Mubadalah.id – Di sebuah desa kecil, seorang perempuan bernama Siti setiap hari berangkat mengajar di sekolah dasar negeri dengan gaji yang jauh dari kata layak. Selama lebih dari sepuluh tahun menjadi guru honorer, ia tetap menerima upah yang bahkan tak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dengan penuh dedikasi, ia mendidik anak-anak bangsa, tetapi kesejahteraannya sendiri terabaikan oleh sistem.
Siti hanyalah satu dari ratusan ribu guru honorer di negeri ini yang mengalami nasib serupa. Jika kita tambah dengan guru ngaji yang bahkan tanpa bayaran sama sekali di berbagai pelosok negeri, jumlahnya akan jauh lebih banyak lagi.
Gaji kecil, tanpa jaminan sosial, tanpa kepastian pengangkatan, dan sering kali mendapat perlakuan secara tidak adil oleh negara yang terus menarik pajak dari rakyatnya—tetapi enggan mengalokasikan dana secara adil kepada mereka yang seharusnya kita prioritaskan. Inilah potret nyata ketidakadilan fiskal yang terjadi di negeri ini.
Guru seperti Siti bekerja tanpa perlindungan yang layak. Sementara pajak yang negara kumpulkan lebih banyak terserap untuk kepentingan elite dibandingkan untuk kesejahteraan rakyat kecil yang menopang masa depan bangsa.
Ketimpangan: Guru Honorer dan TNI
Baru-baru ini, Kepala Bidang Advokasi Guru dari Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), Iman Zanatul Haeri, di platform X mengetengahkan fakta memilukan tentang kondisi guru honorer yang justru lebih tragis daripada dengan anggota TNI. Sebelumnya, Panglima TNI menyatakan banyak anggotanya yang masih harus mencari penghasilan tambahan dengan mengojek atau berjualan es.
“Anggota saya ada yang ngojek, jualan es, pemulung, tidur di kandang kambing, ngajar sambil berjalan berkilo-kilometer, dan upahnya masih honorer di bawah nilai bantuan sosial,” tulis Iman di platform X, menjawab pernyataan Panglima TNI, pada Minggu (30/3/2025).
“Ada juga yang tunjangan lebarannya tak kunjung cair. Jika Bapak menuntut bisnis, kami menuntut upah minimum saja masih sulit.” Kritiknya, merespons pernyataan Panglima TNI yang keberatan atas aturan pelarangan bisnis bagi anggota TNI.
“Kekerasan sekecil apa pun tidak ditoleransi bagi profesi kami. Jika terjadi, jeruji dan intimidasi menunggu kami. Dari Supriyani hingga Novi Sukatani.” Lanjutnya, membandingkan kasus guru yang mengalami kekerasan dan sulit mendapatkan keadilan dengan beberapa oknum anggota TNI yang cenderung lebih sulit dibawa ke pengadilan kecuali jika kasusnya sudah viral.
Spirit Zakat dalam Pajak
Ironisnya, pada masa kampanye pemilihan presiden 2024, Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra, Hashim Djojohadikusumo, menyampaikan janji politik bahwa pasangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka akan menambah gaji guru sebesar Rp2 juta per bulan selama 13 bulan. Termasuk tunjangan hari raya (THR), bagi seluruh guru di Indonesia, termasuk guru honorer.
Sampai saat ini, janji itu belum terbukti. Sebagaimana tersebar dalam berbagai video di media sosial saat itu, pencairan pemerintah janjikan mulai November 2024. Namun, realitasnya hingga kini, para guru honorer masih berjuang sendiri dalam ketidakpastian.
Dalam perspektif Islam, pajak yang pemerintah kumpulkan memiliki spirit zakat yang seharusnya kita prioritaskan bagi mereka yang paling membutuhkan, seperti guru-guru honorer. KH. Masdar Farid Mas’udi sejak lama mengingatkan bahwa pajak sejatinya adalah zakat dalam sistem negara modern.
Pajak bukan sekadar kewajiban administratif, tetapi amanah besar yang harus digunakan untuk menegakkan keadilan sosial. Jika negara benar-benar mengelola pajak sebagaimana prinsip zakat, maka prioritas utamanya haruslah kesejahteraan rakyat kecil, seperti guru honorer, bukan kepentingan segelintir elite atau proyek-proyek yang tidak berpihak pada rakyat.
Guru-guru seperti Siti adalah wajah nyata dari ketimpangan yang harus kita akhiri. Pajak yang kita kumpulkan harus kita kembalikan kepada mereka yang berhak. Jika negara terus mengabaikan amanah ini, maka rakyat sebagai muzakki memiliki hak untuk mengontrol, mengkritik, dan bahkan menuntut perubahan. Pemerintah adalah amil yang harus bertanggung jawab. Jika gagal, maka sudah seharusnya ia kita ganti dengan pemimpin yang lebih amanah.
Dalam Islam, kegagalan mengelola zakat dengan baik bukan hanya kesalahan administratif, tetapi juga dosa besar yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allah. Jika pemerintah tidak transparan dan tidak menggunakan pajak untuk kesejahteraan rakyat, maka rakyat sebagai muzakki berhak mengawasi, mengkritik, bahkan menuntut perubahan.
Negara yang tidak menempatkan pajak sebagai instrumen keadilan sosial telah mengkhianati amanah yang kita berikan kepadanya. Jika itu terjadi, rakyat berhak bahkan berkewajiban meminta pertanggung-jawaban mereka, para amil atau pengelola pajak, yaitu pemerintah. []