Mubadalah.id – “You guys are not fans” Tulis Nadin Amizah dalam story instagramnya setelah mendapatkan pelecehan seksual usai manggung. Ini bukan pertama kalinya Nadin Amizah mendapatkan pelecehan seksual dari fansnya.
2023 lalu, Nadin juga mengalami hal serupa dan memberanikan diri untuk speak up di akun Instagram pribadinya. Namun yang sangat saya sayangkan adalah respon dari beberapa orang di sosial media yang terkesan menormalisasi pelecehan ini.
Mereka menyarankan Nadin untuk tidak menerima pekerjaan di tempat yang tidak high level. Selain itu ada juga yang beranggapan bahwa sah-sah saja kalau ada orang yang menyentuh tubuh atau bahkan area pribadi si artis toh mungkin tidak sengaja. Ibarat kata Nadin ini sudah jatuh malah tertimpa tangga, sudah jadi korban malah disalahkan .
Terkenal Bukan Berarti Milik Semua Orang
Sepertinya masih banyak yang salah paham perihal hak tubuh seseorang. Setiap orang, mau siapapun itu baik artis maupun orang biasa memiliki hak atas tubuhnya. Salah satu hak tersebut adalah tidak disentuh sembarangan oleh orang lain.
Sudah seharusnya kita sadar dan tahu batasan terkait hak ini dan yang lebih penting adalah cara pandang terhadap selebritas harus kita benahi. Kita masih menganggap remeh dan seringkali menganggap hal ini sebagai ungkapan kekaguman seorang fans kepada idolanya.
Namun faktanya, menyentuh orang lain tanpa izin merupakan bentuk pelecehan. Lebih lanjut, kita perlu garis bawahi juga bahwasannya terkenal bukan berarti milik semua orang.
Para selebritis tidak terkecuali Nadin punya hak untuk tidak disentuh sembarangan. Mengidolakan mereka bukan berarti kita memiliki hak atas hidup dan tubuh mereka.
Pelecehan Seksual Bukan Hanya Perbuatan Persetubuhan
Bukan hanya Nadin, saya yakin di luar sana banyak yang pernah mengalami hal serupa tidak terkecuali laki-laki. Mungkin kebanyakan dari mereka memilih diam dan menyimpannya dengan alasan tertentu.
Masyarkat kita belum teredukasi perihal perbuatan-perbuatan apa saja yang bisa masuk kategori pelecehan seksual. Banyak dari mereka yang masih menganggap bahwa perbuatan pelecahan seksual adalah ketika melakukan perbuatan persetubuhan.
Imbasnya orang akan menganggap cat calling, menyentuh area pribadi orang, membuat lelucon seksual dan lain sebagainya bukan merupakan sebuah pelecehan. Mereka menormalisasi hal tersebut dan lebih parah melabeli korban dengan istilah “lebay”.
Stop Normalisasi dan Mulai Edukasi
Sudah saatnya kita berhenti menormalisasi pelecehan dalam bentuk apapun. Karena jika masih menormalisasi hal tersebut, artinya kita akan terus memberikan ruang bagi pelaku untuk mengulanginya lagi.
Selain itu, menormalisasi pelecehan seksual dapat membungkam korban dan mengaburkan batas antara bercanda dan pelecehan. Korban akan merasa tidak dihargai bahkan seperti kasus Nadin yang justru disalahkan karena mengambil pekerjaan di lingkungan tertentu. Melanggengkan normalisasi juga dapat memicu banyak masyarakat yang terbelenggu dan tumbuh tanpa pemahaman batasan tubuh serta persetujuan.
Oleh karena itu, kita bisa memulai edukasi mengenai batasan tubuh dari lingkup kecil. Memberikan edukasi kepada anak dalam lingkungan keluarga dan sekolah terkait tubuh dan privasi. Memberikan pemahaman kepada orang terdekat kita bahwa bentuk pelecehan seksual bukan hanya persetubuhan.
Dengan edukasi artinya kita melakukan pencegahan, banyak orang yang kemudian tahu bahwa semua tindakan bernuansa seksual bisa jadi pelecehan. Dengan edukasi artinya kita berusaha melindungi korban dan menyuarakan keberanian untuk speak up.
Berkaca dari kasus Nadin, mari kita dukung dan berani bilang “itu salah” ketika melihat pelecehan sekecil apapun. []