Mubadalah.id – Sekitar beberapa malam yang lalu, sambil berjalan kaki menuju Masjidil Haram tetiba suami menyeletuk. Kita ini seperti diambil dari satu kota lama yang dilempar ke negeri yang baru, jauh dan asing. Diputuskan dari semua akses dan aktivitas yang selama ini dijalani. Iya, aku mengamini pendapatnya. Tak ada keluarga, tanpa tangisan dan canda tawa anak-anak, tidak memikirkan pekerjaan, pasien dengan beragam keluhan sakit, tak ada tagihan laporan program dan deadline tulisan. Hidup benar-benar hening. Seperti dejavu, di mana yang ada kini hanya ada aku dan Tuhanku. Usai suamiku bilang begitu, aku langsung teringat kisah film The Hunger Games atau Divergent yang diangkat dari judul novel yang sama.
Dalam film The Hunger Games, Katnis dari distrik 12 harus berjuang dalam satu permainan laga tahunan, di sebuah wilayah antah berantah, dibekali dengan peralatan seadanya, bertarung antara hidup dan mati. Ia berkelahi dengan perwakilan dari distrik lain. Bahkan Katnis juga harus mempertaruhkan nasib penduduk satu distrik. Jika menang akan diberi fasilitas dan kemewahan. Sebaliknya bila kalah maka akan hidup berada dalam kenestapaan dan serba berkekurangan.
Sementara Divergent, kisah novel ini diawali dengan seorang gadis bernama Beatrice Prior yang hidup di kota Chicago versi masa depan. Pada masa itu, penduduk dibagi menjadi 5 golongan atau fraksi. Setiap fraksi memiliki pemikiran masing-masing. Dauntless berfikir tentang keberanian, Erudite sangat mencintai ilmu pengetahuan dan penelitian, Abnegation selalu mengabdikan dirinya untuk orang lain, Amity selalu cinta perdamaian dan Candor selalu mengatakan yang benar.
Katnis, Beatrice dan aku, adalah perempuan yang sama-sama tengah melangkah ke masa depan, dengan kondisi kini yang berbeda, tantangan berbeda dan tujuan yang berbeda. Katnis dan Beatrice berjuang bagi komunitasnya agar bisa hidup setara dengan distrik lain dan atau fraksi lain. Sedangkan aku pun berjuang, melalui doa yang dirapalkan di tanah suci, bagaimana menaklukkan diri sendiri, ego yang kerap masih memanja. Mengasah hati agar lebih peka dan peduli, untuk jalan kesetaraan serta keadilan, yang masih teramat panjang bagi perempuan.[]