Mubadalah.id – Di tengah meningkatnya jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan di Indonesia, media memainkan peran penting dalam menentukan bagaimana publik memahami dan merespons kekerasan tersebut. Namun, pemberitaan yang muncul di ruang publik sering kali menampilkan bias yang merugikan perempuan.
Aida Nafisah, Admin Media Sosial Mubadalah.id, menilai bahwa kecenderungan media menyalahkan perempuan tidak hanya memperparah stigma. Tetapi juga mengaburkan akar permasalahan yang sesungguhnya.
Aida menjelaskan bahwa dalam banyak pemberitaan terkait Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), asumsi-asumsi keliru sering kali segera muncul.
Salah satu yang paling banyak adalah anggapan bahwa perempuan selalu bergantung secara ekonomi pada pasangan laki-laki. Sehingga lebih rentan mengalami kekerasan. Padahal, menurut Aida, relasi kuasa dalam rumah tangga jauh lebih kompleks dari sekadar aspek ekonomi.
“Data kekerasan terhadap perempuan yang jumlahnya mencapai puluhan ribu kasus dalam setahun, bukanlah angka kosong. Setiap satu angka itu mewakili satu perempuan, dan itu tidak ada yang sepele,” ujarnya.
Sehingga, pernyataan ini menjadi pengingat bahwa kasus KDRT bukan sekadar data. Melainkan potret nyata kehidupan yang sungguh mengerikan.
Kenyataan lain yang menjadi sorotan adalah cepatnya konten-konten yang menyalahkan perempuan menjadi viral di media sosial. Konten edukasi yang bertujuan memberi pemahaman justru kerap tenggelam karena dianggap kurang menarik.
Bahkan, viralnya narasi yang menyudutkan korban sangat dipengaruhi pola algoritma yang mengutamakan sensasi ketimbang substansi.
“Padahal konten edukasi diperlukan agar publik memahami kekerasan secara benar,” tegas Aida.
Sehingga tanpa edukasi yang memadai, publik mudah terseret dalam cara berpikir yang menyalahkan korban, memaklumi pelaku, atau meremehkan kekerasan.
Etika dalam Menuliskan Kisah Penyintas
Aida menekankan pentingnya kehati-hatian ketika membuat pemberitaan tentang kekerasan, terutama jika melibatkan penyintas. Prinsip dasarnya adalah menghormati keputusan penyintas untuk bercerita atau tidak. Sebab paksaan terhadap korban untuk memberikan kesaksian justru membuka peluang reviktimisasi.
“Jika penyintas ingin bercerita, hormati keputusan mereka. Jika tidak, jangan dipaksa,” ujarnya.
Bahkan ketika penyintas bersedia membagikan kisah, sejumlah prosedur tetap harus diikuti. Identitas penyintas perlu dilindungi seperti nama, alamat, pekerjaan, dan informasi lain dapat disamarkan untuk mencegah dampak lanjutan. Bahkan, penggunaan bahasa pun harus diperhatikan.
Juga termasuk, wajib menghindari istilah-istilah yang menyalahkan perempuan seperti perempuan menggoda atau berpakaian seksi. Sebaliknya, pemberitaan harus berfokus pada tindakan pelaku.
“Fokus pada tindakan pelaku: pelaku menganiaya, pelaku melecehkan, pelaku membunuh. Itu yang penting,” kata Aida.
Dengan kata lain, narasi harus diarahkan pada pelaku kekerasan sebagai sumber persoalan, bukan pada korban sebagai sosok yang layak dipertanyakan moralitasnya. []









































