganda politik media terkait dengan wacana masa jabatan Presiden tiga periode.
Pertama, propaganda dan bahasa dalam wacana (glittering generalities). Dalam penggiringan opini di media, bahasa dan propaganda politik mempunyai hubungan erat. Supaya masyarakat percaya terhadap opini tersebut, yang dijadikan sebagai suatu komoditas oleh pelaku propaganda ialah ‘bahasa’. Diksi yang digunakan oleh pelaku propaganda ialah yang ada di dalam wacana kekuasaan masa jabatan Presiden 3 periode ini.
Kedua, propaganda politik dan label (name calling). Pemberian label terhadap suatu kelompok atau seseorang sangat penting di dalam propaganda. Pemberian label yang tidak baik digunakan oleh pelaku propaganda secara terus menerus agar publik percaya dengan label tersebut. Dalam propaganda politik di media terkait wacana masa jabatan Presiden 3 periode, para pelaku propaganda membuat diksi menarik supaya orang dapat menolak wacana tanpa menguji kebenarannya.
Ketiga, simbol dan propaganda (card stacking). Propaganda poltik yang terdapat di dalam wacana masa jabatan Presiden 3 periode ialah ketika MPR menegaskan bahwa wacana tersebut bukan dari pihaknya, tetapi dari persepsi masayarakat atau publik. Hal itu dilakukan untuk menggiring persepsi masyarakat supaya mereka dapat membangun sebuah kasus sehingga publik percaya dengan apa yang mereka sampaikan.
Keempat, kebenaran tujuan (transfer). Di dalam propaganda politik media terkait wacana masa jabataan Presiden 3 periode, terdapat beberapa kebenaran tujuan yang digunakan oleh pelaku propaganda. Di antaranya ialah partai-partai politik yang mereka gunakan. Melalui MPR yang menyatakan pernyataan seperti di atas, propaganda politik media dilakukan melalui idetifikasi maksud dengan lambang otoritas yang mengandung nilai yang dialihkan kepada masyarakat umum untuk menerimanya.
Kelima, otoritas (testimonial). Di dalam propaganda media biasanya pelaku propaganda menggunakan kalimat-kalimat menarik sehingga publik percaya dengan apa yang telah disampaikan. Dengan menyebarkan wacana atau menciptakan peristiwa tertentu dan menanamkannya secara sistematis, komunikator dalam propaganda wacana masa jabatan Presiden 3 periode ialah wakil dari organisasi yang berusaha melakukan pengontrolan terhadap masyarakat.
Potensi Mafsadat dalam Propaganda Politik Wacana Masa Jabatan Presiden RI 3 periode di Media
Islam hadir dalam upaya merealisasikan kemaslahatan manusia baik di dunia maupun di akhirat, serta berupaya menghilangkan segala macam kesulitan dan mafsadat. Menurut Fhaturrahman Djamil (2007), dalam bukunya yang berjudul: “Filsafat Hukum Islam”, menjelaskan bahwa tujuan syariat Islam itu sendiri ialah menjaga, melestarikan serta mempertahankan lima unsur/kebutuhan pokok (al-dharuriyat al-Khamsah) di antaranya:
Pemeliharaan terhadap agama (hifdz ad-dien). Propaganda politik wacana masa jabatan Presiden RI 3 periode di media akan berdampak negatif terhadap kehidupan beragama di tengah masyarakat, seperti munculnya konflik yang disebabkan fanatisme gerakan organisasi atau masyarakat berbasis agama.
Setiap kelompok agama berusaha untuk mendukung pendapat mereka dan menghina kelompok agama lain karena tidak sependapat. Hal tersebut tidak bisa dipungkiri mengingat isu agama sering kali dijadikan senjata dalam propaganda politik di Indonesia.
Pemeliharan terhadap jiwa (hifdz an-nafs). Propaganda politik wacana masa jabatan Presiden RI 3 periode di media telah memberikan dampak buruk terhadap keberlangsungan kehidupan masyarakat Indonesia. Pertikaian di media sosial mulai bermunculan dari pihak pro maupun kontra. Apabila tidak disikapi dengan serius oleh negara, pertikaian terkait pro-kontra mengenai wacana masa jabatan Presiden RI 3 periode di media sosial ini akan berlanjut ke pertikaian masyarakat fisik.
Pemeliharaan terhadap harta (hifdz al-maal). Propaganda politik wacana masa jabatan Presiden RI 3 periode di media dapat menyebabkan kerugian ekonomi dan materi. Perkonomian sangat sensitif dan rentan terhadap informasi media yang merupakan sinyal terkait bagaimana para pelaku ekonomi bertindak.
Pemeliharaan terhadap akal (hifdz al-aql). Propaganda politik wacana masa jabatan Presiden RI 3 periode di media berdampak buruk bagi kesehatan mental. Dilansir dari kompas.com (08-10-2019), para psikolog sepakat bahwa berita palsu, temasuk propaganda politik di media, dapat berdampak negatif pada kesehatan mental, seperti sindrom stres pasca trauma (PTSD) yang menyebabkan kecemasan, hingga kekerasan.
Pemeliharaan terhadap keturunan/generasi (hifdz an-nasl). Propaganda politik wacana masa jabatan Presiden RI 3 periode di media dapat berdampak buruk terhadap anak-anak dan remaja. Penyebaran propaganda politik di media tanpa filter memungkinkan anak dan remaja mengakses informasi yang kebenarannya tidak dapat dipertanggungjawabkan. Akibatnya, generassi muda akan mudah terjerumus ke dalam sikap intoleransi, bahkan kebencian terhadap pihak atau kelompok tertentu.
Dari penguraian singkat di atas, pemerintah diharapkan dapat berindak tegas terkait dengan fenomena propaganda politik di media terkait wacana masa jabatan Presiden RI 3 periode, atau wacana politik lain yang beredar di masyarakat, sehingga dapat meminimalisir kegaduhan serta keresahan yang terjadi, bukan malah menjadi pelaku propaganda.
Untuk itu, penulis bermaksud mengajak pembaca untuk lebih memilah dan memilih informasi yang dapat dipercaya serta dipertanggjawabkan kebenarannya, dan informasi yang bertujuan untuk menyesatkan dan memberikan keresahan di kalangan masyarakat. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam QS. Al-Hujurat ayat 6 yang artinya:
“Wahai orang-orang yang beriman, jika seseorang yang fasik datang kepadamu membawa suatu berita maka telitilah kebenarannya agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan) yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu.” []