Mubadalah.id – Dear para Sandwich Generation, di mana pun kamu berada, semoga senantiasa terberkahi dengan bahu yang kuat dan rezeki yang melimpah. Saya tahu, yang kamu butuhkan bukan lagi sekadar basa-basi yang berbungkus motivasi. Kamu juga tidak butuh iming-iming pahala untuk menuntaskan tugasmu yang mulia. Sebab nuranimu telah lebih dahulu mengambil suara.
Setiap bulan, saat masa gajian datang, tiba-tiba ATM-mu terasa gemuk, berisi, dan begitu menggiurkan. Kepalamu berimajinasi membayangkan barang-barang yang selama ini masih menjadi waiting list-mu. Mungkin skin care favoritmu, buku impian, tiket bioskop, agenda jalan-jalan, atau outfit idamanmu.
Tapi kamu harus menghela nafas panjang kala kenyataan menyeretmu untuk kembali tersadar dari khayalan sesaat. Ada adikmu yang sedang bersekolah atau kuliah dan menunggu uang bulanannya datang.
Ada orang tuamu yang menunggu jatah bulanan yang kau berikan. Jika kamu sudah berkeluarga, ada pasangan atau anak-anak yang perlu Kau tuntaskan kebutuhannya. Jika kamu lebih ‘terpilih’ mungkin kamu akan memikirkan cicilan hutang ortumu.
Kamu menghitung nominal gaji yang tampak besar tersebut. Menguranginya dengan jatah orang-orang yang menjadi tanggunganmu. Adik, orang tua, keponakan, pasangan, anak, atau bahkan cicilan hutang orang tuamu.
Mendadak nominal yang awalnya begitu besar menjadi menyusut sekecil-kecilnya. Lalu Kau mengeryitkan dahimu yang sudah muncul garis keriput kecil itu, sambil bergumam: Sisa segini, cukupkah untuk kehidupanku sebulan ke depan?
Keikhlasan
Dear para Sandwich Generation di mana pun kamu berada, sampai di sini aku ingin mengirimkan pelukan hangat untukmu. Saat itu tiba-tiba ada rintihan kecil dari hatimu. Kenapa aku yang bekerja keras tapi hanya bisa menikmati hasil yang paling sedikit, ya? Lalu Kau menghela nafas panjang.
Tidak! Aku tidak akan berbual tentang keikhlasan kepadamu. Sebab keikhlasanmu ibarat belati tajam yang bisa mematahkan batang pohon sekali ayun. Keikhlasanmu sudah amat terasah.
Aku tak meminggirkan keluhanmu yang tiba-tiba muncul. Mungkin saat itu Kau hanya butuh mengeluh kepada temanmu. Atau hanya perlu bersepeda motor keliling kota tanpa tujuan, menikmati hidangan ‘enak’ versimu di kafe favorit, mendengarkan lagu favoritmu dan sesekali menirukan dengan suara serakmu, atau memeluk kucingmu yang hangat dan lembut.
Lalu Kau akan kembali tersenyum lega sambil bergumam: Insya Allah akan jadi tabungan yang baik di hari akhir nanti atau Sudah tidak apa-apalah yang penting keluargaku juga bisa bertahan hidup.
Tentang mengeluh kepada teman, aku menyarankan untuk tak mengeluh ke sembarang teman. Apalagi jika temanmu bukan sesama sandwich generation. Tentu mereka nggak akan relate sama hidup yang kamu jalani.
Parahnya bisa jadi mereka memandang hidupmu amat berantakan dan mengenaskan. Efeknya kamu akan semakin tersuruk ke jurang yang penuh keluhan dan kekecawaan.
Tapi, ada juga sih, teman yang tidak demikian meski ia bukan sandwich generation. Aku sendiri yang membuktikannya.
Aku punya kawan favorit sejak SMA yang punya privilege tidak menjadi sandwich generation. Tapi ia tidak menyurukku ke belakang. Ia menyemangatiku dengan kondisi yang harus kujalani.
Nasihat Gus Baha
Dear para Sandwich Generation dimana pun kamu berada, ingatlah pesanku satu ini. Kau tak perlu membandingkan diri dengan temanmu meski kalian berada dalam rentang usia yang sama.
Kau tak perlu berkecil hati manakala temanmu sudah punya tabungan melimpah, bisa KPR rumah, mulai mencicil tanah, bahkan sudah mengunjungi Baitullah. Sementara aset berhargamu baru motor butut dan perhiasan emasmu yang tak sampai lima gram itu.
Jalan kalian berbeda. Titik awalnya juga berbeda. Ingatlah nasihat Gus Baha bahwa kunci nikmatnya hidup adalah dengan tidak melihat nikmatnya orang lain.
Saat hatimu kembali terasa sesak, kau perlu mensyukuri tanganmu yang panjang dan ringan. Lihatlah, adikmu atau ponakanmu yang tersenyum lebar sambil menenteng tas ke sekolah atau ke kampus.
Mereka mendapat akses pendidikan tinggi sebab tanganmu yang ringan. Jika mereka perempuan, Kau menyelamatkannya dari perkawinan usia anak dan memberinya kesempatan lebih berdaya di masa depan.
Lihatlah orang tuamu yang begitu bangga menceritakan kesuksesanmu kepada para tetanggamu. Lihat senyum lebar mereka saat makan menu favoritnya yang tak sempat mereka beli sebab mendahulukan kebutuhan sekolahmu dulu.
Ah, dan ini tentu bait khusus untukmu. Buat kamu yang menanggung cicilan hutang ortumu, aku sungguh mengacungi jempol atas kelapangan dadamu. Ingatlah, kamu tidak sendirian.
Ada banyak orang yang berada di jalan yang sama denganmu meski jarang kau temui. Saat hatimu terasa sesak, mintalah sedikit motivasi dari mereka.
Tanyalah kepada mereka, bagaimana mereka mengasah keikhlasan itu begitu tajam. Tentu sama denganmu, mereka merasa berat dan terbebani. Namun, yang mereka tahu, secuil harta yang mereka miliki tak ada nilainya dibandingkan satu-satunya yang mereka miliki di dunia: ibu yang tak bisa digantikan dengan siapapun.
Tentang Pilihan
Bagi mereka, apa gunanya harta melimpah jika tak lagi ada orang tua di sisinya? Jika suatu saat nanti orang tuanya meninggal lalu masih punya hutang, tentu ia juga berkewajiban membayarkan hutangnya sebagai ahli waris.
Lalu mengapa untuk membayarkannya harus menunggu orang tuanya meninggal? Bukankah kita punya pilihan untuk membuat orang tua kita lega di akhir masa hidupnya sebab hutangnya telah kita lunasi?
Jangan menuduhku menggunakan trik psikologi paling jahat dengan memancing rasa bersalah dan penyesalan di kemudian hari. Meskipun di sosmed banyak yang mengoceh tentang hal itu. Tapi sungguh, seperti kalimat terakhirku di paragraf sebelumnya. Aku berbicara tentang pilihan.
Aku mengutip salah satu pendapat seorang influencer di bidang financial di akun instagramnya @annisasteviani. Ia mengajari kita untuk tidak memposisikan diri sebagai korban atau memiliki mental victim. Ia mengajari bahwa apapun keputusan hidup kita dasarnya adalah pilihan kita sendiri.
Keputusan untuk membiayai sekolah atau kuliah adikmu serta memberikan jatah bulanan kepada ortumu lahir dari pilihan sadarmu. Kamu sama sekali bukan korban dari ketidakstabilan keuangan orang tuamu.
Kamu tentu punya pilihan untuk tidak peduli pada keluargamu dan memilih menikmati uangmu sepuas-puasnya. Tapi secara sadar kamu memilih sebaliknya: membagi uangmu kepada mereka.
Terakhir, aku juga ingin mengutip nasihat dari ulama. Konon, saat terasa sesak nasihat ini amat melegakanku. Bahwa rejeki kita telah dijatah dalam satu wadah. Ada yang wadahnya besar, ada yang memang wadahnya tidak terlalu besar.
Suatu saat kita merasa rejeki kita bertambah. Bukan wadah kita yang bertambah besar, tetapi ternyata ada wadah orang lain yang kita bawa. Mungkin wadah orang tua kita, atau adik-adik kita.
Sehat-sehat ya, Kamu para Sandwich Generation. Surat ini dari aku yang juga sama sepertimu, Sandwich Generation yang sedang berjuang mengumpulkan pundi-pundi rupiah. Demi hari esok yang Insya Allah pasti lebih cerah. Mari kita bergandengan tangan dan saling menguatkan. []