Judul: Hidup itu Harus Pintar Ngegas dan Ngerem
Karya: Emha Ainun Nadjib
Jumlah Halaman: 230
Penerbit: Nourabooks
Tahun Terbit: Cetakan ke-4, Mei 2017
ISBN: 978-602-385-150-8
Mubadalah.id – Di tengah hidup yang serba cepat dan penuh tuntutan, kita kerap diajari untuk terus melaju. Produktif, ambisius, dan selalu siap mengejar target. Jarang ada ruang untuk bertanya: kapan terakhir kali kita berhenti sebentar?
Buku Hidup itu Harus Pintar Ngegas dan Ngerem karya Emha Ainun Nadjib atau yang akrab disapa Cak Nun hadir sebagai pengingat sederhana. Hidup, kata Cak Nun, tidak hanya soal seberapa kencang kita melaju, tetapi juga seberapa sadar kita mengendalikan arah.
Cak Nun menggunakan metafora yang sangat dekat dengan keseharian yaitu gas dan rem. Gas adalah ambisi, dorongan untuk maju, keinginan untuk mencapai sesuatu. Sementara rem adalah kesadaran atau kemampuan untuk berhenti, berpikir, dan menimbang. Dua hal ini tidak bisa dipisahkan, karena keduanya sama-sama penting dalam hidup kita.
Dalam buku ini, Cak Nun mengkritik kebiasaan banyak orang yang terlalu mudah “ngegas”. mIsalnya mudah mengikuti tren tanpa tahu akibatnya, mudah percaya pada berita di media sosial, padahal belum tentu benar, dan mudah memberi komentar negatif di media sosial. Ngegas tanpa rem membuat kita kehilangan kewarasan, mudah terbawa arus, dan jauh dari kesadaran diri.
Ibadah, Kesadaran, dan Etika Hidup
Gagasan ini juga dibawa Cak Nun ke dalam cara kita memaknai ibadah. Ia menolak ibadah yang dijalani sekadar sebagai rutinitas atau formalitas. Shalat, misalnya, bukan hanya soal menggugurkan kewajiban, melainkan ruang untuk melatih kesadaran.
Ruku dimaknai sebagai latihan merendahkan diri, sujud sebagai upaya meniadakan ego, dan tasyahud sebagai kesiapan menerima amanat. Ibadah, dalam pandangan Cak Nun, seharusnya membentuk cara kita bersikap di luar ritual, bukan berhenti di sajadah.
Perpsektif ini penting banget, sebab ada banyak orang yang masih berpikir bahwa dengan beribadah seperti shalat sudah cukup untuk dianggap beriman.
Padahal sebagaimana yang disampaikan oleh Cak Nun bahwa ibadah fisik harus diimbangi dengan perilaku baik yang lain, seperti tidak melakukan kekerasan pada yang lain dan tidak merendahkan serta melecehkan orang lain.
Melalui pendekatan ini, Cak Nun mengingatkan bahwa spiritualitas tidak terpisah dari kehidupan sehari-hari. Ia hadir dalam cara kita bekerja, berelasi, dan mengelola ambisi. Tanpa kesadaran ini, ibadah berisiko kehilangan maknanya.
Hidup Bukan Sprint, Melainkan Irama
Salah satu pesan kuat dalam buku ini adalah penolakan terhadap logika hidup yang serba ngebut. Cak Nun menegaskan bahwa hidup bukan sprint, melainkan irama. Setiap orang punya tempo dan kapasitas yang berbeda.
Kita boleh bermimpi besar, tetapi tetap harus jujur pada kemampuan diri hari ini. Berjalan pelan bukan kegagalan. Memilih berhenti sejenak bukan berarti kalah. Justru tau kapan berhenti, dan kapan maju adalah cara kita merawat diri agar tidak mudah jatuh.
Kesadaran ini sangat penting, terutama di tengah budaya kita yang selalu menuntut aktif dan harus terus bergerak. Menjaga jaga dari kebisingan, memilih dengan siapa kita berbagi energi, dan memberi ruang untuk diri sendiri adalah bentuk kesadaran, bukan kelemahan.
Pada akhirnya, hidup itu harus pintar ngegas dan ngerem karena hidup bukan hanya soal seberapa cepat kita sampai, tetapi bagaimana kita sampai. Kita boleh lari, tapi juga jangan lupa ambil jeda. Rem kesadaran itu adalah salah satu cara kita mencintai diri sendiri. []










































