Mubadalah.id – Dalam Islam perburuhan tidak disebut secara tegas, mungkin karena mengingat jaringan internal antara potensi buruh dan jaringan sosial yang melingkupinya. Maka masuk akal jika Islam memberikan perhatian dan pedoman moral untuk hukum perburuhan secara komprehensif.
Hal ini karena adanya titik lemah dalam hubungan pekerja dengan tuannya. Bab dalam fikih Islam sendiri, yang sering terkait dengan perburuhan adalah Ijarah. Ulama Syafi’iyyah mendefinisikan Ijarah sebagai:
“Akad atas suatu kemanfaatan yang termaksud, diketahui, mubah, dan dapat diserah terimakan dan diperkenankan (kepada orang lain) dengan imbalan upah tertentu”
Ijarah (perburuhan) pada hakikatnya adalah hubungan saling memerlukan antara dua orang/pihak, majikan/ pengusaha dan buruh. Kedua pihak saling memberi manfaat/kepentingan. Majikan memberikan upah, dan buruh memberikan tenaganya. Ijarah jenis ini terbagi menjadi dua:
Pertama, ijarah khusus. Ijarah khusus adalah sewa-menyewa yang dilakukan oleh seorang pekerja. Konsekuensinya, orang yang bekerja tidak boleh menyewakan jasanya (bekerja) untuk orang lain (selain pada orang yang telah memberinya upah).
Kedua, ijarah musytarik. Ijarah musytarik adalah ijarah yang dilakukan secara bersama-sama atau melalui kerja sama. Ijarah jenis ini memperbolehkan pekerjanya untuk bekerja pada orang lain, selama tidak menganggu pekerjaan yang sudah keduanya sepakati.
Bahkan kontrak sewa-menyewa menjadi jual-beli dengan mengambil manfaat. Aturan-aturan yang telah tergariskan memiliki keterkaitan dengan kontrak jual-beli seperti dalam praktik khiyar ar-ru’yah, khiyar al-‘ayb, khiyar asy-syarth, fasakh, dan iqalah, yang juga mempraktikkan cara itu.
Hukum Islam membedakan dua macam ijarah, yakni pembedaan dari segi waktu lamanya atau dari segi menunaikan tugas. Lama waktu harus keduanya tentukan, tidak mungkin menyewa atau menyewakan untuk jumlah tetap perbulan.
Dalam sudut pandang lain, manfaatnya bisa mereka konversikan dalam bentuk jasa (pekerjaan). Islam memandang tenaga manusia sebagai sesuatu yang bisa mereka ambil manfaatnya, karena itu sah mendapat upah dari pemanfaatan tenaganya.
Hal ini jelas mendapat legitimasi kuat dari para fuqaha. Buktinya adalah adanya pemetaan ijarah yang para ahli hukum Islam lakukan. Mereka membagi ijarah dalam dua bentuk, yaitu ijarah terhadap benda (sewa-menyewa) dan ijarah atas pekerjaan (upah mengupah). []