Mubadalah.id – Badal haji adalah mengganti haji orang lain. Dalam fiqh, ada pembahasan mengenai seseorang yang terkena kewajiban haji, tetapi karena sesuatu dan lain hal belum melaksanakan sepanjang hidupnya, lalu orang lain, setelah dia wafat, melakukan ibadah haji untuknya. Para ulama membahas hal ini dengan sebutan badal haji. Atau, fiqh kontemporer menyebut istilah lain: al-hajj ‘an al-ghair, beribadah haji untuk orang lain.
Ibadah haji sendiri merupakan rukun Islam yang kelima. Ibadah haji berupa pergi berziarah ke Mekkah pada tanggal tertentu di bulan Dzulhijjah dan melakukan kegiatan tertentu, terutama wuquf (berdiam diri) di Arafah, mabit (bermalam) di Mina, melempar jumrah, thawaf (mengelilingi) Ka’bah, sa’i (berlari-lari kecil) antara Shafa dan Marwa, dan tahallul (mencukur rambut).
Tahukan kita, bahwa sejarah badal haji bermula dari perempuan?
Sejarah Badal Haji
Jika merujuk pada teks-teks hadits, ternyata, sejarah badal haji ini bermula dari perempuan. Ada banyak riwayat dalam hal ini. Setidaknya ada dua kelompok riwayat, pertama mengenai seorang perempuan dari Kabilah Khats’am yang bercerita dan bertanya kepada Nabi Saw tentang ayahnya yang tidak bisa berangkat haji karena sudah sepuh.
Kedua, riwayat-riwayat tentang perempuan dari Kabilah Juhainah yang bertanya kepada Nabi Saw tentang ibunya yang sudah wafat, semasa hidupnya bernadzar (janji) untuk haji tetapi belum sempat melaksanakan.
Kelompok teks pertama ada banyak versi dan riwayat. Di antaranya adalah salah satu versi dari banyak riwayat dalam Sahih Bukhari, di bawah ini:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رضى الله عنهما قَالَ جَاءَتِ امْرَأَةٌ مِنْ خَثْعَمَ عَامَ حَجَّةِ الْوَدَاعِ قَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ فَرِيضَةَ اللَّهِ عَلَى عِبَادِهِ فِى الْحَجِّ أَدْرَكَتْ أَبِى شَيْخًا كَبِيرًا لاَ يَسْتَطِيعُ أَنْ يَسْتَوِىَ عَلَى الرَّاحِلَةِ فَهَلْ يَقْضِى عَنْهُ أَنْ أَحُجَّ عَنْهُ قَالَ نَعَمْ (صحيح البخاري، رقم: 1885).
Dari Ibn Abbas ra, bercerita: bahwa ada seorang perempuan dari Kabilah Khats’am datang (menemui Nabi Saw) pada saat haji wada’, dan bertanya: “Wahai Rasul, Allah telah menetapkan kewajiban haji kepada seluruh hamba-hamba-Nya, ayah saya juga terkena (kewajiban ini), tetapi ia sudah sepuh dan tidak mampu lagi untuk menaiki binatang kendaraan. Apakah saya boleh melakukan ibadah haji untuknya?”. Lalu Nabi Saw menjawab: “Ya, boleh”. (Sahih Bukhari, no. 1885).
Kelompok teks yang kedua, juga tentang perempuan, juga ada berbagari versi. Salah satunya adalah riwayat Imam Bukhari berikut ini:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رضى الله عنهما أَنَّ امْرَأَةً مِنْ جُهَيْنَةَ جَاءَتْ إِلَى النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَتْ إِنَّ أُمِّى نَذَرَتْ أَنْ تَحُجَّ فَلَمْ تَحُجَّ حَتَّى مَاتَتْ أَفَأَحُجُّ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ حُجِّى عَنْهَا أَرَأَيْتِ لَوْ كَانَ عَلَى أُمِّكِ دَيْنٌ أَكُنْتِ قَاضِيَةً اقْضُوا اللَّهَ فَاللَّهُ أَحَقُّ بِالْوَفَاءِ (صحيح البخاري، رقم: 1883).
Dari Ibn Abbas ra, bahwa ada seorang perempuan yang datang menemui Nabi Saw, (seraya) bertanya: “Ibuku telah bernadzar (sumpah janji) untuk berangkat ibadah haji, tetapi sampai wafatnya belum sempat menunaikan hajinya. Apakah saya boleh melakukan ibadah haji untukny?”
Lalu Nabi Saw menjawab: “Ya, lakukanlah haji untuknya. Bukankah jika ibumu memiliki hutang, kamu akan melunasinya? Lunasi hutangnya kepada Allah, karena (hutang) Allah lebih berhak untuk dilunasi”. (Sahih Bukhari, no. 1883).
Perempuan pada Masa Nabi
Dari dua teks ini, dan masih lagi riwayat dan versi di berbagai kitab hadits, menjadi jelas bahwa sejarah badal haji bermula dari perempuan. Betapa pentingnya posisi perempuan pada masa Nabi Saw. Saat itu, perempuan memiliki akses yang cukup dan bahkan keberanian yang kuat untuk bertandang kepada Nabi Saw, belajar dan bertanya tentang ilmu pengetahuan. Masih banyak lagi isu-isu lain, yang perempuan tanyakan, lalu kemudian menjadi ibadah atau syi’ar dalam Islam.
Adalah menjadi aneh, jika di masa-masa berikutanya, termasuk masa sekarang, ada beberapa yang mengaku ikut Nabi Saw, tetapi melarang para perempuan belajar untuk memperkuat pengetahuan mereka.
Ada yang mengajukan alasan fitnah, ada yang dengan alasan tanpa izin suami, atau alasan-alasan lain yang tidak berdasar sama sekali. Ilmu-ilmu pengetahuan, sebagaimana pada masa Nabi Saw, tidak akan berkembang utuh dan penuh tanpa keterlibatan para perempuan.
Hukum Badal Haji
Ada dua pandangan utama ulama fiqh mengenai badal haji. Pertama, pandangan mayoritas ulama yang memandang badal haji termasuk syari’at. Hukumnya wajib bagi ahli warisnya dari harta yang dimiliki seseorang yang meninggal dunia, tetapi belum melakukan ibadah haji, padahal secara fisik dan ekonomi mampu. Pandangan ini mendasarkan pada teks-teks hadits di atas.
Kedua, pandangan Mazhab Maliki yang justru melarang badal haji, dengan alasan prinsip awal bahwa ibadah-ibadah fisik tidak bisa digantikan orang lain. Sama seperti shalat dan puasa, begitupun haji, tidak boleh digantikan orang lain.
Jika ada orang yang sudah mampu untuk haji, atau bernadzar untuk haji, lalu wafat dan belum melakukan ibadah tersebut, maka cukup sedekah sebagai penggantinya saja kepada orang-orang miskin. Bukan dengan mengongkosi orang lain, keluarga maupun bukan, untuk berhaji menggantikan dirinya.
Kelompok pertama, yang mayoritas ulama, menjawab kelompk kedua: bahwa ibadah haji tidak hanya fisik, sebagaimana shalat dan puasa, melainkan juga harta, atau ongkos. Jika secara fisik dan ekonomi mampu, maka dia sendiri yang berkewajiban haji. Jika tidak mampu secara fisik maupun ekonomi, maka dia sama sekali tidak wajib haji.
Namun, jika seseorang secara fisik tidak mampu, tetapi secara ekonomi mampu, dia bisa meminta orang lain untuk melakukan ibadah haji untuk dirinya. Dalam hal ini, ibadah haji mirip dengan zakat, yaitu ibadah ekonomi. Jika seseorang mampu secara ekonomi untuk berzakat, dia bisa saja meminta orang lain untuk menyerahkan zakatnya kepada orang-orang miskin.
Syarat Badal Haji
Seseorang yang berhak atas badal haji adalah yang sudah terkena kewajiban haji, yaitu memiliki kemampuan secara fisik dan ekonomi, namun belum sempat melakukannya. Jika dia masih hidup, tetapi kemudian sakit keras yang sepertinya tidak akan sembuh, atau secara usia sudah tidak lagi memungkinkan, maka badal haji hanya boleh jika dia memerintahkan saja. Jika dia tidak mengizinkan, maka tidak boleh melakukan badal haji. Ini pandangan semua ulama fiqh.
Tetapi jika yang sudah mampu dan belum haji itu kemudian wafat, maka badal haji itu boleh jika ada wasiat darinya. Ini pandangan Mazhab Hanafi. Namun, bagi Mazhab Syafi’i dan Hanbali, wasiat ini tidak menjadi syarat. Badal haji tetap wajib dilakukan dari hartanya, sekalipun tidak ada wasiat dari yang wafat tersebut.
Sementara, yang boleh melakukan badal harus orang yang sudah pernah beribadah haji. Ini pandangan Mazhab Syafi’i dan Hanbali. Sementara Mazhab Hanafi tidak memandangnya sebagai syarat. Jadi, yang belum haji sekalipun, boleh melakukan badal haji bagi orang lain, selama dia mampu dan dianggap sah melakukannya.
Badal Haji dalam Kerangka Maqashid Syari’ah
Saat ini, jumlah pendaftar haji dari Indonesia sudah melebihi angka 5 juta orang. Jika jatah Indonesia, yang biasanya sekitar 200.000 orang per-tahun, maka perlu waktu 25 tahun untuk memberangkat jumlah tersebut. Padahal, jumlah yang mendaftar juga terus begerak.
Belum lagi, sekarang pandemi Covid-19 menerpa, sehingga kuota haji juga berkurang separohnya. Maka jika mendaftar sekarang bisa jadi pemberangkatannya setelah 50 tahun lagi. Bahkan, dalam sebuah simulasi, ada yang baru bisa berangkat setelah 90 tahun. Sesuatu yang tidak mungkin jika merujuk pada usia rata-rata orang Indonesia.
Jika terus ditambah dengan kewajiban-kewajiban badal haji, bisa kita bayangkan berapa panjang lagi antrian ini. Untuk itu, dengan mempertimbangkan tujuan kemaslahatan kerangka Maqashid Syari’ah menegaskan, mungkin kita perlu meninjau ulang hukum fiqh mengenai badal haji ini. Pandangan Mazhab Maliki yang mengganti badal haji dengan sedekah kepada orang-orang miskin bisa jadi lebih maslahat dan memenuhi kebutuhan umat. Wallahu a’lam. []