Mubadalah.id – Pada malam 22 Ramadan 1446 H atau 22 Maret 2025, Ketua Majelis Musyawarah Keagamaan (MM) Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) Nyai Hj. Badriyah Fayumi menyampaikan ceramah di Masjid Istiqlal, Jakarta.
Dalam ceramahnya, di hadapan ribuan jamaah salat tarawih di Masjid Istiqlal, Nyai Badriyah Fayumi menyampaikan bahwa sejak awal Islam turun—baik di Makkah maupun di masa pembentukan hukum di Madinah—perempuan selalu berperan penting dalam proses pembentukan hukum Islam, dakwah Islam, serta penetapan akhlak Islam.
Bahkan pada masa Rasulullah, perempuan telah memberikan teladan yang luar biasa. Demikian juga, Nabi telah memberikan contoh bagaimana merespons, memberi ruang, serta menawarkan solusi kepada perempuan dengan sesuatu yang membawa maslahat dan manfaat bagi laki-laki maupun perempuan sekaligus.
Oleh karena itu, pada hari ini, sudah seharusnya perempuan Muslimah meneladani para sahabiat. Kita harus menjadi perempuan-perempuan pencinta ilmu, perempuan yang tangguh iman, kokoh dalam prinsip, siap berjuang dan berjihad, serta menjadi perempuan yang kritis, peduli, dan berani menyuarakan aspirasi kaumnya. Sebagaimana para sahabiat dahulu menyuarakan aspirasi mereka.
Untuk membaca isi ceramah Nyai Badriyah Fayumi, berikut teks lengkap ceramah Nyai Badriyah di Masjid Istiqlal Jakarta:
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Para jamaah salat tarawih Masjid Istiqlal yang dirahmati Allah Swt, alhamdulillah, malam ini kita bisa bersama-sama berada di masjid yang indah, megah, dan penuh berkah ini untuk melaksanakan serangkaian ibadah, mengisi, dan memaksimalkan 10 hari terakhir bulan Ramadan. Dari puasa, berbuka, salat berjamaah fardu, salat tarawih, iktikaf, bersedekah, qiyamul lail, dan lain sebagainya.
Kita semua berada di sini karena ingin menjadi hamba yang bertakwa. Kita berada di sini karena Allah Swt telah memerintahkan kita untuk beribadah kepada-Nya, baik ibadah badaniyah, yaitu ibadah dengan tubuh, lisan, dan jiwa. Maupun ibadah maliyah, yaitu ibadah dengan harta seperti zakat, infak, sedekah, dan lainnya.
Allah banyak memerintahkan kita untuk melaksanakan salat, zakat, puasa, haji, dan amal kebaikan lain dalam Al-Qur’an. Namun, kemudian Rasulullah Saw lah yang memberikan penjelasan dengan sedetail-detailnya. Tanpa penjelasan Rasulullah dalam hadis beliau, baik berupa ucapan, tindakan, maupun penetapan, kita tidak akan bisa melaksanakan dengan sempurna apa yang menjadi perintah Allah Swt. Dalam salat misalnya, Rasulullah Saw bersabda, “Shallu kama ra’aytumuni usalli” (bersalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku salat). Memang benar, dalam Al-Qur’an tidak dijelaskan secara rinci tentang lima waktu salat, jumlah rakaatnya, serta syarat dan rukunnya. Semua itu dijelaskan oleh hadis.
Oleh karena itu, maasyiral muslimin rahimakumullah, tidak mungkin bagi kita sebagai seorang muslim untuk menjadi seorang yang berislam secara kafah tanpa mengetahui dan bersandar kepada hadis Nabi Muhammad Saw. Dan ketika kita menyandarkan diri serta merujuk kepada hadis Nabi, tidak mungkin kita merujuknya tanpa melalui sahabat, tabiin, dan generasi berikutnya yang meriwayatkan hadis tersebut.
Tidak mungkin juga kita memahami dan mengetahui hadis secara utuh sebagai pedoman kita, baik laki-laki maupun perempuan, tanpa memahami bahwa di dalam hadis tersebut ada ajaran-ajaran penting tentang perempuan, serta ada aktor-aktor penting perempuan dalam proses periwayatan sekaligus menjadi periwayat hadis.
Maasyiral muslimin rahimakumullah.
Ketika kita bicara tentang hadis, maka sudah pasti kita bicara tentang sahabat. Sahabat dalam pengertian ulumul hadis bukanlah sahabat dalam pengertian anak muda zaman sekarang yang disebut “besti“, tetapi sahabat dalam istilah agama adalah orang yang bertemu Nabi dalam keadaan beriman kepadanya dan meninggal dalam keadaan muslim.
Di antara sahabat tersebut, banyak sahabiat atau sahabat perempuan yang memiliki peran sangat luar biasa, penting, dan signifikan dalam periwayatan hadis. Kita bisa menyebut beberapa di antaranya. Sahabiat atau sahabat perempuan Rasulullah Saw adalah pelaku sejarah yang berperan besar dalam momen-momen penting dan genting. Misalnya, Ummul Mukminin Khadijah Ra yang menjadi sosok utama saat Rasulullah pulang dari Gua Hira dalam keadaan menggigil ketakutan karena menerima wahyu yang tidak beliau sangka-sangka.
Khadijah-lah yang menenangkannya dan meyakinkannya bahwa itu bukanlah halusinasi. Tidak hanya itu, beliau juga menjadi orang pertama yang beriman sebelum yang lain dan bahkan melakukan konfirmasi kepada seorang ahli kitab, sepupu beliau, Waraqah bin Naufal, untuk memastikan bahwa yang diterima Rasulullah adalah benar-benar wahyu. Peran Ummul Mukminin Khadijah Ra ini diterangkan dengan sangat jelas dalam hadis pertama kitab Sahih Bukhari.
Begitu juga dengan Ummul Mukminin Ummu Salamah Ra. Ketika Rasulullah dan para sahabat dicegat dalam perjalanan umrah ke Makkah dan tidak diperbolehkan masuk hingga terhenti di Hudaibiyah, para sahabat enggan melakukan tahallul karena kecewa. Lalu, Ummu Salamah memberikan nasihat jitu kepada Rasulullah, “Ya Rasul, tidak usah engkau memerintahkan apa-apa, lakukanlah saja cukur rambut dan potong hadyu di depan para sahabat.” Ummul Mukminin Ummu Salamah menjadi aktor sejarah di saat-saat penting dalam peristiwa Umrah Hudaibiyah.
Maasyiral muslimin rahimakumullah.
Peran perempuan sahabiat dalam periwayatan hadis sangat banyak, penting, dan signifikan. Mereka juga menjadi pelaku sejarah dalam pembentukan hukum Islam. Kita tahu bagaimana relasi suami-istri dalam rumah tangga Rasulullah dari riwayat Ummul Mukminin Aisyah, Maimunah, Ummu Habibah, dan lainnya.
Dari mereka, kita mengetahui bahwa Rasulullah Saw adalah suami dan kepala keluarga yang luar biasa, yang tidak pernah melakukan kekerasan sedikit pun, bahkan kepada binatang di rumahnya saja tidak pernah dan itu kita ketahui dari riwayat istri beliau.
Bagaimana beliau dengan ringan membantu istrinya di dapur. Ketika tiba waktu salat, beliau keluar untuk mengimami. Kita tahu itu semua dari istri Nabi yang membersamai beliau dalam proses pembentukan hukum dan akhlak Islam.
Kita juga tahu betapa Rasulullah Saw tidak pernah melarang perempuan yang memiliki kesempatan dan kemauan untuk berjuang aktif di tengah-tengah masyarakat. Dari kisah Nusaibah binti Ka’ab atau Ummu Imarah dan para sahabat yang berperan serta berperang dalam Perang Uhud, kita tahu bahwa Rasulullah mempersilakan mereka untuk turut serta. Bahkan, Ummu Imarah menjadi perisai hidup Rasulullah di saat Perang Uhud.
Dari mereka pula kita mengetahui bahwa perang memang tidak diwajibkan bagi perempuan. Tetapi Rasulullah tidak pernah melarang perempuan yang ingin berjuang bersama kaum lelaki dengan segenap jiwa dan raga. Bahkan, Rasulullah Saw memberikan doa khusus kepada Ummu Imarah yang ingin nanti di surga bersama beliau: “Allahumma alhiqni Jannah. Ya Allah, jadikanlah Ummu Imarah dan keluarganya sebagai teman-temanku di surga nanti.”
Maasiral muslimin, jamaah salat tarawih Masjid Istiqlal yang dirahmati Allah Swt.
Peran sahabiat atau sahabat perempuan Nabi tidak hanya berhenti di situ. Para sahabiat adalah orang-orang dan kelompok perempuan yang aktif bertanya dan rajin belajar. Mereka adalah pecinta ilmu. Jika hari ini kita terbiasa melihat dan menjadi anggota majelis taklim kaum ibu, para sahabiat di masa Rasulullah telah melakukan hal yang sama. Sahabat Asma binti Yazid, yang dikenal sebagai juru bicara perempuan Anshar, meminta waktu kepada Rasulullah agar ada majelis taklim khusus bagi kaum perempuan, dan Nabi menyetujuinya.
Kita bisa belajar dari Hindun binti Utbah yang mengadu kepada Nabi bahwa suaminya, Abu Sufyan, kaya raya tetapi sangat pelit. Ia bertanya, “Bagaimana jika saya mengambil uang suami saya, ya Rasulullah, untuk keperluan saya dan anak-anak saya karena suamiku pelit?” Nabi menjawab, “Ambil secukupnya untukmu dan anak-anakmu dengan cara yang makruf, yang penting tidak dengan cara yang tidak benar.”
Dari Zainab, istri Ibnu Mas’ud, kita mengetahui bahwa ketika dalam suatu keluarga suami mengalami keterpurukan ekonomi, sementara istri mendapatkan rezeki dari Allah, maka ia bertanya kepada Nabi. “Ya Rasulullah, bagaimana jika saya memberikan nafkah dari uang saya untuk Ibnu Mas’ud dan anak-anaknya?” Rasulullah memberikan jawaban yang luar biasa, menenangkan, dan menyenangkan hati, “Bagimu ada dua pahala, yaitu pahala silaturahim dan pahala sedekah.”
Luar biasa peran perempuan di masa itu, sehingga Ummul Mukminin Aisyah Ra menyampaikan apresiasinya kepada para muslimah Anshar, “Sebaik-baik perempuan adalah perempuan Anshar. Mereka tidak malu-malu ketika ingin bertafaqquh (mendalami ilmu agama).”
Perempuan Menjadi Guru
Alhamdulillah, kita telah mendapatkan contoh luar biasa dari para sahabiat dalam proses periwayatan hadis. Tidak hanya itu, para sahabiat di masa Rasulullah Saw juga menjadi penyampai hadis yang andal dan piawai. Ummul Mukminin Aisyah Ra adalah satu dari tujuh sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadis dalam khazanah Islam, bersama Abu Hurairah, Ibnu Umar, Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Jabir bin Abdullah, dan Abu Sa’id Al-Khudri. Beliau meriwayatkan lebih dari 2.200 hadis.
Banyak sahabat yang menjadi penyampai dan guru bagi ulama besar, tanpa rasa malu ataupun gengsi berguru kepada perempuan alim. Imam Syafi’i memiliki guru bernama Sayyidah Nafisah, cicit Rasulullah dari jalur Hasan bin Ali. Imam Malik berguru kepada Aisyah binti Sa’id. Lalu Imam Ahmad bin Hanbal memiliki guru yang bernama Shafiyah binti Maimunah, yang merupakan ibunda beliau sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa perempuan mengajar dan belajar kepada laki-laki. Serta laki-laki mengajar dan belajar kepada perempuan, tidak dinilai berdasarkan jenis kelamin, melainkan ilmunya.
Para sahabat terbiasa belajar dan bertanya kepada Ummul Mukminin Aisyah Ra. Oleh karena itu, sahabat-sahabat dan perempuan-perempuan setelahnya dalam periwayatan hadis adalah perempuan-perempuan yang layak kita jadikan inspirasi.
Muhammad Akram Nadwi dalam kitabnya Al-Muhaddithat: The Women Scholars in Islam mencatat ada 8.000 perawi hadis perempuan lintas generasi yang berjasa dalam periwayatan hadis.
Imam Adz-Dzahabi, seorang ahli dan kritikus hadis yang hidup pada abad ke-7 sampai ke-8 Hijriah, menulis kitab kritik hadis yang mencatat para perawi yang memiliki cacat sehingga hadisnya tidak bisa diterima.
Beliau menyampaikan bahwa dari sekian banyak orang yang dikritisinya karena hadisnya cacat atau tertuduh dusta, tidak ada satu pun perempuan perawi hadis yang masuk dalam catatan tersebut. Artinya, dalam periwayatan hadis, perempuan tidak hanya meriwayatkan, menjadi guru, dan menjadi murid. Tetapi kredibilitas mereka juga diakui oleh kritikus hadis terkemuka.
Maasiral muslimin rahimakumullah.
Peran penting lainnya adalah bahwa para sahabiat menjadi penyampai aspirasi kaumnya. Ada persoalan dan unek-unek yang mereka sampaikan kepada Rasulullah. Misalnya, pernah 70 perempuan datang kepada Rasulullah mengadukan suami mereka yang suka melakukan kekerasan. Nabi langsung melarang tindakan tersebut dan menegaskan bahwa tidak boleh ada kekerasan dalam rumah tangga. Namun, keesokan harinya para suami mengadu kepada Nabi, “Ya Rasulullah, jika dilarang seperti itu, istri-istri kami nanti akan bertindak semena-mena.” Maka, Nabi bersabda, “Suami yang suka melakukan kekerasan dalam rumah tangga bukanlah orang yang terbaik di antara kalian.”
Dan yang tidak kalah penting, Sahabat Aisyah Ra juga dikenal sebagai kritikus hadis yang luar biasa. Demi apa hadis dikritik? Demi menyelamatkan otentisitas atau keaslian hadis dari salah paham.
Suatu hari, pernah ada dua orang yang menghadap beliau dan menyampaikan riwayat dari Sahabat Abu Hurairah Ra. Katanya, Abu Hurairah mendengar dari Nabi bahwa ada tiga kesialan, yaitu rumah, perempuan, dan kuda.
Mendengar hal itu, Ibu Aisyah langsung melakukan koreksi. “Demi Allah yang menurunkan kitab kepada Muhammad, tidak seperti itu! Rasulullah tidak pernah mengatakan seperti itu. Yang dikatakan Rasulullah adalah bahwa orang-orang Jahiliah memiliki pemikiran, keyakinan, dan prediksi bahwa kesialan ada dalam tiga hal tersebut. Justru umat Islam tidak boleh berpikir seperti orang-orang Jahiliah tersebut. Sehingga, kita tidak boleh menganggap ada kesialan di rumah, dalam perempuan, atau dalam kuda ataupun kendaraan.”
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah.
Inilah beberapa peran penting para sahabat di masa Rasulullah Saw. Tanpa mereka, kita tidak akan mengetahui banyak hukum, dan banyak akhlak. Serta banyak hal tentang relasi antara laki-laki dan perempuan dalam hadis Nabi. Oleh karena itu, kita perlu membacakan manakib dan memberikan apresiasi kepada mereka. Radhiallahu anhum ajma’in.
Dari peran para sahabiat dan perempuan periwayat hadis ini, ada beberapa hal yang dapat kita simpulkan, bapak dan ibu sekalian:
Pertama, sejak awal Islam turun—baik di Makkah maupun di masa pembentukan hukum di Madinah—perempuan selalu berperan penting dalam proses pembentukan hukum Islam, dakwah Islam, serta penetapan akhlak Islam.
Kedua, pada masa Rasulullah, perempuan telah memberikan teladan yang luar biasa. Demikian juga, Nabi telah memberikan contoh bagaimana merespons, danmemberi ruang. Serta menawarkan solusi kepada perempuan dengan sesuatu yang membawa maslahat dan manfaat bagi laki-laki maupun perempuan sekaligus.
Oleh karena itu, pada hari ini, sudah seharusnya perempuan Muslimah meneladani para sahabiat. Kita harus menjadi perempuan-perempuan pencinta ilmu, perempuan yang tangguh iman, kokoh dalam prinsip, siap berjuang dan berjihad. Serta menjadi perempuan yang kritis, peduli, dan berani menyuarakan aspirasi kaumnya. Sebagaimana para sahabiat dahulu menyuarakan aspirasi mereka.
Untuk Para Pemimpin
Begitu juga Rasulullah Saw — para pemimpin hendaknya meneladani beliau dengan memberikan ruang, kesempatan. Serta melibatkan perempuan dalam berbagai proses, baik dalam pembentukan hukum, interaksi sosial. Maupun dalam bidang-bidang yang memerlukan perhatian dan ilmu khusus bagi perempuan.
Insyaallah, jika kita meneladani peran Nabi dan para sahabiat, serta kita Indonesia, Menteri Agama kita memiliki cita-cita Indonesia ingin menjadi kiblat negara muslim dunia Insya Allah hal itu akan tercapai. Namun akan tercapai, jika relasi dan kualitas perempuan di negeri ini setara dengan kualitas para sahabiat. Serta jika para pemimpin memiliki mental dan sikap sebagaimana Rasulullah Saw.
Semoga Allah Swt memudahkan kita semua—baik laki-laki maupun perempuan—untuk meneladani Rasulullah Saw dan para sahabatnya. Demikian yang dapat kami sampaikan dalam kesempatan ini. Terima kasih atas segala perhatiannya, dan mohon maaf jika ada hal-hal yang kurang berkenan.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. []