Rabu, 5 November 2025
  • Login
  • Register
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
    Disabilitas

    Di UNIK Cipasung, Zahra Amin: Jadikan Media Digital Ruang Advokasi bagi Penyandang Disabilitas

    Bagi Disabilitas

    Rektor Abdul Chobir: Kampus Harus Berani Melahirkan Gagasan Inklusif bagi Penyandang Disabilitas

    Fondasi Utama Fiqh al-Murunah

    4 Fondasi Utama Fiqh al-Murunah

    Fiqh al-Murunah bagi

    Fiqh al-Murunah: Menakar Azimah dan Rukhsah dari Pengalaman Difabel

    Fiqh al-Murunah yang

    Fiqh Al-Murunah: Fiqh yang Lentur, Partisipatif, dan Memberdayakan

    Fiqh al-Murunah

    Fiqh al-Murunah, Gagasan Baru yang Terinspirasi dari Dua Tokoh NU dan Muhammadiyah

    Fiqh al-Murunah

    Fiqh al-Murunah: Menempatkan Penyandang Disabilitas sebagai Subjek Penuh (Fā‘il Kāmil)

    Fiqh al-Murunah

    Fiqh al-Murunah: Terobosan KUPI untuk Menempatkan Difabel sebagai Subjek Penuh dalam Hukum Islam

    Fiqh al-Murunah yang

    Dr. Faqihuddin Abdul Kodir: Fiqh al-Murūnah, Paradigma Baru Keislaman Inklusif bagi Disabilitas

  • Kolom
    • All
    • Keluarga
    • Personal
    • Publik
    Pendidikan Keberagaman

    Pentingnya Pendidikan Keberagamanan di Sekolah Dasar

    Perempuan Haid yang

    Saatnya Umat Islam Mengakhiri Stigma terhadap Perempuan Haid

    Perempuan Haid

    Perempuan Haid Tidak Boleh Diasingkan

    Target Live

    Fitur Target Live di TikTok: Ketika Sakralitas Terjebak Algoritma Media Sosial

    Perempuan Haid bukan

    Islam Memuliakan Perempuan Haid, Bukan Mengasingkannya

    Maskulin Toksik

    Maskulin Toksik: Menanam Kesetaraan Gender Melalui Budaya Dominan

    Haid adalah

    Haid Adalah Fitrah Biologis Perempuan

    Kawin-Cerai

    Tafsir Qur’ani atas Fenomena Kawin-Cerai Selebriti

    Haid dalam

    Islam Menghapus Stigma Haid Perempuan: Dari Mata Iblis ke Martabat Kemanusiaan

  • Khazanah
    • All
    • Hikmah
    • Hukum Syariat
    • Pernak-pernik
    • Sastra
    Surga

    Menyingkap Lemahnya Hadis-hadis Seksualitas tentang Kenikmatan Surga

    Surga

    Surga dalam Logika Mubadalah

    Kenikmatan Surga

    Kenikmatan Surga adalah Azwāj Muṭahharah

    Surga Perempuan

    Di mana Tempat Perempuan Ketika di Surga?

    Surga

    Ketika Surga Direduksi Jadi Ruang Syahwat Laki-Laki

    Perempuan Lebih Rendah

    Ketakwaan Perempuan Tidak Lebih Rendah dari Laki-laki

    Keterbukaan Rumah Tangga

    Keterbukaan Adalah Kunci Utama Keharmonisan Rumah Tangga

    Keterbukaan

    Pentingnya Sikap Saling Keterbukaan dalam Rumah Tangga

    Rumah Tangga dalam

    Mencegah Konflik Kecil Rumah Tangga dengan Sikap Saling Terbuka dan Komunikasi

  • Rujukan
    • All
    • Ayat Quran
    • Hadits
    • Metodologi
    • Mubapedia
    Perempuan Fitnah

    Perempuan Fitnah Laki-laki? Menimbang Ulang dalam Perspektif Mubadalah

    Idul Fitri

    Teks Khutbah Idul Fitri 1446 H: Menjadi Insan Bertakwa dan Mewujudkan Masyarakat Berkeadaban di Hari Kemenangan

    Idul Fitri

    Teks Khutbah Idul Fitri 1446 H: Merayakan Kemenangan dengan Syukur, Solidaritas, dan Kepedulian

    Membayar Zakat Fitrah

    Masihkah Kita Membayar Zakat Fitrah dengan Beras 2,5 Kg atau Uang Seharganya?

    Ibu menyusui tidak puasa apa hukumnya?

    Ibu Menyusui Tidak Puasa Apa Hukumnya?

    kerja domestik adalah tanggung jawab suami dan istri

    5 Dalil Kerja Domestik adalah Tanggung Jawab Suami dan Istri

    Menghindari Zina

    Jika Ingin Menghindari Zina, Jangan dengan Pernikahan yang Toxic

    Makna Ghaddul Bashar

    Makna Ghaddul Bashar, Benarkah Menundukkan Mata Secara Fisik?

    Makna Isti'faf

    Makna Isti’faf, Benarkah hanya Menjauhi Zina?

  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
    Disabilitas

    Di UNIK Cipasung, Zahra Amin: Jadikan Media Digital Ruang Advokasi bagi Penyandang Disabilitas

    Bagi Disabilitas

    Rektor Abdul Chobir: Kampus Harus Berani Melahirkan Gagasan Inklusif bagi Penyandang Disabilitas

    Fondasi Utama Fiqh al-Murunah

    4 Fondasi Utama Fiqh al-Murunah

    Fiqh al-Murunah bagi

    Fiqh al-Murunah: Menakar Azimah dan Rukhsah dari Pengalaman Difabel

    Fiqh al-Murunah yang

    Fiqh Al-Murunah: Fiqh yang Lentur, Partisipatif, dan Memberdayakan

    Fiqh al-Murunah

    Fiqh al-Murunah, Gagasan Baru yang Terinspirasi dari Dua Tokoh NU dan Muhammadiyah

    Fiqh al-Murunah

    Fiqh al-Murunah: Menempatkan Penyandang Disabilitas sebagai Subjek Penuh (Fā‘il Kāmil)

    Fiqh al-Murunah

    Fiqh al-Murunah: Terobosan KUPI untuk Menempatkan Difabel sebagai Subjek Penuh dalam Hukum Islam

    Fiqh al-Murunah yang

    Dr. Faqihuddin Abdul Kodir: Fiqh al-Murūnah, Paradigma Baru Keislaman Inklusif bagi Disabilitas

  • Kolom
    • All
    • Keluarga
    • Personal
    • Publik
    Pendidikan Keberagaman

    Pentingnya Pendidikan Keberagamanan di Sekolah Dasar

    Perempuan Haid yang

    Saatnya Umat Islam Mengakhiri Stigma terhadap Perempuan Haid

    Perempuan Haid

    Perempuan Haid Tidak Boleh Diasingkan

    Target Live

    Fitur Target Live di TikTok: Ketika Sakralitas Terjebak Algoritma Media Sosial

    Perempuan Haid bukan

    Islam Memuliakan Perempuan Haid, Bukan Mengasingkannya

    Maskulin Toksik

    Maskulin Toksik: Menanam Kesetaraan Gender Melalui Budaya Dominan

    Haid adalah

    Haid Adalah Fitrah Biologis Perempuan

    Kawin-Cerai

    Tafsir Qur’ani atas Fenomena Kawin-Cerai Selebriti

    Haid dalam

    Islam Menghapus Stigma Haid Perempuan: Dari Mata Iblis ke Martabat Kemanusiaan

  • Khazanah
    • All
    • Hikmah
    • Hukum Syariat
    • Pernak-pernik
    • Sastra
    Surga

    Menyingkap Lemahnya Hadis-hadis Seksualitas tentang Kenikmatan Surga

    Surga

    Surga dalam Logika Mubadalah

    Kenikmatan Surga

    Kenikmatan Surga adalah Azwāj Muṭahharah

    Surga Perempuan

    Di mana Tempat Perempuan Ketika di Surga?

    Surga

    Ketika Surga Direduksi Jadi Ruang Syahwat Laki-Laki

    Perempuan Lebih Rendah

    Ketakwaan Perempuan Tidak Lebih Rendah dari Laki-laki

    Keterbukaan Rumah Tangga

    Keterbukaan Adalah Kunci Utama Keharmonisan Rumah Tangga

    Keterbukaan

    Pentingnya Sikap Saling Keterbukaan dalam Rumah Tangga

    Rumah Tangga dalam

    Mencegah Konflik Kecil Rumah Tangga dengan Sikap Saling Terbuka dan Komunikasi

  • Rujukan
    • All
    • Ayat Quran
    • Hadits
    • Metodologi
    • Mubapedia
    Perempuan Fitnah

    Perempuan Fitnah Laki-laki? Menimbang Ulang dalam Perspektif Mubadalah

    Idul Fitri

    Teks Khutbah Idul Fitri 1446 H: Menjadi Insan Bertakwa dan Mewujudkan Masyarakat Berkeadaban di Hari Kemenangan

    Idul Fitri

    Teks Khutbah Idul Fitri 1446 H: Merayakan Kemenangan dengan Syukur, Solidaritas, dan Kepedulian

    Membayar Zakat Fitrah

    Masihkah Kita Membayar Zakat Fitrah dengan Beras 2,5 Kg atau Uang Seharganya?

    Ibu menyusui tidak puasa apa hukumnya?

    Ibu Menyusui Tidak Puasa Apa Hukumnya?

    kerja domestik adalah tanggung jawab suami dan istri

    5 Dalil Kerja Domestik adalah Tanggung Jawab Suami dan Istri

    Menghindari Zina

    Jika Ingin Menghindari Zina, Jangan dengan Pernikahan yang Toxic

    Makna Ghaddul Bashar

    Makna Ghaddul Bashar, Benarkah Menundukkan Mata Secara Fisik?

    Makna Isti'faf

    Makna Isti’faf, Benarkah hanya Menjauhi Zina?

  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Film

Siapa Sebenarnya yang Norma(l)? Melihat Dunia Terbalik melalui Film Downside Up

Normal bukan lagi ukuran, melainkan kesepakatan yang terus mengalami pembaruan agar tidak menyingkirkan siapa pun

Siti Roisadul Nisok Siti Roisadul Nisok
5 November 2025
in Film, Rekomendasi
0
Film Downside Up

Film Downside Up

263
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Siapa sebenarnya yang normal? pertanyaaan tersebut saya ajukan bukan sebagai pertanyaan retoris belaka tanpa jawaban. Pertanyaan ini untuk mencari cara menamai manusia dengan lebih adil.

Film Downside Up menyuguhkan dunia terbalik yang memantik saya untuk meninjau ulang arti “normal” dalam kenyataan hari ini. Film ini bekerja sederhana, tetapi cukup tajam dalam menggeser cara pandang bahwa normal lahir dari kesepakatan. Dari sini, saya mencoba membuka pembacaan yang lebih adil atas kenyataan hari ini.

Film yang berdurasi kurang dari lima belas menit ini berhasil menyalakan pertanyaan yang tak lekas tuntas. Apabila dunia terisi hampir seluruhnya orang dengan disabilitas Down Syndrome, lalu lahir seorang anak yang berbeda, siapa yang sesungguhnya normal?  Film ini berusaha membalik arus, lalu menyodorkan cermin yang menggeser cara pandang itu sendiri.

Membalik Cermin Normalitas

Downside Up menghadirkan sebuah dunia di mana keterampilan yang akrab bagi kita justru menjadi penanda berbeda. Sejak awal, orang-orang memperlakukan Erik sebagai anomali dan terus mengawasinya. Bahkan ketika ia masih dalam kandungan, dokter memberi tahu orang tuanya bahwa mereka boleh memutuskan untuk mempertahankan atau tidak melahirkan bayi itu.

Setelah itu, tim medis menempuh serangkaian pemeriksaan untuk mencari “kromosom yang hilang”. Dalam logika dunia film ini, menampilkan pencarian kromosom secara hiperbolik, bahkan perawat mencarinya hingga di saku celana dan orang tua Erik menggeledah seluruh rumah untuk mencarinya. Nah, hal ini menekankan bagaimana tubuh Erik yang mengalami perlakuan layaknya proyek perbaikan, bukan sebagai manusia.

Dalam realitas medis, Down Syndrome terjadi karena adanya salinan ekstra kromosom 21, atau bisa kita sebut sebagai trisomi 21. Film membalik keadaan ini. Di dunia film, salinan ekstra justru dianggap baku, sehingga Erik yang tidak memilikinya, dipahami sebagai “kehilangan” satu kromosom. Cara bertutur ini sengaja dipilih untuk menyoroti bagaimana perbedaan bisa dibaca sebagai kekurangan ketika norma ditetapkan sepihak.

Apakah Standar Itu Memang Dibentuk?

Saat Erik mulai masuk sekolah, perbedaannya terlihat dalam hal yang sangat praktis. Di kelas, tidak ada seorang pun yang bisa mengikat tali sepatu, sedangkan Erik bisa melakukannya dengan mudah, sehingga ia terlihat lain. Kemudian, pada ulang tahunnya yang kelima, setelah menerima sepatu bot baru, Erik menutup mata dan mengikat talinya sendiri. Sejak hari itu, teman-temannya berbaris setiap pagi agar ia membantu mengikatkan sepatu mereka.

Di rumah dan ruang publik, Erik juga berubah menjadi tontonan. Orang-orang mengintip dari jendela siang dan malam. Bertahun-tahun kemudian, sistem sosial menata ruangnya sendiri. Misalnya, menyediakan toilet khusus untuk Erik, membuat orang-orang Down Syndrome lainnya bertepuk tangan setiap Erik keluar dari toilet, dan membedakan tempat parkirnya dari yang lain.

Rangkaian peristiwa ini memperjelas logika dunia terbalik dalam film. Kebiasaan mayoritas dengan cepat menetapkan apa yang mereka anggap wajar. Mereka menempatkan Erik di luar batas kewajaran bukan karena ia kurang, tetapi karena ia berbeda dari standar yang mereka buat sendiri.

Oleh sebab itu, bisa saya katakan bahwa normal bukan sifat yang menempel pada tubuh. Normal lahir dari kebiasaan dan penilaian yang diulang hingga terasa alamiah. Begitu satu cara dijadikan patokan, siapa pun di luar patokan tampak tidak wajar. Membalik komposisi membuka ruang untuk menilai kembali patokan itu.

Film sebagai Pemantik Makna

Saya coba membaca ini dengan meminjam kacamata Stuart Hall. Stuart Hall mengingatkan bahwa film tidak memantulkan dunia secara bening. Film dapat merepresentasikan dunia dan mengundang penonton menawar makna. Downside Up mengodekan gagasan dunia terbalik, sedangkan penonton menyandi ulang sesuai kerangka pikirnya.

Beberapa adegan kunci menegaskan hal ini. Pertama, sejak bayi Erik menjadi tontonan. Orang mengintip lewat jendela, dokter menimbang apakah ia “dipertahankan”, dan kromosom “yang hilang” dicari-cari dengan berbagai upaya. Rangkaian ini mengkodekan cara pandang medis sekaligus tatapan kolektif yang menjadikan tubuh berbeda sebagai objek pengamatan.

Kedua, saat adegan hari pertama Erik sekolah, saya melihat kebiasaan yang asing bagi kenyataan di dunia saya. Tak ada orang yang bisa mengikat tali sepatu, antrean bantuan terbentuk, bahkan ada pertandingan anak dengan aturan yang tak lazim bagi kebiasaan sehari-hari. Di sekitar Erik juga muncul fasilitas khusus, tepuk tangan, dan penandaan yang membuat hidup seharian terasa seperti panggung. Di sini film memperlihatkan bagaimana norma dapat diproduksi dan dipamerkan.

Ketiga, dorongan untuk menyesuaikan diri membuat Erik hampir memilih menjadi seperti kebanyakan orang. Titik baliknya justru hadir melalui perjumpaan dengan seseorang yang juga berbeda. Perjumpaan itu mengerucut menjadi kerja bersama dan satu gagasan jelas (memproduksi sepatu tanpa tali). Fokus pun bergeser dari mengubah orang menuju mengubah rancangan, sehingga manfaatnya menjangkau semua.

Dengan lensa Hall, film ini memantik cara saya membaca makna. Fokus bergeser dari tubuh ke norma, dari label ke sistem, dan dari kasus pribadi ke rancangan bersama. Penonton dapat mengambil standing position-nya sendiri, apakah menerima, menegosiasikan, atau menolak definisi lama tentang “normal”, lalu merumuskan arti normal yang lebih adil bagi realitas kita hari ini.

Norma(l) dalam Bingkai Kesepakatan

Setelah membaca film sebagai representasi, istilah normal dapat ditajamkan. Norma adalah kesepakatan yang mengatur ritme bersama. Normal adalah label yang lahir dari kesepakatan itu lalu menempel pada orang dan cara hidup. Label tersebut dibentuk dan disebarkan oleh rutinitas, aturan, dan citra. Di film, diagnosis awal, pencarian “kromosom yang hilang”, penandaan fasilitas khusus, dan tata laku sekolah adalah mesin yang memproduksi apa yang terlihat wajar.

Dari sini, pertanyaan “Siapa sebenarnya yang Norma(l)?” berubah makna. Bukan mencari siapa yang paling mirip rata-rata, melainkan menyoal siapa yang menyusun norma dan apakah norma itu menyediakan lebih dari satu cara hidup. Film ini mengisyaratkan bahwa ketika masyarakat yang semula menandai perbedaan, kemudian melibatkan mereka sebagai perancang bersama, batas-batas label melemah dan ruang sosial melebar.

Mengubah Dunia, Bukan Manusianya

Film Downside Up membuka celah untuk meninjau ulang bagaimana masyarakat membangun batas antara yang kita sebut normal dan tidak normal. Dalam dunia terbalik film ini, Erik justru menjadi minoritas di tengah kebakuan yang baru.

Namun, inti kritiknya bukan pada tubuh Erik yang berbeda, melainkan pada sistem yang menjadikan perbedaan sebagai alasan untuk menyingkirkan. Seperti kenyataan pada dunia kita hari ini, dunia dalam film itu terlalu cepat menuntut agar yang berbeda menyesuaikan diri, alih-alih berusaha memahami.

Dalam konteks tertentu, saya teringat pada percakapan dengan salah satu kawan disabilitas. Ia tidak keberatan dengan istilah berbeda, tetapi merasa terusik ketika yang lain melabelinya dengan “tidak normal”. Istilah tersebut, meski sering tidak selalu bermaksud untuk merendahkan, mengandung hierarki yang menganggap satu bentuk tubuh lebih sah dari yang lain.

Dari sana, saya belajar bahwa bahasa adalah sistem pertama yang menciptakan batas. Ketika kita menyebut seseorang tidak normal, kita sedang menegaskan pusat kekuasaan dari definisi normal itu sendiri.

Dunia yang Menjadi Rumah untuk Semua

Ketika film berakhir, pertanyaan tentang siapa yang normal tidak lagi penting. Yang lebih esensial adalah bagaimana kita memperlakukan perbedaan sebagai bagian dari kemanusiaan itu sendiri. Dunia Downside Up hanyalah cermin yang diperbesar dari realitas kita hari ini. Dunia yang masih sering menilai manusia dari kemampuan fisik, kognitif, atau produktivitas yang menjadikannya sebagai tolok ukur tunggal.

Maka, menjadi manusia berarti membuka ruang untuk keberagaman cara hidup. Normal bukan lagi ukuran, melainkan kesepakatan yang terus mengalami pembaruan agar tidak menyingkirkan siapa pun. Dunia yang manusiawi bukan dunia yang menghapus perbedaan, melainkan dunia yang memeluknya dengan sadar.

Film Downside Up setidaknya mengajak kita untuk menatap kembali kenyataan dunia saat ini. Apakah kita masih hidup di sisi yang menilai, atau sudah berani berdiri di sisi yang memahami. Dari situ, pertanyaan tentang “siapa yang normal” berubah menjadi refleksi yang lebih dalam, tentang bagaimana kita menata ulang dunia agar setiap manusia, dalam segala bentuknya, punya tempat untuk hidup bermakna. []

 

Tags: DifabelDisabilitas IntelektualDown SyndromeFilm Downside Upnormal
Siti Roisadul Nisok

Siti Roisadul Nisok

Siti Roisadul Nisok is an M.Phil student in the Faculty of Philosophy at Gadjah Mada University, Yogyakarta, Indonesia. Her research interests include religious studies, digitization, philosophy, cultural studies, and interfaith dialogue. She can be reached on Instagram via the handle: @roisabukanraisa.

Terkait Posts

Komunikasi Islam
Publik

Kasih, Bukan Kasihan: Komunikasi Islam bagi Teman Difabel

31 Oktober 2025
Fiqh al-Murunah bagi
Aktual

Fiqh al-Murunah: Menakar Azimah dan Rukhsah dari Pengalaman Difabel

25 Oktober 2025
Fiqh al-Murunah
Aktual

Fiqh al-Murunah: Terobosan KUPI untuk Menempatkan Difabel sebagai Subjek Penuh dalam Hukum Islam

25 Oktober 2025
Disabilitas intelektual
Publik

Melatih Empati pada Teman Disabilitas Intelektual

14 Oktober 2025
Terminasi
Publik

Terminasi : Sebab Minimnya Kelahiran Down Syndrome di Islandia

13 Oktober 2025
Musik Inklusif
Publik

Mari Kita Perjuangkan Dunia Musik Yang Inklusif Itu!

5 Oktober 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Haid adalah

    Haid Adalah Fitrah Biologis Perempuan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Maskulin Toksik: Menanam Kesetaraan Gender Melalui Budaya Dominan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tafsir Qur’ani atas Fenomena Kawin-Cerai Selebriti

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Fitur Target Live di TikTok: Ketika Sakralitas Terjebak Algoritma Media Sosial

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Perempuan Haid Tidak Boleh Diasingkan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Pentingnya Pendidikan Keberagamanan di Sekolah Dasar
  • Saatnya Umat Islam Mengakhiri Stigma terhadap Perempuan Haid
  • Siapa Sebenarnya yang Norma(l)? Melihat Dunia Terbalik melalui Film Downside Up
  • Perempuan Haid Tidak Boleh Diasingkan
  • Fitur Target Live di TikTok: Ketika Sakralitas Terjebak Algoritma Media Sosial

Komentar Terbaru

  • M. Khoirul Imamil M pada Amalan Muharram: Melampaui “Revenue” Individual
  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2025 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2025 MUBADALAH.ID