Mubadalah.id – Beberapa waktu lalu, kita terkejut dengan berita kekerasan yang dilakukan oleh seorang perempuan pengasuh anak di Malang, Jawa Timur. Kekerasan yang korbannya adalah anak kecil ini, menjadi viral karena diunggah oleh sang ibu, serta bukti-bukti kekerasan yang anaknya alami sebagai korban.
Hujatan demi hujatan terus keluar ketika kasus ini terungkap, terutama kepada pelaku kekerasan. Banyak yang tidak menyangka bahwa kasus semacam ini dilakukan oleh perempuan, mengapa demikian?
Perempuan Tak Selalu Memenuhi Harapan Sosial Masyarakat
Dalam konstruksi sosial, perempuan kerap kita harapkan memiliki dan mengekspresikan diri secara feminin sesuai dengan norma sosial yang ada.
Perempuan kerap kita lekat-lekatkan dengan sikap kasih sayang dan juga keibuan, sehingga ketika perempuan menjadi pelaku kekerasan, kecaman dan hujatan yang ia terima akan jauh lebih banyak. Secara tidak langsung melukai ekspektasi gender yang sempit terhadap peran sekaligus gambaran stereotip perempuan sebagai makhluk yang penuh kasih sayang.
Faktanya, perempuan juga bisa dan mampu menjadi pelaku kekerasan meskipun laki-laki lebih sering kita konotasikan sebagai pelaku kekerasan dalam pandangan umum. Perempuan juga bisa terlibat dalam perilaku kekerasan fisik verbal maupun psikologis, meskipun mungkin tidak sebanyak laki-laki.
Perempuan menjadi pelaku kekerasan bukanlah hal yang tidak mungkin terjadi. Penyebabnya banyak, bisa karena trauma, ketidakseimbangan kekuasaan, gangguan mental, ataupun stres. Secara tidak langsung, kasus kekerasan yang anak Emy Aghnia alami ini menyadarkan kita bahwa kekerasan tidak mengenal batasan gender, sekaligus pelaku kekerasan tidak memandang jenis kelamin. Siapapun bisa menjadi pelaku sekaligus korban.
Ibu Bekerja dan Bagaimana Masyarakat Patriarkis Menilai
Di Indonesia, masih banyak sekali masyarakat yang memiliki pandangan patriarkis terhadap ibu bekerja. Tantangan perempuan yang bekerja seringkali berhadapan dengan tekanan untuk memenuhi harapan atau ekspektasi masyarakat terhadap peran sebagai seorang ibu dan istri yang baik. Selain itu harus bisa menyeimbangkan tanggung jawab di rumah dan di tempat bekerja.
Ada banyak sekali anggapan bahwa ketika seorang perempuan bekerja, ia tidak bisa menjadi istri maupun ibu yang baik. Hal ini terlihat jelas dari komentar-komentar warganet terhadap kasus yang Emy Aghnia alami ketika terunggah di publik. Ada banyak sekali warganet yang menyalahkan si Ibu karena meninggalkan anak bersama pengasuhnya. Menganggap bahwa ibu lebih fokus terhadap pekerjaan ketimbang keluarga.
Kita harus mengakui bahwa sistem dukungan untuk ibu bekerja masih sangat minim di negara ini. Ibu yang bekerja seringkali menghadapi tantangan untuk menemukan pengasuh atau tempat penitipan anak yang baik agar merasa tenang ketika bekerja. Masih sangat sulit menemukan tempat pekerjaan yang mendukung orangtua perempuan untuk membawa anak, sehingga menitipkan anak kepada pengasuh menjadi salah satu pilihan yang harus kita ambil.
Seandainya setiap lingkungan kerja atau ruang-ruang publik yang orang dewasa miliki, juga terancang untuk mendukung keseimbangan antara kehidupan kerja sekaligus orang yang memiliki anak. Tentu ini juga bisa membantu orang tua bekerja lebih efektif sekaligus memenuhi kebutuhan kasih sayang anak. Selain itu memberikan pengertian secara langsung terhadap anak terhadap apa yang dikerjakan oleh orang tuanya dan menanamkan konsep soal tanggung jawab sekaligus komitmen bekerja.
Dengan minimnya dukungan dari tempat kerja, atau ruang-ruang publik yang tidak ramah anak, perempuan dengan mudah mendapat penghakiman apabila terjadi hal-hal yang tidak ia inginkan ketika anaknya berada dalam pengasuhan orang lain.
Menitipkan Anak Kepada Pengasuh Tidak Selalu Buruk
Setelah kasus kekerasan tersebut viral dan memenuhi beranda media, ada banyak pula perempuan yang ikut berkomentar dan merasa bahwa mereka merasa beruntung karena bisa menjaga anaknya sendiri dan tidak bekerja. Hal ini seolah-olah memberikan pengertian bahwa menitipkan anak kepada pengasuh adalah hal yang buruk dan tidak selayaknya dilakukan oleh seorang ibu.
Padahal, menitipkan anak kepada pengasuh tidak selalu buruk. Ada banyak sekali pengalaman perempuan yang bisa tetap tenang bekerja karena mendapatkan orang yang bisa ia percaya untuk membantu mengasuh anaknya saat ia tidak di sisi sang anak.
Kita juga tidak boleh melupakan kisah tentang Nabi Muhammad Saw. yang diasuh dan dirawat oleh ibu susunya, Halimah As-Sa’diyah dalam waktu yang tidak sebentar. Ada banyak pengasuh anak yang peduli dan berdedikasi dalam pekerjaannya, dan ini tentu sangat membantu orang tua yang bekerja.
Ketika orang tua bekerja dan menitipkan anaknya kepada pengasuh, itu bukan pilihan yang buruk atau tidak bertanggung jawab. Setiap orang memiliki kondisi yang berbeda-beda, sehingga keputusan untuk menitipkan anak seringkali menjadi pilihan yang diperlukan bagi orang tua yang bekerja.
Namun tentu saja, memilih pengasuh yang tepat, menelusuri jejak riwayat seseorang, dan berhati-hati terhadap pengambilan keputusan yang harus orang tua lakukan. Bagaimanapun juga, tanggung jawab pengasuhan anak adalah kewajiban orang tua, sehingga meskipun kita titipkan kepada pengasuh, orang tua punya peran besar untuk tetap mengawasi dan mengontrol.
Anak-anak, Kelompok Rentan Terhadap Kekerasan dan Tugas Kita Sebagai Warga Negara
Anak-anak adalah kelompok yang sangat rentan terhadap kekerasan. Karena belum memiliki kekuatan atau kemampuan untuk melindungi diri sendiri. Selain itu masih memiliki ketergantungan yang sangat besar terhadap orang dewasa di sekitarnya. Oleh sebab itu, sangat penting bagi masyarakat untuk melindungi dan memperhatikan kebutuhan anak dengan memastikan bahwa lingkungan anak adalah lingkungan yang aman dan mendukung.
Peran untuk mencegah kekerasan terhadap anak bukan semata tanggung jawab keluarga, melainkan juga tanggung jawab kita bersama sebagai masyarakat. Sekaligus tanggung jawab negara sebagai pemerintahan.
Sebagai keluarga, memang penting untuk menyediakan lingkungan yang aman sekaligus nyaman bagi anak. Namun masyarakat juga memiliki peran penting untuk menjaga kelompok rentan ini dengan menumbuhkan kesadaran bersama, serta memberikan dukungan baik moral maupun emosional kepada anak-anak yang menjadi korban kekerasan.
Seringkali, masyarakat justru bersikap sebaliknya. Ketika anak menjadi korban, alih-alih memberikan dukungan, masyarakat kerap memberikan penilaian buruk dan menjauhi korban. Itulah mengapa pemerintah punya tanggung jawab untuk memberikan pendidikan dan membangun masyarakat yang inklusif dan ramah anak.
Dukungan bagi Perempuan Bekerja
Pemerintah juga harus menyediakan layanan dukungan dan intervensi dini kepada anak-anak dan keluarga. Di mana mereka berisiko menjadi korban kekerasan seperti menyediakan layanan sosial, konseling atau bimbingan.
Pun demikian halnya pemerintah harus memiliki aturan hukum yang tegas terhadap pelaku kekerasan untuk memastikan efek jera dan korban mendapatkan perlindungan yang ia butuhkan.
Kasus kekerasan terhadap anak kali ini, bukan hanya membuka mata kita tentang beratnya tantangan perempuan bekerja. Namun juga menyadarkan kita bahwa peran pengasuhan anak, adalah tanggung jawab bersama. Mulai dari keluarga sebagai lingkar terkecil, pengasuhan anak bukanlah tanggung jawab seorang ibu semata.
Jika memungkinkan, keluarga besar kita harapkan bisa memberikan bantuan dan dukungan terhadap perempuan yang bekerja. Selain itu, masyarakat juga hendaknya lebih bijak dalam menilai dan menanggapi kasus ini dengan bijaksana. Bukan semata karena kesalahan seorang ibu yang bekerja, melainkan karena kasus kekerasan bisa menimpa siapa saja.
Karenanya kita memerlukan kerjasama banyak pihak, baik dari lingkar keluarga, masyarakat, dan juga pemerintah sebagai penegak hukum. Bersama, kita harus bisa menciptakan lingkungan yang aman dan mendukung bagi anak-anak untuk tumbuh dan berkembang dengan baik. Tanpa takut menjadi korban kekerasan. []