Awal Oktober 2018, saya mengikuti acara diskusi buku yang mengupas karya-karya terbaru tentang Rumi di sentra book city, Tehran. Tampil menjadi salah seorang narasumber, Azam Naderi, penulis perempuan yang juga pemerhati karya Rumi. Dengan kritis ia menanggapi, buku-buku yang membahas Rumi lebih banyak menggunakan perspektif maskulin. Kehadiran para perempuan dalam lingkaran Rumi nyaris tak terdengar. Kalaupun ada, hanya sebatas pelengkap cerita, kiprahnya tak dihadirkan secara utuh.
Setahun kemudian, saya menemukan buku berjudul “Kehadiran Perempuan dalam Literatur Tasawuf” yang sedikit banyak menjawab kegelisahan di atas. Buku yang ditulis oleh Zahra Thahiri dari hasil disertasinya ini, salah satu karya yang dapat memberikan angin segar bagi para pengkaji masalah perempuan. Thahiri membagi risetnya ke dalam beberapa fase, dari permulaan Islam sampai abad ke 18, termasuk juga era tasawuf Rumi.
Banyak hal dari hasil penelitian Zahra Thahiri ini yang cukup mengejutkan, setidaknya jarang saya temui di buku-buku tentang Rumi. Menurut Thahiri, era Rumi, merupakan puncak keemasaan kehadiran perempuan dalam tarikat sufi. Penelitian itu juga menjelaskan, Rumi memiliki murid perempuan yang cukup banyak. Mereka tidak hanya dapat mencapai makam khalifah (wakil dari seorang mursyid), tapi juga bisa menjadi mursyid dan mendirikan khanqah.
Dalam relasi keluarga, Rumi menempatkan istrinya sebagai mitra, baik dalam kehidupan rumah tangga maupun pencapaian spiritualitas. Begitu juga, ia selalu berpesan kepada para putra dan murid-muridnya untuk menghormati dan memperlakukan istri mereka dengan baik. Rumi sendiri sampai akhir hayatnya mempraktikan perkawinan monogami. Ia baru menikah lagi setelah istri pertamanya meninggal dunia.
Fakta-fakta sejarah yang merupakan ‘behind the scenes’ pandangan Rumi tentang perempuan ini, dapat menjadi amunisi dalam menafsirkan kembali teks-teks puisi Rumi terkait dengan prinsip kesalingan. Prinsip yang saat ini sangat dibutuhkan sebagai pilar utama keluarga. Sebagaimana disampaikan Faqih Abdul Qodir (Qiraah Mubadalah:58), bahwa mubadalah sebagai sebuah perspektif, bukanlah hal baru. Tetapi, ia baru dalam terminologi, penegasan sumber, serta penggunaannya secara aplikatif pada kondisi sosial sekarang.
Berangkat dari sinilah, tampaknya menarik untuk mengkaji kembali berbagai teks puisi Rumi dalam kerangka mubadalah atau kesalingan. Sehingga puisi Rumi tak hanya menjadi quote pemanis belaka, tapi dapat menyentuh langsung persoalan kamanusiaan. Dari berbagai karya Rumi, kitab Matsnawi Maknawi, memiliki posisi penting dalam menyumbangkan berbagai gagasan terkait isu-isu kontemporer. Tulisan kali ini pun, akan memokuskan puisi-puisi Rumi dalam kitab Matsnawi Maknawi yang mengusung tema perempuan.
Salah satu puisi Rumi yang secara eksplisit menggambarkan relasi kesalingan adalah puisi tentang penciptaan. Menurut Rumi, alam ini diciptakan berawal dari cinta. Seluruh makhluk diciptakan secara berpasang-pasangan dan pasangan itu saling mencinta. Dengan menghadirkan teks puisi dalam bahasa asli, kita akan melihat langsung diksi yang digunakan Rumi dalam menggambarkan relasi kesalingan ini.
حکمت حق در قضا و درقدر
Hikmat Tuhan dalam qada dan qadarnya
کرد ما را عاشقان همدگر
Ia jadikan kita para pecinta satu sama lainnya
جمله اجزای جهان زان حکم پیش
Seluruh bagian alam tercipta karena ketetapannya
جفت جفت و عاشقان جفت خویش
Berpasangan dan menjadi para pecinta pasangannya
آسمان گوید زمین را مرحبا
Seperti langit yang berkata pada bumi
با توم چون آهن و آهنربا
Engkau dan aku ibarat magnet dan besi
آسمان مرد و زمین زن در خرد
Jika langit adalah lelaki maka bumi sebagai perempuan
هرچه آن انداخت این میپرورد
Setiap butir biji yang jatuh, bumi akan memeluk dan merawatnya
(Rumi, Matsnawi jilid 3, bait 4400-4404)
Kata kunci yang menunjukkan relasi kesalingan dalam puisi di atas dapat dilihat pada baris kedua dan keempat. Kalimat عاشقان همدگر (ashighan hamdigar) yang secara harfiah bermakna para pecinta satu sama lainnya, dan kalimat عاشقان جفت خویش (ashighan juft-e hish) yang berarti para pecinta pasangannya. Dengan hanya melihat arti leksikal saja, kita sudah dapat manangkap makna kesalingan dalam puisi di atas. Apalagi jika disandingkan dengan kata sebelumnya, semakin jelas memiliki makna saling mencintai.
Dua baris terakhir puisi Rumi menunjukkan metafora hubungan kesalingan itu. Ketika Rumi menggambarkan langit sebagai laki-laki dan bumi sebagai perempuan, tentu bukan sedang menggambarkan keterjarakan atau dominasi langit terhadap bumi.
Tetapi, hubungan kasalingtergantungan antara unsur-unsur di langit dan bumi. Jika langit telah berjasa menurunkan hujan, maka bumi bersiap menumbuhkan tunas. Tanpa salah satu dari keduanya, tak akan ada kehidupan. Dari sinilah, kita bisa memahami pandangan Rumi bahwa relasi kesalingan merupakan fitrah yang perlu terus dirawat.
Dalam puisi lainnya, Rumi mempertegas relasi kesalingan yang membutuhkan laku proaktif dari kedua belah pihak. Ia menyebutkan, perempuan tidak hanya tempat para lelaki menambatkan cinta atau dalam diksi Rumi disebut معشوق, tetapi perempuan juga berhak mencinta. Di sini, Rumi menempatkan perempuan sebagai subyek yang aktif dan setara, bukan sebagai obyek dari tindakan laki-laki.
پر توحق است آن، معشوق نیست
خالق است آن، گوئیا مخلوق نیست
Perempuan adalah pantulan cahaya Ilahi, bukan hanya yang dicintai
Tidak, konon dia bukan makluk biasa, dia bahkan mencipta
(Matsnawi Rumi, jilid 1, bait 2437)
Para pengkaji Rumi menyebutkan, inilah puisi yang menggambarkan puncak tertinggi penghormatan Rumi kepada perempuan. Meski diksi-diksi yang digunakan Rumi terkesan hiperbolis, seperti diksi الخالق namun tentu Rumi tak bermaksud membuat sekutu Tuhan. Rumi hanya sedang melihat begitu pentingnya posisi perempuan dalam semesta, yaitu menjadi perantara kehadiran manusia-manusia baru.
Di ranah tasawuf, diksi الخالق ini sering digunakan sebagai metafora untuk memahami sifat penciptaan Tuhan. Para sufi sering menyebutkan, kekuatan penciptaan Tuhan sebagaimana kekuatan melahirkan seorang perempuan. Tuhan adalah Ibu yang mengabulkan seluruh permintaan ‘anak-anak’ yang diciptakannya.
Dalam tafsiran yang lebih luas, diksi الخالق dapat dimaknai sebagai fungsi reproduksi yang melekat pada perempuan. Tidak hanya perempuan, para lelaki juga perlu memahami fungsi reproduksi ini secara benar. Sehingga tidak dijadikan alasan untuk melemahkan satu sama lain. Sebaliknya, para lelaki akan menjadi mitra sejati di saat perempuan dalam posisi hamil, melahirkan, serta menyusui.
Masih banyak puisi-puisi Rumi lainnya yang menjelaskan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, sebagai modal dasar terjalinnya relasi kesalingan. Misalnya, dalam Matsnawi, jilid 1, bait 1785-1786 dan bait 1975-1976, Rumi menegaskan, yang esensi dari manusia adalah ruhnya. Sementara ruh tidak mengenal jenis kelamin. Maka, laki-laki dan perempuan, sama-sama dapat sejajar menuju puncak spiritualitas.
Sejalan dengan fakta sejarah yang menyebutkan hubungan kemitraan yang dibangun Rumi dan keluarganya, puisi-puisi Rumi juga ternyata syarat dengan pesan yang menjelaskan pentingnya relasi kesalingan. Melalui beragam diksi, Rumi sang penyair cinta, menitipkan kita untuk membangun relasi dengan siapapun atas dasar cinta, apalagi dengan pasangan hidup yang sudah sama-sama ikrar janji untuk bersama. []