Mubadalah.id – Di Mesir selain peradaban kuno seperti Pyramida, Spinx atau Tempel tempat raja tinggal, juga menyimpan sisa peradaban keislaman yang gemilang. Banyak sekali masjid berdiri di Mesir. Bahkan dari rooftop rumah, saya bisa melihat puluhan menara masjid yang menjulang tinggi dengan megah.
Saya tinggal di salah satu kawasan yang banyak menyimpan sejarah peradaban. Seakan-akan setiap langkah kaki saya berjalan maka di situ juga ada peninggalan peradaban masa lalu.
Sore ini, 24 Maret 2024 saya berencana melaksanakan tarawih di masjid Sayyidah Zaynab. Sebuah masjid yang konon terdapat pusara cucu Rasulullah SAW dan saudara dari Sayyidna Hasan dan Husein. Cuaca malam ini cukup sejuk, namun angin kencang nampak menjadikan malam terasa dingin. Meski begitu, ini tidak mengurungkan niat saya untuk segera keluar rumah melaksanakan tarawih.
Sayyidah Zaynab; Perempuan Mulia nan Kuat
Jarak dari rumah ke Kawasan masjid Sayyidah Zaynab cukup jauh, di Google Maps sekitar 2,5KM. Saya memutuskan untuk menaiki bajai. Menyusuri jalan-jalan kecil di daerah rumah hingga mengantarkan saya ke depan masjid tersebut.
Saya berangkat dari rumah pukul 19.10, dan sesampainya di depan gerbang, antrian orang-orang Mesir menyambut saya. Mereka hendak masuk ke Kawasan masjid. Seperti biasa, Masjid yang ada pusara Ahlu bait memang selalu ramai orang-orang Mesir kunjungi.
Sayyidah Zaynab diperkirakan datang ke Mesir pada hari selasa terakhir di bulan Rajab tahun 85 Hijriyyah. Di mana hingga hari ini, orang Mesir selalu memperingati kedatangan Sayyidah Zaynab pada hari tersebut. Layaknya ahlul bait lain, Sayyidah Zaynab mendapat sambutan luar biasa dari warga Mesir kala itu. Pasca kejadian kelam di Karbala’ ia pergi meninggalkan tempat ia lahir yaitu Madinah menuju Damaskus lalu ia pergi ke Mesir.
Nama lain dari Sayyidah Zaynah adalah “Aqilah”, yang artinya Perempuan yang Mulia. Selain itu ia juga mendapat julukan sebagai “Ummu al-Masha’ib” atau arti leterleknya adalah Ibu Musibah. Ia dijuluki dengan nama itu karena ia adalah perempuan yang hadir saat meninggalnya Rasulullah SAW. Lalu saat meninggalnya ibunya Fathimah al-zahra’, dan meninggalnya Ali ibn Abi Thalib bapaknya dan syahidnya dua saudara laki-lakinya yaitu Hasan dan Husein.
Namun, ahli sejarah masih berbeda pendapat tentang tempat pastinya makam Sayyidah Zainab. Ada yang mengatakan di Madinah, Damaskus dan salah satunya adalah Kairo.
Khusus Kairo itu diperkuat oleh pendapat dari Muhammad al-Kuhin al-Fasi, al-Sakhawi dalm kitabnya Awqaf Mishr, dan juga ibn al-Atsir, ibn thulun, al-Thabari, serta ibn asakir. Selain itu juga ditemukan sebuah dokumen pada tahun 1800an, tentang datangnya peziarah dari Iran ke Kairo menuju makam Sayyidah Zainab bin Ali ibn Abi Thalib
Belajar kuat dari Sayyidah Zaynab
Tidak ada catatan sejarah yang pasti menyebutkan sejak kapan masjid ini terbangun. Namun dalam kitab “Maraqid ahli bayt” tercatat pada abad ke enam Hijriyyah telah dilakukan renovasi di bawah kepemimpinan Syaifuddin bin Abu Bakar bin Ayyub.
Lalu pada 1768 M, pada masa Abdul-Rahman Katkhada masjid ini juga mengalami pemugaran dan yang terbaru pada masa Presiden saat ini Abdul Rahman al-Sisi. Masjid ini beliau renovasi bersamaan dengan masjid-masjid lain seperti Masjid Sayyidna Hussein, Masjid dan Sayyidah Nafisah. Dari luar, masjid ini nampak megah dan dikelilingi dengan lampu-lampu di sekitarnya.
Saya sempat bingung setelah melewati gerbang depan masjid ini, terlihat orang-orang tidak lekas masuk ke dalam masjid. Dan setelah saya tanyakan pada salah satu jamaah di situ, masjid masih dalam proses renovasi. Akhirnya salat tarawih tergelar di pelataran masjid bagian samping. Sebelum salat kita mulai, saya sempatkan berdiri di pintu depan masjid sekedar ingin menyampaikan salam/doa dan mengingat sejenak sosok Sayyidah Zaynab.
Tarawih dan Rasa Kuat
Jamaah malam ini cukup ramai, baik laki-laki maupun perempuan. Padahal, salat tarawih kita gelar dengan kondisi angin yang cukup kencang, hingga saya terbesit untuk keluar dari shaf setelah rakaat ke empat.
Niat itu saya urungkan saat melihat kanan kiri saya, ada banyak sekali jamaah yang sudah cukup tua namun masih tetap bertahan untuk melanjutkan salatnya. Nampak berdirinya mereka bukan hanya soal fisik yang kuat, namun ada hati yang terpaut pada Allah SWT hingga mereka mampu menahan rasa dingin malam ini.
Pukul 20.18 salat selesai dilaksanakan, dengan formasi 11 rakaat tarawih + witir. Bedanya dengan masjid lain, masjid Sayyidah Zaynab diisi tanpa ada kultum. Maklum karena udaranya sangat dingin. Imam salat masjid menggunakan pakaian kebesaran al-Azhar, dan mereka merupakan petugas dari Wizarah Al-Awqaf.
Selesai salat, saya masih melihat sekeliling halaman masjid. Tempatnya tak begitu luas, namun sesak dengan jamaah yang selesai melaksankaan salat tarawih. Saat bergerak untuk keluar, ada puluhan masyarakat Mesir yang masih melaksanakan ziarah di depan pintu masjid yang tertutup. Sambil mengangkat tangannya, pria Mesir dengan pakaian khas orang Shaidi -Selatan Mesir- nampak sangat khusyu’ dan penuh pengharapan.
Perjalanan pulang saya tempuh menaiki bajai, jalanan lumayan padat. Bunyi klakson bersautan dan sesekali terdengar teriakan orang-orang Mesir. Tarawih kali ini bagi saya bukan hanya tentang salat saja, namun saya belajar soal perjuangan dan perasaan yang kuat dari Sayyidah Zaynab.
Selama hidupnya, ia melewati masa-masa yang berat, menyaksikan setiap kepergian dari keluarganya dan yang mengenaskan ia juga ada di barisan saudaranya. Yakni Sayyidna Husein saat peristiwa Karbala dan menyaksikan kejadian pembantaian itu terjadi. []