• Login
  • Register
Minggu, 15 Juni 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Featured

Sejarah Badal Haji Bermula dari Perempuan

Betapa pentingnya posisi perempuan pada masa Nabi Saw. Saat itu, perempuan memiliki akses yang cukup dan bahkan keberanian yang kuat untuk bertandang kepada Nabi Saw, belajar dan bertanya tentang ilmu pengetahuan

Faqih Abdul Kodir Faqih Abdul Kodir
18/06/2022
in Featured, Hukum Syariat
0
Badal Haji

Badal Haji

1.2k
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Badal haji adalah mengganti haji orang lain. Dalam fiqh, ada pembahasan mengenai seseorang yang terkena kewajiban haji, tetapi karena sesuatu dan lain hal belum melaksanakan sepanjang hidupnya, lalu orang lain, setelah dia wafat, melakukan ibadah haji untuknya. Para ulama membahas hal ini dengan sebutan badal haji. Atau, fiqh kontemporer menyebut istilah lain: al-hajj ‘an al-ghair, beribadah haji untuk orang lain.

Ibadah haji sendiri merupakan rukun Islam yang kelima. Ibadah haji berupa pergi berziarah ke Mekkah pada tanggal tertentu di bulan Dzulhijjah dan melakukan kegiatan tertentu, terutama wuquf (berdiam diri) di Arafah, mabit (bermalam) di Mina, melempar jumrah, thawaf (mengelilingi) Ka’bah, sa’i (berlari-lari kecil) antara Shafa dan Marwa, dan tahallul (mencukur rambut).

Tahukan kita, bahwa sejarah badal haji bermula dari perempuan?

Sejarah Badal Haji

Jika merujuk pada teks-teks hadits, ternyata, sejarah badal haji ini bermula dari perempuan. Ada banyak riwayat dalam hal ini. Setidaknya ada dua kelompok riwayat, pertama mengenai seorang perempuan dari Kabilah Khats’am yang bercerita dan bertanya kepada Nabi Saw tentang ayahnya yang tidak bisa berangkat haji karena sudah sepuh.

Kedua, riwayat-riwayat tentang perempuan dari Kabilah Juhainah yang bertanya kepada Nabi Saw tentang ibunya yang sudah wafat, semasa hidupnya bernadzar (janji) untuk haji tetapi belum sempat melaksanakan.

Baca Juga:

Merawat Semangat Haji Sepanjang Hayat: Transformasi Spiritual yang Berkelanjutan

Makna Wuquf di Arafah

Esensi Ibadah Haji: Transformasi Diri Menjadi Pribadi yang Lebih Baik

4 Strategi Wujudkan Haji Ramah Lansia

Kelompok teks pertama ada banyak versi dan riwayat. Di antaranya adalah salah satu versi dari banyak riwayat dalam Sahih Bukhari, di bawah ini:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رضى الله عنهما قَالَ جَاءَتِ امْرَأَةٌ مِنْ خَثْعَمَ عَامَ حَجَّةِ الْوَدَاعِ قَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ فَرِيضَةَ اللَّهِ عَلَى عِبَادِهِ فِى الْحَجِّ أَدْرَكَتْ أَبِى شَيْخًا كَبِيرًا لاَ يَسْتَطِيعُ أَنْ يَسْتَوِىَ عَلَى الرَّاحِلَةِ فَهَلْ يَقْضِى عَنْهُ أَنْ أَحُجَّ عَنْهُ قَالَ نَعَمْ (صحيح البخاري، رقم: 1885).

Dari Ibn Abbas ra, bercerita: bahwa ada seorang perempuan dari Kabilah Khats’am datang (menemui Nabi Saw) pada saat haji wada’, dan bertanya: “Wahai Rasul, Allah telah menetapkan kewajiban haji kepada seluruh hamba-hamba-Nya, ayah saya juga terkena (kewajiban ini), tetapi ia sudah sepuh dan tidak mampu lagi untuk menaiki binatang kendaraan. Apakah saya boleh melakukan ibadah haji untuknya?”. Lalu Nabi Saw menjawab: “Ya, boleh”. (Sahih Bukhari, no. 1885).

Kelompok teks yang kedua, juga tentang perempuan, juga ada berbagari versi. Salah satunya adalah riwayat Imam Bukhari berikut ini:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رضى الله عنهما أَنَّ امْرَأَةً مِنْ جُهَيْنَةَ جَاءَتْ إِلَى النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَتْ إِنَّ أُمِّى نَذَرَتْ أَنْ تَحُجَّ فَلَمْ تَحُجَّ حَتَّى مَاتَتْ أَفَأَحُجُّ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ حُجِّى عَنْهَا أَرَأَيْتِ لَوْ كَانَ عَلَى أُمِّكِ دَيْنٌ أَكُنْتِ قَاضِيَةً اقْضُوا اللَّهَ فَاللَّهُ أَحَقُّ بِالْوَفَاءِ (صحيح البخاري، رقم: 1883).

Dari Ibn Abbas ra, bahwa ada seorang perempuan yang datang menemui Nabi Saw, (seraya) bertanya: “Ibuku telah bernadzar (sumpah janji) untuk berangkat ibadah haji, tetapi sampai wafatnya belum sempat menunaikan hajinya. Apakah saya boleh melakukan ibadah haji untukny?”

Lalu Nabi Saw menjawab: “Ya, lakukanlah haji untuknya. Bukankah jika ibumu memiliki hutang, kamu akan melunasinya? Lunasi hutangnya kepada Allah, karena (hutang) Allah lebih berhak untuk dilunasi”. (Sahih Bukhari, no. 1883).

Perempuan pada Masa Nabi

Dari dua teks ini, dan masih lagi riwayat dan versi di berbagai kitab hadits, menjadi jelas bahwa sejarah badal haji bermula dari perempuan. Betapa pentingnya posisi perempuan pada masa Nabi Saw. Saat itu, perempuan memiliki akses yang cukup dan bahkan keberanian yang kuat untuk bertandang kepada Nabi Saw, belajar dan bertanya tentang ilmu pengetahuan. Masih banyak lagi isu-isu lain, yang perempuan tanyakan, lalu kemudian menjadi ibadah atau syi’ar dalam Islam.

Adalah menjadi aneh, jika di masa-masa berikutanya, termasuk masa sekarang, ada beberapa yang mengaku ikut Nabi Saw, tetapi melarang para perempuan belajar untuk memperkuat pengetahuan mereka.

Ada yang mengajukan alasan fitnah, ada yang dengan alasan tanpa izin suami, atau alasan-alasan lain yang tidak berdasar sama sekali. Ilmu-ilmu pengetahuan, sebagaimana pada masa Nabi Saw, tidak akan berkembang utuh dan penuh tanpa keterlibatan para perempuan.

Hukum Badal Haji

Ada dua pandangan utama ulama fiqh mengenai badal haji. Pertama, pandangan mayoritas ulama yang memandang badal haji termasuk syari’at. Hukumnya wajib bagi ahli warisnya dari harta yang dimiliki seseorang yang meninggal dunia, tetapi belum melakukan ibadah haji, padahal secara fisik dan ekonomi mampu. Pandangan ini mendasarkan pada teks-teks hadits di atas.

Kedua, pandangan Mazhab Maliki yang justru melarang badal haji, dengan alasan prinsip awal bahwa ibadah-ibadah fisik tidak bisa digantikan orang lain. Sama seperti shalat dan puasa, begitupun haji, tidak boleh digantikan orang lain.

Jika ada orang yang sudah mampu untuk haji, atau bernadzar untuk haji, lalu wafat dan belum melakukan ibadah tersebut, maka cukup sedekah sebagai penggantinya saja kepada orang-orang miskin. Bukan dengan mengongkosi orang lain, keluarga maupun bukan, untuk berhaji menggantikan dirinya.

Kelompok pertama, yang mayoritas ulama, menjawab kelompk kedua: bahwa ibadah haji tidak hanya fisik, sebagaimana shalat dan puasa, melainkan juga harta, atau ongkos. Jika secara fisik dan ekonomi mampu, maka dia sendiri yang  berkewajiban haji. Jika tidak mampu secara fisik maupun ekonomi, maka dia sama sekali tidak wajib haji.

Namun, jika seseorang secara fisik tidak mampu, tetapi secara ekonomi mampu, dia bisa meminta orang lain untuk melakukan ibadah haji untuk dirinya. Dalam hal ini, ibadah haji mirip dengan zakat, yaitu ibadah ekonomi. Jika seseorang mampu secara ekonomi untuk berzakat, dia bisa saja meminta orang lain untuk menyerahkan zakatnya kepada orang-orang miskin.

Syarat Badal Haji

Seseorang yang berhak atas badal haji adalah yang sudah terkena kewajiban haji, yaitu memiliki kemampuan secara fisik dan ekonomi, namun belum sempat melakukannya. Jika dia masih hidup, tetapi kemudian sakit keras yang sepertinya tidak akan sembuh, atau secara usia sudah tidak lagi memungkinkan, maka badal haji hanya boleh jika dia memerintahkan saja. Jika dia tidak mengizinkan, maka tidak boleh melakukan badal haji. Ini pandangan semua ulama fiqh.

Tetapi jika yang sudah mampu dan belum haji itu kemudian wafat, maka badal haji itu boleh jika ada wasiat darinya. Ini pandangan Mazhab Hanafi. Namun, bagi Mazhab Syafi’i dan Hanbali, wasiat ini tidak menjadi syarat. Badal haji tetap wajib dilakukan dari hartanya, sekalipun tidak ada wasiat dari yang wafat tersebut.

Sementara, yang boleh melakukan badal harus orang yang sudah pernah beribadah haji. Ini pandangan Mazhab Syafi’i dan Hanbali. Sementara Mazhab Hanafi tidak memandangnya sebagai syarat. Jadi, yang belum haji sekalipun, boleh melakukan badal haji bagi orang lain, selama dia mampu dan dianggap sah melakukannya.

Badal Haji dalam Kerangka Maqashid Syari’ah

Saat ini, jumlah pendaftar haji dari Indonesia sudah melebihi angka 5 juta orang. Jika jatah Indonesia, yang biasanya sekitar 200.000 orang per-tahun, maka perlu waktu 25 tahun untuk memberangkat jumlah tersebut. Padahal, jumlah yang mendaftar juga terus begerak.

Belum lagi, sekarang pandemi Covid-19 menerpa, sehingga kuota haji juga berkurang separohnya. Maka jika mendaftar sekarang bisa jadi pemberangkatannya setelah 50 tahun lagi. Bahkan, dalam sebuah simulasi, ada yang baru bisa berangkat setelah 90 tahun. Sesuatu yang tidak mungkin jika merujuk pada usia rata-rata orang  Indonesia.

Jika terus ditambah dengan kewajiban-kewajiban badal haji, bisa kita bayangkan berapa panjang lagi antrian ini. Untuk itu, dengan mempertimbangkan tujuan kemaslahatan kerangka Maqashid Syari’ah menegaskan, mungkin kita perlu meninjau ulang hukum fiqh mengenai badal haji ini. Pandangan Mazhab Maliki yang mengganti badal haji dengan sedekah kepada orang-orang miskin bisa jadi lebih maslahat dan memenuhi kebutuhan umat. Wallahu a’lam. []

 

Tags: Badal HajihajiHukum Badal HajiRukun IslamSejarah HajiSyariat Islam
Faqih Abdul Kodir

Faqih Abdul Kodir

Founder Mubadalah.id dan Ketua LP2M UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon

Terkait Posts

Perempuan sosial

Perempuan Bukan Fitnah: Membongkar Paradoks Antara Tafsir Keagamaan dan Realitas Sosial

10 Mei 2025
Sunat Perempuan

Sunat Perempuan dalam Perspektif Moral Islam

2 Mei 2025
Perjalanan Thudong

Pesan Toleransi dari Perjalanan Suci Para Biksu Thudong di Cirebon

30 April 2025
Nyai Fatmah Mawardi

Nyai Fatmah Mawardi, Mengurai Jejak Ulama Perempuan Madura

26 April 2025
Metode Mubadalah

Beda Qiyas dari Metode Mubadalah: Menjembatani Nalar Hukum dan Kesalingan Kemanusiaan

25 April 2025
Kontroversi Nikah Batin

Kontroversi Nikah Batin Ala Film Bidaah dalam Kitab-kitab Turats

22 April 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Tragedi Pemerkosaan

    Negara Amnesia, Korban Masih Terjaga: Kami Menolak Lupa atas Tragedi Pemerkosaan 98

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Luka Ibu Sebelum Suapan Terakhir Bagian II

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mari Berani Bersuara Melawan Catcalling di Ruang Publik

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Isu Perceraian Veve Zulfikar: Seberapa Besar Dampak Memiliki Pasangan NPD?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Job Fair, Pengangguran Struktural, dan Nilai Humanisme

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Mari Berani Bersuara Melawan Catcalling di Ruang Publik
  • Negara Amnesia, Korban Masih Terjaga: Kami Menolak Lupa atas Tragedi Pemerkosaan 98
  • Luka Ibu Sebelum Suapan Terakhir Bagian II
  • Pentingnya Komitmen Suami dan Istri dalam Kerja Domestik dan Publik
  • Solusi Perdamaian bagi Palestina-Israel atau Tantangan Integritas Nasional Terhadap Pancasila?

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID