Mubadalah.id – Salah satu ketua Majelis Musyawarah Kongres Ulama Perempuan Indonesia (MM KUPI), Nyai Hj. Badriyah Fayumi, Lc. MA menjelaskan bahwa kebolehan menjama’ shalat bagi mempelai ini merujuk pada salah satu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Ibnu Abbas ra.
Isi hadits tersebut sebagai berikut :
“Saya pernah melihat Rasulullah Saw. menjama’ antara Dzuhur dan Ashar, dan antara Maghrib dan Isya’, bukan karena perang dan bukan karena berpergian.”
Ibnu Abbas bertanya, “Apa tujuan Nabi melakukan hal itu?”.
Abbas menjawab, ”Beliau tidak ingin membuat repot umatnya.”
Berdasarkan hadits ini, kata Bu Nyai Badriyah, beberapa ulama memperbolehkan shalat jama’ secara mutlak, dalam keadaan apapun.
Adapun para sahabat dan ulama yang berpendapat demikian antara lain adalah sahabat Ali bin Abu Thalib dan sahabat Ibnu Abbas, Ibnu Sirin, dan Imam Mundzir (ulama mazhab Syafi’i).
Namun mazhab jumhur (mayoritas) tidak memperbolehkan jama’ tanpa ada udzur. Bagi jumhur maksudnya jama’ disitu adalah jama’ shuuri.
Jama’ shuuri artinya shalat pada waktunya, namun menyerupai jama’ yakni Shalat Dhuhur menjelang Ashar, dan setelah tiba waktu shalat Ashar. Begitupula antara Maghrib dan Isya.
Pendeknya, Bu Nyai Badriyah memaparkan, setiap mempelai tidak perlu meninggalkan shalat karena keadaan sulit itu bisa mendatangkan kemudahan.
Bahkan, menurut Bu Nyai Badriyah, Nabi Saw pun sudah memberikan solusinya.
Namun berbeda dengan jama’ shalat yang diperbolehkan ketika ada hajat yang mendesak, qashar shalat (meringankan shalat Dhuhur, Ashar, dan Isya menjadi 2 rakaat) tidak diperbolehkan selain berpergian atau dalam keadaan perang atau di bawah ancaman.
Jadi, jika tidak bisa melakukan shalat sesuai waktu ketika jadi mempelai, silahkan menjama’nya namun jangan mengqhasarnya. Apalagi meninggalkannya. (Rul)