Mubadalah.id – Kok saya agak risau ya ketika ada jokes-jokes yang objeknya adalah difabel? Sebagai non-difabel, saya selalu berfikir kadar inklusifitas jokes atau humor kepada difabel yang terlalu berlebihan.
Tidak bisa dinafikan era medsos yang serba cepat ini menjadikan jokes sebagai bahasa universal yang menghubungkan manusia, sebut saja humor adalah mediator. Ketika scroll tiktok dan Instagram pun “anonymous” yang kontennya humor sudah pasti fyp dan trending.
Baik dalam dunia realistis maupun dunia maya harus kita validasi bahwa pengaruh jokes menyemai kegembiraan dalam pikiran dan psikologis manusia. Bahkan candaan atau jokes menjadi salah satu bentuk hiburan yang paling banyak terkonsumsi dan sifatnya secandu itu.
Tapi menjadi sorotan inti ketika tak jarang bahan lawakan yang digunakan adalah fisik seseorang, termasuk kondisi difabel. Humor kepada difabel dianggap lucu oleh sebagian, namun menyisakan luka bagi sebagian lainnya. Bagaimana kemudian Islam memandang?
Antara Jokes dan Empati
Islam tidaklah anti lelucon, candaan, jokes ataupun humor. Nabi Muhammad Saw pun masyhur sebagai kepribadian yang humoris dan murah senyum. Hingga dalam kitab Washiyatul Musthofa yang berisikan pesan-pesan Nabi Muhammad kepada Ali Bin Abi Thalib mengatakan :
Jadilah manusia yang murah senyum, karena Allah cinta dan harmonis kepada orang yang murah senyum, dan sebaliknya, Allah Swt murka kepada orang yang cemberut terus.
Sementara itu islam memiliki tolak ukur batas tertentu untuk humor atau jokes. Seperti jangan sampai menyakiti, merendahkan, apalagi mempermalukan orang lain baik secara langsung atau sebagai bahan candaan peyoratif pada saat waktu yang lain.
Allah SWT berfirman dalam Surah Al-Hujurat ayat 11:
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain, boleh jadi mereka (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok).”
Ayat ini menjadi prinsip dasar dalam Islam bahwa mencemooh atau menjadikan kekurangan orang lain sebagai bahan lelucon bukan hanya tidak etis, tapi juga dilarang secara agama.
Jokes vs Kolaborasi : Garis Tipis Yang Perlu Kejelasan
Berbagai latar konten kreator dan bermacam pula konten yang mereka ciptakan setidaknya memiliki nilai amal dan kebaikan apabila membuat kita tersenyum dan gembira. Sementara yang sedang rame hari ini banyak konten jokes yang objeknya adalah difabel.
Ketika konten kreator bekerja sama dengan penyandang disabilitas, dan sifatnya simbiosis mutualisme, misalnya difabel mendapatkan panggung, donasi, atau pendapatan lainnya maka situasinya akan menjadi lebih kompleks.
Mengapa demikian? Karena muncul anggapan antara mengeksploitasi atau memanusiakan penyandang disabilitas. Bagi non-difabel, mungkin jokes terhadap difabel dengan menunjukkan kekurangannya sebagai candaan adalah sesuatu yang kurang etis.
Jika konteksnya demikian, terdapat beberapa kecenderungan berpikir. Pertama, memberikan ruang bebas berekspresi kepada difabel, meningkatkan visibilitas dan representasi difabel, serta memberdayakan difabel dalam ranah finansial.
Namun kecenderungan kedua adalah kekhawatiran timbulnya komodifikasi penderitaan atau keterbatasan seseorang, memperburuk stereotip bahwa difabel hanya “menarik” karena kondisinya dan kemungkinan manipulasi terhadap difabel.
Kerja sama yang menguntungkan antara kreator dengan difabel dapat menjadi contoh dari implementasi nilai-nilai Islam dalam masyarakat modern. Namun, perlu diingat bahwa kerja sama tersebut harus dilakukan dengan adil, transparan, dan menghormati martabat difabel
Mindfullness Islam Terhadap Difabel
Pada bagian ini menerangkan bagaimana prinsip prinsip Islam yang harus menjadi pertimbangan ketika interaksi dengan difabel. Sebagai manusia, memandang dan menghormati manusia lainnya serta menjadikannya sebagai martabat yang mulia adalah sebuah keniscaayaan. Pun berlaku bagi penyandang disabilitas. Jokes yang ramah dan sifatnya humanis terlihat dari bagaimana kualitas humornya.
Apabila terdapat jokes yang merendahkan, mempermalukan, atau menormalisasi ejekan, maka itu masuk ke wilayah yang tidak etis. Jokes dalam video yang merendahkan manusia berpotensi menimbulkan liarnya diskriminasi, khususnya pada difabel. Karena, martabat manusia tidak dapat ditukar dengan donasi dan apa yang lucu bagi penonton, belum tentu sehat bagi citra penyandang disabilitas secara umum.
Maka Islam memiliki perhatian khusus terhadap hal demikian, antara lain;
Niat (Intention), harus niat untuk membantu difabel dan meminimalisir stigma negatif. Keadilan (Justice) berlaku adil dengan memperjuangkan hak-hak difabel. Ridha (consent) adanya kesadaraan dan keterbukaan penyandang disabilitas untuk menyuarakan hak-hak nya. Maslahah (Public Interest), menjadikan jokes dan candaan yang bernuansa inklusif tanpa merendahkan serta menjunjung nilai kebaikan.
Sekilas jokes yang menargetkan difabel jelas tidaklah etis. Akan tetapi, islam mengajarkan agar tidak melakukan hal yang dapat merendahkan manusia lainnya, lebih khusus kepada teman difabel. Karena jokes atau humor yang ramah mengandung unsur positif menghibur tanpa melukai, yang dapat mempererat hubungan tanpa merendahkan.
Sebagai umat manusia yang beradab, sudah saatnya kita bergerak menuju jokes yang lebih inklusif dan etis. Mari jadikan jokes sebagai alternatif untuk membangun masyarakat lebih toleran dan menghargai keberagaman. Bukan hanya untuk kepentingan adsense dan ladang penghasilan untuk memperburuk kondisi mereka yang sudah menghadapi tantangan hidup. []